Jumat, 21 Februari 2014

Smaradahana



Smaradahana


Tersebutlah Dewa Śiwa yang sedang bersemadhi di gunug Meru, jauh dari khayangan, tempat tinggalnya dan para Dewa. Ia memfokuskan seluruh panca inderanya melakukan tapa-brata-nya. Meski pun ia adalah dewa tertinggi, Śiwa tidak mempedulikan segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan tapanya. Salah satu yang  diabaikan Śiwa adalah Uma, permaisurinya yang jelita dan masih perawan.

Pada saat itu Nilarudraka yang berasal dari Senapura beserta pasukannya, para raksasa, ingin menghancurkan khayangan dan seluruh para Dewa. Seluruh Dewa di khayangan ketakutan karena tidak memiliki kekuatan untuk melawannya. Mereka tidak dapat melawan Nilarudraka karena sebelumnya Dewa Śiwa telah memberi anugerah kepada Nilarudraka agar tidak terkalahkan oleh siapa pun kecuali Dewa Śiwa sendiri. Para Dewa pun melakukan diskusi dan kemudian mengatur strategi. Sebagai hasilnya, Dewa Indra, Dewa Whraspati, Dewa Wiśnu dan Dewa Brahma bersepakat untuk memanggil Śiwa kembali ke khayangan untuk menghadapi Nilarudraka.

Śiwa dikenal sebagai Dewa tertinggi yang ditakuti seluruh buana karena kekuatannya yang dapat menghancurkan apa saja dalam sekejap mata. Para Dewa akhirnya yang telah mengatur strategi harus berhati-hati dalam membawa Śiwa kembali ke khayangan tanpa membuatnya marah karena harus meninggalkan tapanya. Ditetapkanlah Dewa Kama sebagai Dewa asmara untuk datang menghadap Śiwa dan menancapkan panah asmaranya.

Para Dewa berangkat ke kediaman Kama. Mereka disambut dengan berbagai kenikmatan yang disajikan Kama. Setelah mendengar penjelasan para Dewa, Kama masih merasa ragu, namun dewa Wrhaspati berjanji untuk mendatangkan bantuan untuknya. Janji seorang Brahmin sama sekali tidak boleh disangkakan, akhirnya, Meski pun dengan berat hati, karena Dewi Ratih tidak rela suaminya dijadikan umpan para Dewa, berangkat pula Dewa Kama diiringi oleh para Dewa. Hari baik itu adalah permulaan bulan ke empat.

Dewi Ratih, istri Dewa Kama, telah merasakan firasat buruk mengenai kepergian suaminya guna melancarkan niat suci para Dewa. Namun Kama berhasil menghiburnya dengan bercerita tentang Surga di malam bulan purnama. Ratih dengan bersedih hati akhirnya mau meluluh dan mengizinkan suaminya diumpankan kepada Kama.

Perjalanan ditempuh, para rombongan menyaksikan keindahan alam yang berupa senjata, kereta, dan sais yang menariknya. Sampailah Dewa Kama ke tempat Dewa Śiwa sedang tapa-brata, di bawah naungan pohon Darsana, di atas gunung Meru. Seluruh Dewa yang mengiringinya hanya melihat dari kejauhan, termasuk Indra yang merupakan Dewa perang. Para Dewa hanya tertegun melihat Śiwa yang sedang berkonsentrasi tinggi dalam tapa-brata-nya. Hanya Kama yang berani mendekati Śiwa, meski terdapat ketakutan pula dalam hatinya.

Terlihat sepasang makhluk penjaga Śiwa, Mahakala dan Nandiśwara, mencoba menakut-nakuti dengan melepaskan segala daya kekuatan alam. Mereka lalu ditenangkan oleh para Rsi yang kemudian undur diri. Dewa Kama sesaat setelah sampai ke tempat tujuannya langsung menghaturkan sembah bhakti kepada Śiwa, sang Dewa penghancur yang paling berkuasa. Sesudah menghaturkan salamnya dan melakukans samadhi singkat, Dewa Kama langsung melemparkan segala senjata ke arah Śiwa namun semua yang terlempar berubah menjadi perhiasan Dewa, dan Śiwa tetap duduk tidak bergerak, malah sekarang mematung dengan berbagai macam perhiasan. Seluruh amunisinya tidak mempan melawan kuatnya tapa Śiwa. Dewa Kama tidak kehabisan akal, ia lalu melakukan samadhi singkat sekali lagi, kemudian tampaklah musim-musim bergantian, musim tersebut dipimpin oleh musim semi. Kama kemudian kembali melepaskan panahnya, kali ini yang lebih panas karena terbuat dari bunga-bunga yang dapat disentuh oleh seluruh panca indera. Panah yang terakhir ini mengenai hati dengan tepat, Śiwa pun terbuai dalam angan-angan Uma serta seakan-akan melihat Uma berada di pangkuannya. Namun demikian, ini terjadi sesaat setelah Śiwa menoleh ke arah Kama yang telah melepaskan panahnya. Śiwa yang marah kemudian merubah dirinya dalam wujud Tiwikrama, yaitu Śiwa dalam sosok yang menyeramkan. Dewa Kama berteriak ketakutan meminta pertolongan para Dewa dan Rsi yang tadi mengiringinya, namun sia-sia karena mereka telah lari tunggang langgang menghindari amukan Śiwa. Tinggallah Dewa Kama bersama Śiwa yang menakutkan, membakar seluruh badannya hingga mejadi abu dengan matanya yang menyala-nyala.

Dewa Kama telah tamat riwayatnya, Ia menghaturkan selamat tinggal kepada sang Ratih, dan seketika melompat keluar dari tubuhnya. Upacara pelayatan dilangsungkan pada musim semi, bersama-sama dengan segala sesuatu yang elok di dalam hutan. Para Dewa dan Rsi melakukan pemujaan kepada Śiwa dan menghadirkannya dalam bentuk yang indah dalam pikiran mereka. Dalam bayangannya, Śiwa diubah dalam bentuk Dewa pemurah yang duduk di atas Padma yang bermahkota delapan. Dengan begitu, Śiwa dipuja dalam sosok Dewa yang sebagai sesuatu tampak dalam setiap sesuatu,  Dewa yang dipuja para pendamba pelepasan akhir hidup, dan pencipta segala sesuatu di dunia. Dewa Indra yang memiliki tanggungjawab mengembalikan Kama, sebelumnya ingin melarikan diri namun ditegur –karena sikapnya yang pengecut- oleh Dewa Wrhaspati dan bersama-sama dengannya turut memohon kepada Śiwa untuk menghidupkan kembali Dewa Kama. Pada saat itu, Śiwa berhasil dibujuk untuk menanggalkan bentuk ugra-nya, namun kemarahan di dadanya masih menyala. Akibatnya, saat permintaan untuk menghidupkan kembali Kama, Śiwa mendengarkannya dengan bersungut-sungut. Setelah dijelaskan oleh Dewa Wrhaspati bahwa Kama hanya diutus untuk menebar cinta di hati Śiwa terhadap Uma guna melawan Nilarudraka yang telah diberi anugerah kekuatan yang tak tertandingi, serta dijelaskan pula bahwa hidup tiada berwarna tanpa cinta, Śiwa pun mengabulkannya dengan menghidupkan Kama dalam bentuk yang tersembunyi dan lepas dari segala kebendaan (suksma). Sejak saat itu pula para rohaiawan diperkenankan untuk menggunakan  hiasan bunga di telinganya untuk memperingati Śiwa yang pernah terselewengkan hatinya oleh Kama, padahal Ia sedang bermeditasi di dunia wujud.

Ratih tidak menerima keputusan Śiwa, karena baginya, bila tak bertubuh maka tidak hidup. Bersemayam di dalam hati manusia atau Dewa dan tidak memiliki tubuh, berarti bukan kehidupan yang sebenarnya. Ratih begitu marah kepada para Dewa yang telah mengingkari janjinya untuk menjaga Kama dan membiarkannya mati di tangan Śiwa. Ratih yang telah berputus asa, kemudian merencanakan untuk melakukan upacara Śakti, yaitu upacara pembakaran diri untuk membuktikan kesetiannya terhadap pasangan. Dewa Indra yang tetap berdiam diri menyaksikan abu Kama sesaat setelah keputusan diambil, dipesankan oleh Dewa Kama untuk mencegah tindakan Ratih, namun Ratih tetap bersikeras untuk melakukannya, ia akhirnya tetap memegang teguh niatnya untuk melaksanakan upacara śakti. Ratih yang tertimpa kemalangan cinta yang begitu hebat menjadi murung setiap saat. Diceritakan bahwa setiap kali ia ingin membersihkan badan dan fikiran melalui mandi, air yang menyentuh kulitnya berubah menjadi api yang berkobar melahap sukmanya. Ratih yang malang tak dapat tidur, saat ia dapat tertidur, ia terkadang bangun oleh ratapan dan tangisannya yang panjang. Meski pun para Dewa berjanji untuk menghidupkan kembali Kama dalam bentuk seutuhnya, namun Ratih tetap merasa sedih, tetapi kemudian ia dapat menerima nasibnya dan tetap berniat mengikuti suaminya ke alam baka.

Nanda dan Sunanda, dua orang pelayan Ratih yang setia mengiringi kepergian tuannya ke pegunungan untuk melakukan niatnya, menyusul Kama ke alam baka. Alam pegunungan yang indah seolah-olah membangkitkan api pada sisa abu dan tulang Kama yang terbakar dalam gua tempat Śiwa tapa-brata, yang kemudian kembali berkobar dan sekan-akan melambaikan tangan mengajak Ratih masuk  ke dalamnya. Ratih yang tergoda mendekatinya kemudian menyucikan dirinya dengan melakukan yoga dan ikut hangus lenyap di dalamnya. Meski Kama dan Ratih telah berada di alam yang sama, namun karena mereka tidak sebadan, mereka tetap tidak dapat bersatu. Semenjak itu Kama bersemayam di hati Śiwa dan Ratih berada di hati Uma.

Sejak tertancapnya hati Śiwa oleh panah asmara Kama, timbullah rasa rindu yang begitu besar terhadap Uma. Śiwa pun meninggalkan tapa brata-nya sebagai wiku dengan memilih menemui Uma dan memulai episode percintaan mereka. Setelah sampai di kediaman mereka, entah mengapa Śiwa yang ada Kama dalam dadanya, melihat Uma sudah bukan lagi seorang anak kecil. Setelah beberapa waktu kepulangan Śiwa ke dalam pelukan sang permaisuri, Uma pun mengandung seorang anak. Atas prakarsa yang telah disepakati para Dewa, akhirnya dibawalah seekor gajah wahana Dewa Indra ke tempat Śiwa dan Uma berada. Uma yang merasa begitu ketakutan melihat gajah, sontak bersembunyi di balik Śiwa. Beberapa waktu berlalu Uma akhirnya melahirkan seorang anak yang dinantikan oleh para Dewa sebagai kelahiran juru selamat di Khayangan. Anak yang lahir dari Rahim Uma ternyata memiliki kesaktian yang dianugerahkan oleh sang ayah, Śiwa, uniknya anak ini berkepala gajah dan diberi nama Sang Hyang Gana. Sang Hyang Gana inilah yang nantinya akan melawan Nilarudraka dan pasukan raksasanya.

Sang Nilarudraka yang diberitahu oleh matanya bahwa anak Uma telah lahir, akhirnya menyerang surga dengan balatentaranya yang besar. Saat itu para Dewa yang persiapannya belum selesai lari tunggang-langgang meminta bantuan Śiwa beserta Sang Hyang Gana, sang juru selamat surga. Pada waktu itu anak Śiwa, belum tumbuh begitu besar sehingga diperlukan pembacaan berbagai mantra dan yoga oleh para Dewa dan Rsi untuk mempercepat pertumbuhannya. Setelah pertumbuhannya mengalami kemajuan yang pesat, Sang Hyang Gana memimpin pasukan Surga dengan gagah berani. Ia dianugerahkan berbagai macam senjata dan kekuatan sehingga dapat menyerang musuh-musuhnya yang amat membahayakan eksistensi Surga khayangan itu. Sang Hyang Gana dengan kapak (kutara) dalam genggamannya, satu persatu mepotong tangan dan kaki serta menumbangkan musuh para Dewa yang banyak jumlahnya itu. Saat menghadapi Nilarudraka, Sang Hyang Gana terkena senjata Raksasa yang justru dahulu kala dihadiahkan oleh ayahnya sendiri, yaitu senjata bernama bajra  yang telah mematahkan gading kirinya. Dengan amerta yang Ia punya, Sang Hyang Gana menghidupkan kawan-kawannya yang telah tewas untuk membantunya kembali berjuang dalam perang. Singkat cerita, surga Khayangan pun memenangkan peperangan. Saat peperang usai, seluruh isi surga larut dalam selebrasinya dan berteria-teriak mengelu-elukan Sang Hyang Gana dengan sebutan Gananjaya. Akhirnya, setelah perjuangan yang panjang, seluruh isi surge Khayangan dapat hidup dengan damai dan tenang termasuk di dalamnya Śiwa, Uma, Sang Hyang Gana, dan saudara kandungnya, Kumara.


Daftar Pustaka
Lestari, Nanny Sri. 2004. Kisah Cinta Smaradahana. Jakarta: Laporan Penelitian


ditulis oleh dewi sinta, dkk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar