Selasa, 20 Oktober 2015

Dongeng mengenai Indonesia dan Kepercayaan Minoritasnya

Indonesia terbentuk melalui proses panjang dan rumit. Dimulai dari kehidupan pithecanthropus erectus dan kawan-kawannya, kedatangan ras austronesia, hingga pengaruh kebudayaan asing yang memberi banyak benefit seperti sistem pertanggalan, dan kemampuan menulis dan membaca.
Saya tidak akan membahas mengenai kebudayaan secara keseluruhan tapi hanya pada kepercayaannya dan sentimen kelompok mayoritas terhadapnya.
Kepercayaan asli Indonesia. Masihkah ada? Tradisi yang mengakar dan terbebas dari pengaruh asing mungkin dapat dikatakan sangat jarang sekali  ditemui atau bahkan hampir tak ada sekarang ini. Beberapa yang masih mengakar pada kebudayaan yang –dapat dikatakan sebagian besar atau mirip- asli Indonesia misalnya kepercayaan asli suku Toraja, Baduy, Sunda Wiwitan, Dayak, Anak Rimba dan lain-lain.
Tahukah kamu? Sebagian besar dari mereka terpaksa berbohong kepada negara untuk memalsukan agama pada kartu tanda penduduknya. Ini dilakukan agar mereka dapat mengakses pendidikan dan kesehatan layaknya manusia yang diakui sebagai warga negara. Kepercayaan nenek moyang mereka (baca:kita) yang masih dipegang teguh hingga masa Republik ini berdiri menyulitkan mereka untuk mengakses berbagai macam kebutuhan mereka, bahkan yang paling dasar sekalipun. Pernah saya berbincang dengan salah satu tokoh pada komunitas masyarakat adat, dan mereka mengeluhkan sulitnya akses apapun untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka secara layak. Pada waktu itu mereka akan melaksanakan seminar kepercayaan lokal tingkat nasional, tapi sebagian besar di antaranya gagal berangkat di bandara karena tak memiliki KTP. Menakjubkan, bukan? Orang yang masih mempertahankan kepercayaan nenek moyang mereka (baca: sekali lagi KITA) dari derasnya kebudayaan asing yang masuk (termasuk kepercayaan pada KTP kita) malah diperlakukan seperti orang asing. Yang asing dilokalisasi, yang lokal disingkirkan. Well, no offense.
Pernah suatu hari saya berbincang dgn tokoh pemuda di salah satu desa tak jauh dari ibukota. Kata-kata pertamanya mengenai ide menteri agama mengosongkan kolom agama dalam KTP adalah, “presiden dan jajarannya sekarang semakin liberal! Memberikan ruang pada orang-orang gak bener! Masak, yang gak punya agama juga mau dilegalkan!”. Hell-o gimana mungkin laki-laki muda yang bermukim agak sedikit minggir dari ibukota dan beristrikan seorang dosen bisa berkata dengan sentimen dan pikiran yang begitu pendek? Ini betul-betul memprihatinkan!
Yang barusan hanya satu contoh kegesrekan otak (underlined) manusia Endonesah yang katanya cinta tanah air tapi tak cinta dengan nenek moyangnya sendiri. Sang mayoritas memang hampir selalu menekan bahkan menyingkirkan yang berbeda. Dengan nenek moyangnya sendiripun tak ada hormatnya… bagaimana dengan yang berbeda tafsiran mengenai Tuhan in recent (underlined)? yup, lebih parah!
Masih ingat kasus Front Pengacau Islam yang menyerang jamaah Ahmadiyah beberapa tahun lalu? Yaaa gerakan purifikasi memang gencar semenjak abad ke-15 pada agama-agama besar (Amstrong, 2001)… but please, should u be an extremist murderer to express ur religion?.
Dua hari yang lalu saya mengobrol dengan kawan mengenai kawan saya yang lain yang merupakan khuddam atau kelompok muda ahmadiyah, dan apakah responnya ketika saya bercerita mengenai pedihnya hidup kawan khuddam saya itu?, Ia bilang “bagus kalau rumah dan masjidnya ditimpukin! Bagus!”. Damn!!! Prophet  talks about moral, darling, and kill people now is such a morality. HA HA U think!!! Padahal, Muhammad sendiri bicara bahwa Tuhan mencintai keberagaman.
Tahukah kamu? Beberapa ratus tahun yang lalu muncul fenomena keagamaan yang menarik. Pada masa itu muncul agama Hindu dan Buddha dengan realitas tertingginya yang merupakan dewa-dewa lokal (naskah tangtupanggelaran). Padahal dalam suatu tatanan agama, sistem keyakinan merupakan hal yang inti dan tidak dapat berubah sedangkan hal-hal periferal seperi tata upacara dan pakaian dapat berubah (Sedyawati, 2012). Ini menandakan pada saat itu masyarakat Nusantara khususnya Jawa begitu terbuka dengan agama lain sehingga dapat terjadi sinkretisme sedemikian rupa. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa gerak kebudayaan manusia telah mengalami migrasi sejak dahulu kala (2009: 203).
Ini mengindikasikan adanya kepentingan kelompok-kelompok tertentu untuk mengubah respon manusia Indonesia di masa kini dalam pandangannya terhadap keyakinan yang berbeda dari mereka, katakanlah kaum minoritas. Nusantara yang pada masa lalu begitu berjayanya hingga dapat menjadi salah satu pusat perdagangan dan penyebaran kebudayaan di dunia tentunya tidak terlepas dari sikap manusia masa lalu dalam menghadapi komunitas manusia yang berbeda dari mereka. Bagaimana mungkin seorang yang tertutup dalam pergaulannya dapat meraih kejayaan dalam pergaulan? Marilah kita mengelus dada dan bercermin dari masa lalu. Berhentilah bicara bahwa orang yang masih menganut kepercayaan lokal adalah dukun dan yang menafsirkan ajaran yang berbeda adalah sampah. Teman-teman, seperti yang saya sebutkan pada awal kalimat paragraf ini bahwa indikasi adanya kepentingan lain dibalik berubahnya respon  mayoritas pada kaum minoritas memang perlu diwaspadai.
Hindu India bertahun-tahun dipimpin oleh muslim dengan saling menjaga (meskipun tak dapat dipungkiri bahwa watak tiap rezim berbeda) tiba-tiba berubah menjadi begitu fundamental yang kemudian menyebabkan berdirinya Pakistan dan dibunuhnya Gandhi. Buddhist yg dikenal dengan pasifisme dan cinta kasihnya belakangan menyebarkan slogan “just war” dalam menghadapi Tamil di negara Srilangka (Kartini, 2015).
Sekali lagi teman-teman, menjaga keutuhan itu lebih baik dan menyenangkan, dibanding memelihara perasaan benci dan prasangka buruk pada komunitas kepercayaan lain. Waspada kaum fundamentalis yang katanya ingin memurnikan agamanya, padahal efeknya menghancurkan negara bahkan agama kita sendiri nantinya. Islam mulai kacau balau ketika Bani Umayyah –yang sok- fundamentalis dengan tangan besinya menghancurkan warisan nabi dan mempurifikasi ummah dari komunitas lain di tanah Nabi. Duh! Nabi aja kan padahal demokratis.
Ingat, menghormati keyakinan orang lain akan membuat kita terhormat. Kalau tak bisa membantu menuliskan agama mereka pada kolom KTPnya sendiri, maka jangan diganggu. Kalau tak bisa membantu mereka lepas dari penganiayaan sebagian kelompok fundamental, maka jangan diusik. Mereka manusia. Kita manusia. Mereka dan kita dapat merasakan sakit yang sama.
Indonesia memerlukan jutaan tahun untuk beradaptasi dengan budaya baru yang masuk. Maka jangan dirusak.
-menghormati orang lain tak akan menodai kesucianmu sebagai mayoritas-