Rabu, 16 April 2014

Ada. Tidak.


Rose berlari sekuat tenaga menghindari sesosok lelaki mengerikan yang dengan sangat sigap hampir-hampir menangkapnya dengan sekali hentakan. Diujung jalan. Rose mengenali bangunan putih abu-abu di depannya, dengan sisa-sisa tenaga ia mencengkeram gagang pintu dari besi ringan yang berkilau, paling cemerlang diantara warna-warna lain di bagian depan rumah itu: kusam dan kelabu. Rose menarik-narik dan menggoyangkan ke kanan ke kiri gagang bundar yang ada dalam cengkeramannya, sulit terbuka. Rose kemudian menyandarkan badannya di pintu abu-abu yang separuhnya rusak karena perubahan masa. Sadar akan kesia-siaan yang dia lakukan, Rose kemudian berteriak dengan susah payah,

“HALOOO!”

Sunyi. Lalu suara lelaki yang sangat dikenali merambat melalui sela-sela antara pintu dan lantai.

“iya, siapa disana?”

“matt, kau di dalam?”

Tidak ada jawaban.

Kemudian dengan suara parau dan napas terengah-engah Rose kembali berteriak memanggil lelaki itu.

“aku Rose.”

“Rose, ini aku. Masuklah!”

Separuh percaya apa yang di dengar oleh telinganya, Rose kembali menggungcang-guncangkan gagang pintu bundar keperakan itu.

“Matt, buka pintu!”

“Rose ini aku…”

Semua semakin menggantung dan abu-abu. Perempuan malang dalam pengejaran lelaki buas itu diam. Kalut. Risau. Rose menyeka keringatnya dengan saputangan putih pemberian lelaki tegap berkumis yang disangkanya ada beberapa meter di belakang tulang rusuknya. Ia menangis. Bahkan menangis tanpa air mata, pelariannya dari kejaran lelaki buas berjam-jam dalam hutan, sungai, semak belukar menjelma jadi bayangan menakutkan dalam pikirannya dan menguras habis air matanya. Kini ia mencoba memusatkan pikirannya, ke arah belakang badannya, bangunan, yang menjadi tempat singgahnya selama ini. Tempat singgahnya selama ini.

“aku tidak bisa membuka pintunya, tolol!”

“bukalah Rose!”

Rose kemudian bingung. Dengan segera ia menyadari sesuatu.

“apa kau benar-benar di dalam matt?”

Senyap.

Rose berteriak dengan seluruh tenaganya yang tersisa

“MATT! BAJINGAN! BUKA PINTU!”

“bukalah pintunya Rose….”

Nadanya menggantung. Rose kembali bingung.

“apa kau benar-benar di dalam rumahku? Kau bedebah Matt! Bajingan dari segala raja bajingan!”

“hahaha masuklah Rose…..”

“bagaimana aku masuk jika kau tak benar-benar berada disana!”

Kemudian langkah kaki sang pemburu liar itu kembali terdengar merangkak sedikit demi sedikit mendekat. Wajahnya yang legam, badannya yang tegap, kumis tipisnya yang menakutkan. Dan. Pisau besar dengan suara tawa yang entah berasal dari situ atau bibirnya yang hitam, membayangi Rose yang semakin ketakutan. Rose gemetaran. Seluruh tubuhnya dingin dan membiru. Lalu dengan semua kemampuannya ditariknya gagang pintu abu-abu itu. Ia mengerang.

“AAARGH!”

Berhasil. Pintu terbuka. Rose masuk. Ruangan putih bersih terpampang di depan wajahnya. Semuanya putih. Kosong. Betul-betul kosong. Rose sendirian dalam ruangan.

Suara langkah yang ditakutinya kemudian kembali menggema dalam telinganya. Rose berjongkok ketakutan. Tangannya memegangi kedua telinganya. Sekelebat kenangan masa kecilnya yang berat, aneh, merisaukan, mimpi-mimpi buruk, saat bersama Matt, impian masa depan, sekolah menengahnya, jadwal kuliahnya, secara acak muncul di depan matanya. Sunyi. Kunang-kunang putih dalam sulaman setan.

Seseorang membalikan badan Rose dan menghujamkan benda berkilat ke dadanya yang naik-turun tak beraturan. Kemudian pergi tanpa jejak.

Seorang lelaki lain masuk ke dalam ruangan memegang sebotol bir dan rokok yang menggelantung di mulutnya. Jalannya sempoyongan dan senyumnya yang menggantung di udara. Suara tawa cekikikannya memecah kesenyapan kemudian.

“hahaha Rose, sudahlah aku hanya bercanda. Tadi aku bersembunyi diatas atap, biasanya kau bisa menebakku dengan cepat! Kurasa intelejensimu sedikit berkurang sejak aku depresi dan lupa menghubungimu di tengah belantara. Ayolah… Jangan berjongkok seperti kodok bodoh begitu! Bangunlah dan peluklah aku! Apa kau tidak merindukanku di hutan sendirian berbulan-bulan?”

Rose tidak bisa menjawab.

Lelaki tadi kemudian mendekat perlahan dan dengan hati-hati membalikkan badan wanita yang sangat dicintainya itu. Dipegangnya tangan Rose dan diguncang-guncangkan badannya mengharapkan suatu gerakan yang tidak mungkin. Tidak lagi mungkin.

Kemudian semuanya menjadi sangat terlambat. Dan menyakitkan.


Hanya ada air bening yang menari di pipi putih yang sedikit demi sedikit merah kemudian biru. Kunang-kunang dengan sinarnya yang terang betul-betul dirajut setan.