Selasa, 18 Maret 2014

Terakhir.



Air hujan warnanya kelabu di pertemuan kita yang kian hari kian membisu.

Tetapi bodohnya masih ditunggu dalam seteru.

Perangai yang terbayang dalam benak manusia-manusia yang mengenalmu.

Sedikit yang kurasakan, namun menggunung yang kurindukan.

Aku mengenalmu begitu dalam. 

Sendu merindu


Pekat malam ini masih saja menyesakkan dada.
Hujan sore tadi tak sedikit pun mengobati hari-hari yang hampir mati.
Tak tega rasanya menyaksikan hatimu yang terluka,
di hampir seribu senja wahai ibunda.
Merindukan purnama pada malam bulan muda.
Tapi aku dan mereka tak lagi percaya,

Semoga berhasil dalam jalanmu sendiri.

tulisan



Luna membulat di malam
Saat surat cinta dari Tuhan dikumandangkan
Dipertemukan oleh kabut kemuning.
Cahaya keperakan, dalam seraut basa-basi
Di secangkir kerinduan.
Ah, terimakasih untuk waktumu yang seujung kuku untukku.

Malam ini. 

-untuk seorang gitaris

Gelombang



Kembali ke daratan!
Kemarin itu adalah saat terdekatku dengan Tuhan.
Dia yang punya kendali,
Aku hampir tak ada perlawanan di tengah gelombang.

Ingin memejamkan mata,
Agar tak kusadari prosesnya.
Kemudian saat mata terbuka, entah aku hidup atau mati saja.

Kapal kecil, dan lima belas manusia.
Diguncang-guncang.

Di tengah air pasang.