Selasa, 09 September 2014

untuk Ayah


Kelopak mata tertutup
dalam luasnya hidupmu yang mengembara
genangan air nirvana
membanjiri lautan pinggiran mayapada

visualisasi perjalanan di titik terjauh,
terlentanglah peluh.
Kata-kata tiada cukup untuk hidup
Pada relungmu yang sebenarnya

Jika dunia hanya berisi siksa,
Maka selamat menempuh kehidupan yang sebenarnya

Ayah,
Samudera tidak cukup kuat untuk merenggutmu
Karena aku adalah rumah,
Bagi keterasinganmu yang panjang

Untuk Ayah kami tercinta,

Selamat jalan…

satu.


Januari, 2000

Pagi itu Fatimah Klavert membangunkan anak angkatnya yang masih tertidur pulas di kamar yang dulunya adalah milik A’isyah, anak semata wayangnya yang tewas saat tragedi berdarah di Ambon.

“Terimakasih Ibu telah bersedia mengizinkan saya menginap di sini beberapa hari…”
Fatimah duduk di pinggir ranjang dan membelai rambut coklat Angel yang lembut.
“Nak, terimakasih telah berhasil melunturkan dendam yang tadinya kusangka telah larut dalam darahku. Terimakasih telah mengajarkan bahwa kita tidak berbeda…”
Lelehan air mata yang beberapa hari ini mengendap tumpah ke pipi Fatimah. Beberapa hari ini Fatimah dan Angel berada dalam satu rumah dan satu lingkungan. Semua prasangka yang mereka lontarkan satu sama lain meluruh dengan hal-hal yang sebetulnya tidak pernah ada perbedaan kecuali masalah interpretasi Ketuhanan.

Tok tok tok…
Seseorang mengetuk pintu rumah Fatimah dengan cukup keras.

Assalamua’laikum, bu Fatimah…”

Fatimah melangkahkan kakinya menuju pintu depan. Dengan cepat ia mengenali suaranya. Adwina, seorang psikolog dari KOMNAS HAM yang selama ini menanganinya.

Waa’laikumsalam, Mbak…”

Mereka saling memeluk.

“Bagaimana kabar ibu dan Angel? Sudah lebih baik?”
“Iya mbak, terimakasih atas bantuannya selama ini. Semalam Angel sudah berkemas, saya rasa ia sudah siap pulang”.

Angel berjalan ke ruang tamu dan menemukkan kedua wanita itu sedang berbincang. Ia duduk di samping Adwina. Angel memainkan jemarinya. Matanya menatap lurus pada ujung kaki yang sedang beradu ibu jari.

“Mbak Win, terimakasih untuk semuanya… mediasi, semuanya. Setelah beberapa hari di sini saya menyadari bahwa kami sama. Kami satu. Leluhur kami satu. Kami makan sagu, kami minum dari air yang sumbernya sama meskipun beda kampung, dan bahkan kami sama-sama hafal lagu Mitha Talahatu. Harusnya agama tidak membuat kami saling menuduh satu sama lain… terimakasih mbak”.

Pelukan yang panjang dan dalam dihadiahkan Angel kepada Adwina.

“Sama-sama sayang, ini hari apa ya?”
“Senin, mbak”, jawab Angel.
“Kemarin kamu nggak ke gereja?”
“Kemarin aku ke gereja, tapi bukan di Kudamati. Saya ke kampung lain. Saya takut warga kampung masih meledak-ledak. Ibu Fatimah mengantar saya sembari pergi ke pasar dekat situ, ia mengawasi dari jauh”.
“Oh, ya? Kalau Ibu Fatimah sholat, kamu di mana?”
“Ibu Fatimah  bilang saya tidak boleh ada di depan orang sholat, jadi ya… saya menunggu di mana saja, asal tidak di depannya. Paling saya hanya membantu mengambilkan air untuk wudhu…”.

Senyum puas terkembang di wajah Adwina. Ia menatap dalam-dalam kedua pasiennya itu,

“Jadi, apakah kalian berbeda? Apakah kalian masih membenci cara hidup agama lain?”

Fatimah membetulkan kain di atas rambutnya.

“Kami sama, budaya kami sama. Semua yang kami lakukan sama. Hanya agama yang membedakan kami. Tapi ajaran agama kami sama, sama-sama menyebarkan cinta kasih di muka bumi… kami satu.”

**
Desember, 1999
Pagi itu langit yang tadinya abu-abu sedikit demi sedikit mulai memancarkan kemurnian. Asap yang tadinya mengepul di seluruh kota, tiba-tiba lenyap. Semoga hari ini semuanya terungkap, semoga logika memenangkan kompetisi dalam jalur kebenaran. Gelembung kosong pecah di udara.

Seorang wanita berdiri di depan mikrofon yang diletakkan di atas one pod. Di belakang mikrofon duduk empat orang yang sedang mengamatinya dari balik meja. Kertas bertumpuk-tumpuk di atas meja. Ada dua shaf manusia yang juga sedang memerhatikan wanita itu, satu shaf di kanan, satu shaf di kiri. Jumlah mereka sekitar sepuluh orang tiap shaf.

“Aku Angel Leihitu, 25 tahun, belum menikah. Ehhh…”

Wanita berkulit coklat terang itu menggigit bibirnya seraya memainkan kemeja biru muda pastelnya.

“Aku… saat itu keadaan sedang kacau. Rumahku dibakar orang, sekitar… ehhh…”

Tetes-tetes bening mulai turun samar-samar. Kemudian semakin jelas.

“Tak apa Angel, katakanlah… kita berkumpul di sini kan memang untuk mendengarkanmu, supaya lukamu cepat sembuh, agar tak ada lagi dendam dan permusuhan. Ayolah sayang, kami yakin kamu kuat!”

Seorang wanita berusia sekitar awal 40-an tahun bangun dari kursinya dan menggamit lengan serta membelai rambut Angel yang mulai dibasahi keringat.

“Oke, kita akan teruskan kalau kamu sudah siap. Bagaimana?”

Wanita 25 tahun itu pun mengangguk ringan sembari mengelap pipinya yang basah.

“Iya, baik. Waktu itu Ayahku sedang bersimpuh di depan salib dan berdoa. Sementara aku dari kamar hanya melihat mereka samar-samar masuk ke dalam rumah dan menyeret Ayah keluar. Aku berlari mengejar Ayahku yang akhirnya berhasil dibawa dengan sebuah mobil kijang, lalu dua orang dari mereka berhasil menahanku. Hal yang aku ingat adalah mereka menggunakan penutup kepala dan surban merah putih serta terus meneriakkan kata-kata dalam bahasa Arab…”.

Angel menutup muka dengan tangannya yang telah basah.

“Ya! Mereka seperti kalian!”

Ia mengangkat tangan dan menunjuk orang-orang yang duduk di depannya. Matanya merah, dan bibirnya terus bergetar. Air mata terus mengalir hingga membasahi kemejanya yang tipis.

“Mereka persis seperti kalian! Mereka muslim, dan beringas! Bejat seperti kalian! Kalian bawa Ayahku! Kembalikan Ayahku! Kembalikan Ia! Kembalikan semuanya… kembalikan keperawananku yang kalian ambil! Kalian teroris!”

“Angel cukup, tenangkan dirimu…”

Adwina kembali angkat bicara. Ia memeluk Angel sebentar dan mengelap keringatnya dengan tisu.

“Dua orang dengan surban menarikku ke atas ranjang. Satu memakai baju biru, dan satu lagi menggunakan kemeja coklat. Mereka mengikatku ke tempat tidur, aku berusaha kabur berkali-kali, tapi sia-sia. Si biru melucuti pakaianku bagian atas: baju, kaus dalam, dan bra. Sedangkan si coklat membuka celana dan celana dalamku. Mereka meniduriku bergantian. Ketika aku kembali mencoba menendang wajah mereka dengan susah payah, bedebah-bedebah itu menodongku dengan revolver yang masing-masing ditaruh di saku belakang baju mereka… lalu aku hanya melihat gumpalan asap dari arah belakang rumahku”.

Angel berhenti bicara. Gumpalan besar dalam dadanya masih banyak yang tersisa dan sebentar lagi akan meledak. Wanita 40-an tahun kembali berdiri dan mengajak Angel duduk di kursi sebelahnya. Kemudian Ia melangkahkan kakinya menuju mikrofon.

“Baiklah hadirin sekalian, telah kita saksikan kesaksian dari kubu warga nasrani dari kampung Kudamati, sekarang kita dengarkan kesaksian salah satu korban dari warga muslim dari kampung Batu Merah, Ibu Fatimah dipersilakan!”

Ia mempersilakan seseorang dari shaf kanan.

Seorang Ibu berusia 50-an tahun dengan baju biru panjang yang menutupi seluruh tubuhnya hingga hampir terlihat tanpa lekuk. Kain hitam yang digunakannya di atas kepala menjuntai hingga persis di bawah dada. Wajahnya coklat pucat dengan mata yang merah dan bibir yang terus bergetar. Tasbih hijau yang dimainkannya rasanya sudah tak kuat membendung jutaan bahan peledak dalam dadanya. Jutaan bahan peledak yang kini asapnya mulai merembes dan terasa perih… terasa perih hingga air matanya terus meleleh.

“Nama saya Fatimah Klavert, 52 tahun, janda…”

Fatimah menggigit bibirnya yang semakin pucat.

“Waktu itu tanggal 9 Januari 1999, segerombolan masa yang saya tidak tahu dari mana datangnya terus meneriakkan bahwa masjid di kota Ambon telah dibakar semuanya. Saya mengatakan pada suami saya untuk tetap diam di rumah… tapi suami saya tetap pergi mengecek keberadaan anak kami yang bekerja sebagai guru mengaji di Masjid Raya Ambon. Saat itu kami sudah berkali-kali menelepon ketua DKM masjid tapi tak ada jawaban. Baru kira-kira dua meter dari rumah, sekelompok orang berbadan kekar dan menggunakan kalung salib menembaknya persis di bagian dada sebelah kiri.”

Fatimah berhenti bicara. Rahang dan giginya bergemeletak, kemudian bibirnya kembali bergetar. Matanya merah dan dengan sekali tarikan nafas is berkata:

“Mereka menembaki suamiku! Mereka tanpa ampun menembaki suamiku mashaAllah… astagfirullahaladziim… ya Allah suamiku mati di situ! Tak ada satu orang pun yang berani ke luar rumah membantu kami, mashaAllah… suamiku kubaringkan ke pangkuanku, lalu aku hanya melihat  kilatan matanya yang meredup dan hilang.”

Adwina  bangkit dan menyerahkan sekotak tisu ke pada Fatimah.

“Terimakasih…”

Kata Fatimah.

“Lalu anakku, dua hari setelah kejadian itu aku memberanikan diri pergi ke Masjid Raya Ambon untuk mencari anakku. Sampai sana kedaan hening… karena semua orang sedang menyolati beberapa jenazah. Aku hanya bisa menangis di depan papan daftar nama korban, seolah tak percaya salah satu dari jenazah itu adalah anak perempuan kesayanganku. Anak perempuan paling shalehah, Ya Allah padahal tahun ini ia harusnya lulus  kuliah, astagfirullahaladziim…”

Fatimah terus mengucapkan astagfirullah sembari memutar tasbihnya.

“Baik, saya rasa cukup. Kepada bapak dan ibu perwakilan dari KOMNAS HAM dan LSM Ambon Bersatu dipersilakan…”

Seorang bapak yang duduk persis di sebelah wanita itu mengambil mikrofon. Lengan kemejanya berwarna merah marun digulung hingga siku. Rambutnya yang panjang sebahu digelung.

“Oke, saya Andri dari KOMNAS HAM. Pertama-tama saya ingin menghaturkan keprihatinan dan belasungkawa yang mendalam atas peristiwa ini terutama kepada ibu Fatimah dan saudari Angel. Begini, KOMNAS HAM sebagai lembaga yang independen meskipun dibiayai oleh pemerintah, bertugas menguraikan benang kusut dalam tragedi kemanusiaan ini yang tentunya telah melukai hak asasi manusia. Jadi, kami di sini mencari bukti-bukti pelanggaran hak asasi manusia kemudian menyerahkannya kepada pihak berwajib agar dapat diproses dengan semestinya. Mbak Angel dan Ibu Fatimah, apakah kalian yakin bahwa yang menyerang rumah kalian pada saat itu adalah tetangga beda kampung, yang… katakanlah memang beda agama?”

Andri mengatakan semuanya dengan cepat dan hati-hati. Keringat mulai meluluh dari dahinya.

Fatimah angkat bicara.

“Saya tidak mengenali wajah mereka, Pak. Tapi yang saya bisa lihat mereka menggunakan kalung salib di lehernya.”

“Kenapa Ibu tidak mengenali wajah mereka? Padahal mereka tetangga kampung Ibu, harusnya Ibu pernah melihat mereka satu dua kali, mungkin kalau belanja ke pasar atau pergi ke kampungnya. Ibu pernah ke kampung mereka?”

Dengan air muka yang tenang Fatimah menjawab,

“Sering Pak, setiap beberapa hari saya mengambil kelapa di kebun. Kebetulan kebun saya persis di muka kampung mereka, saya juga sering bertemu warga kampung mereka saat ambil kelapa. Kebetulan beberapa kawan saya yang juga petani kelapa dari kampung Kudamati.”

“Nah, kalau begitu apakah Ibu yakin tersangka pembunuh suami Ibu dari kampung Kudamati?”

“Eeh, saya tidak tau pak, tapi yang jelas mereka memakai kalung salib.”

“Baik, ibu Fatimah terimakasih. Mbak Angel silakan…”

“Saat itu mereka pakai surban, saya tidak tahu wajahnya. Mereka hanya meneriakkan kata-kata dalam bahasa Arab. Dengan demikian, mereka pasti muslim… selain itu, beberapa polisi juga mengatakan arah datang mereka dari Kampung Bata Merah di seberang kebun kelapa”.

Andri menaikkan sebelah alisnya. Isi kepalanya berputar begitu cepat, sebentar lagi muntahannya akan keluar. Semua informasi berputar mengelilingi otaknya. Informasi-informasi itu bergelut membentuk topan badai dalam benaknya, black hole telah tercipta, ledakan besar sebentar lagi menghamburkan lava pijar dan kawah baru akan terbentuk.

Terbentuk seperti borok dengan bau busuk.

“Polisi? Pada saat kejadian ada polisi?”

“Ya… tapi mereka hanya memandang dari kejauhan dan membiarkan keparat-keparat busuk itu menyeret ayahku. Dan… membiarkan aku diperkosa. Setelah bajingan-bajingan itu pergi, polisi yang mendengar teriakanku dari dalam rumah kemudian membukakan ikatanku. Mereka bilang orang-orang itu dari kampung Bata Merah.”

“Ibu Fatimah dan Angel, adakah ciri-ciri orang-orang itu yang masih kalian ingat?”

Angel memutar bola matanya. Kulit coklat terangnya yang cantik berkilauan ditimpa air mata.

“Karena mereka menggunakan penutup wajah, yang kuingat hanya tangan salah satu orang yang menarik Ayahku dan memerkosaku. Ia sempat beberapa kali memutar pergelangan tangannya. Tersangka yang menggunakan kemeja coklat, di bagian bawah pergelangan tangan kirinya ada tato bintang, dan di belakang telapak tangannya ada…”

Belum selesai Angel menguraikan ciri tersangka yang dia ingat, Fatimah menyeruak tanpa mikrofon.

“Ada tato huruf A!”

Angel mengernyitkan matanya, mencoba menohok ke dalam mata Fatimah.

“Hei! Bagaimana Ibu bisa tahu?”

Angel membalik tatapannya kepada Andri.

“Dengar sendiri! Ibu ini tahu! Pasti mereka adalah kerabatmu kan? Muslim bajingan!”

Suara gaduh membahana seisi ruangan. Seluruh orang yang hadir kecuali yang duduk di belakang meja melontarkan makian-makian agama.

Andri menarik nafas panjang. Fatimah melompat mengambil mikrofonnya yang jatuh.

“Bukan! Orang itu juga yang menembak suami saya!”
**

Februari, 2000

“Tidak ada masjid yang dibakar, tidak ada gereja yang dibakar. Semua bukti mengatakan bahwa konflik horizontal ini sama sekali bukan disebabkan oleh agama. Bahwa provokasi yang dilakukan beberapa oknum memang terjadi, tujuannya adalah memecah belah warga Maluku dan sekitarnya dengan membawa isu agama. 1.132 korban tewas, 312 luka parah, dan ratusan ribu orang memilih meninggalkan tempat tinggalnya dengan ketakutan… kami menuntut pihak yang berwajib mengusut tuntas peristiwa Kerusuhan Ambon 1999!”

Suasana persidangan siang hari itu sangat panas dan sesak. Segerombolan manusia kulit hitam dan wartawan berkumpul, mereka persis sekumpulan semut yang jika ditiup sedikit, maka akan langsung berhamburan semuanya. Rupanya semut-semut itu sedang marah, sedikit saja disenggol, maka sekujur tubuhmu akan bengkak digigitinya. Sementara itu ribuan personel militer disiagakan untuk mengamankan situasi, bak sekumpulan belalang yang akan merampok makanan semut. Mereka kuat, kuat dan tanpa ampun. Satu saja kata provokasi terlontar maka satu gedung bisa ambruk dilalap kemarahan.

“USUT TUNTAS KASUS INI! HIDUP RAKYAT AMBON! HIDUP RAKYAT MALUKU!”

Seorang mahasiswa beralmamater merah meneriakkan orasi dalam ruang sidang.

“HADIRIN HARAP TENANG!”

Hakim berteriak menenangkan situasi. Nada kesal lebih dominan dalam penekanan kata-katanya.

“Saudara Andri dipersilakan membacakan kembali kesaksiannya…”

“Terimakasih yang mulia. Kami menuntut pemulihan kondisi kota Ambon dan seluruh wilayah Maluku! Dan untuk melengkapi data dan fakta lapangan serta kesaksian masyarakat, kami telah menyiapkan ini...”
Ia memberikan sebundal kertas yang tebalnya mencapai sekitar-tiga-puluh-centi meter kepada hakim dan jaksa. Andri kembali ke tempat duduknya semula. Terdakwa mengambil alih kursi pesakitan. Matanya berputar menghadap atap.

Di atas kursi pesakitan, terdakwa berbaju abu-abu melihat bintang-bintang dari pundaknya terbang ke langit-langit persidangan.


Yang ada hanya siang dan malam, senja hanyalah peralihan.





Tulisan ini memenangkan juara I Olimpiade Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia tahun 2014 dan telah diterbitkan.

Rabu, 03 September 2014

an idea in the crisis area


Optional tinkerbell...

Never fly Never be flied.

Offensive
Suicider's perspective.

Damn it revenge

What life?
What prescious?

Orange juice inside the empty glass...
We laugh in the stupid joke:
Hello! Welcome to the jungle!

Strong mind in the wasting time.

Life through dimenssion
I die in your hand,
But why don't u die in your perspective?
Why don't u die in your hand?

Middle class.
Enough for your mind.
You're just too average.

What life, darling?
What life?

masa

Suatu hari di masa depan, ada kunang-kunang mengintip bayangan kita dari balik jendela.
Kemudian dengan kepakan cahayanya, ia menari bersamaa kilatan mata kita yang benderang.

Suatu hari nanti, ada anak kecil menangis di muka rumah kita.
Kemudian dengan sentuhan lembut ayahnya, ia diangkat kepangkuan.

Suatu hari nanti, ada seorang ayah duduk di teras rumah kita.
Kemudian dengan senyum ringan, anak kecil naik ke atas kursi kayunya.

Suatu hari nanti, saat kemudian suatu hari itu tak berarti lagi.
Saat akan menjadi sedang, Lalu telah menghilang dalam kenangan. 

Suatu hari nanti akan meninggalkan kita,
Suatu hari nanti.

Rabu, 16 April 2014

Ada. Tidak.


Rose berlari sekuat tenaga menghindari sesosok lelaki mengerikan yang dengan sangat sigap hampir-hampir menangkapnya dengan sekali hentakan. Diujung jalan. Rose mengenali bangunan putih abu-abu di depannya, dengan sisa-sisa tenaga ia mencengkeram gagang pintu dari besi ringan yang berkilau, paling cemerlang diantara warna-warna lain di bagian depan rumah itu: kusam dan kelabu. Rose menarik-narik dan menggoyangkan ke kanan ke kiri gagang bundar yang ada dalam cengkeramannya, sulit terbuka. Rose kemudian menyandarkan badannya di pintu abu-abu yang separuhnya rusak karena perubahan masa. Sadar akan kesia-siaan yang dia lakukan, Rose kemudian berteriak dengan susah payah,

“HALOOO!”

Sunyi. Lalu suara lelaki yang sangat dikenali merambat melalui sela-sela antara pintu dan lantai.

“iya, siapa disana?”

“matt, kau di dalam?”

Tidak ada jawaban.

Kemudian dengan suara parau dan napas terengah-engah Rose kembali berteriak memanggil lelaki itu.

“aku Rose.”

“Rose, ini aku. Masuklah!”

Separuh percaya apa yang di dengar oleh telinganya, Rose kembali menggungcang-guncangkan gagang pintu bundar keperakan itu.

“Matt, buka pintu!”

“Rose ini aku…”

Semua semakin menggantung dan abu-abu. Perempuan malang dalam pengejaran lelaki buas itu diam. Kalut. Risau. Rose menyeka keringatnya dengan saputangan putih pemberian lelaki tegap berkumis yang disangkanya ada beberapa meter di belakang tulang rusuknya. Ia menangis. Bahkan menangis tanpa air mata, pelariannya dari kejaran lelaki buas berjam-jam dalam hutan, sungai, semak belukar menjelma jadi bayangan menakutkan dalam pikirannya dan menguras habis air matanya. Kini ia mencoba memusatkan pikirannya, ke arah belakang badannya, bangunan, yang menjadi tempat singgahnya selama ini. Tempat singgahnya selama ini.

“aku tidak bisa membuka pintunya, tolol!”

“bukalah Rose!”

Rose kemudian bingung. Dengan segera ia menyadari sesuatu.

“apa kau benar-benar di dalam matt?”

Senyap.

Rose berteriak dengan seluruh tenaganya yang tersisa

“MATT! BAJINGAN! BUKA PINTU!”

“bukalah pintunya Rose….”

Nadanya menggantung. Rose kembali bingung.

“apa kau benar-benar di dalam rumahku? Kau bedebah Matt! Bajingan dari segala raja bajingan!”

“hahaha masuklah Rose…..”

“bagaimana aku masuk jika kau tak benar-benar berada disana!”

Kemudian langkah kaki sang pemburu liar itu kembali terdengar merangkak sedikit demi sedikit mendekat. Wajahnya yang legam, badannya yang tegap, kumis tipisnya yang menakutkan. Dan. Pisau besar dengan suara tawa yang entah berasal dari situ atau bibirnya yang hitam, membayangi Rose yang semakin ketakutan. Rose gemetaran. Seluruh tubuhnya dingin dan membiru. Lalu dengan semua kemampuannya ditariknya gagang pintu abu-abu itu. Ia mengerang.

“AAARGH!”

Berhasil. Pintu terbuka. Rose masuk. Ruangan putih bersih terpampang di depan wajahnya. Semuanya putih. Kosong. Betul-betul kosong. Rose sendirian dalam ruangan.

Suara langkah yang ditakutinya kemudian kembali menggema dalam telinganya. Rose berjongkok ketakutan. Tangannya memegangi kedua telinganya. Sekelebat kenangan masa kecilnya yang berat, aneh, merisaukan, mimpi-mimpi buruk, saat bersama Matt, impian masa depan, sekolah menengahnya, jadwal kuliahnya, secara acak muncul di depan matanya. Sunyi. Kunang-kunang putih dalam sulaman setan.

Seseorang membalikan badan Rose dan menghujamkan benda berkilat ke dadanya yang naik-turun tak beraturan. Kemudian pergi tanpa jejak.

Seorang lelaki lain masuk ke dalam ruangan memegang sebotol bir dan rokok yang menggelantung di mulutnya. Jalannya sempoyongan dan senyumnya yang menggantung di udara. Suara tawa cekikikannya memecah kesenyapan kemudian.

“hahaha Rose, sudahlah aku hanya bercanda. Tadi aku bersembunyi diatas atap, biasanya kau bisa menebakku dengan cepat! Kurasa intelejensimu sedikit berkurang sejak aku depresi dan lupa menghubungimu di tengah belantara. Ayolah… Jangan berjongkok seperti kodok bodoh begitu! Bangunlah dan peluklah aku! Apa kau tidak merindukanku di hutan sendirian berbulan-bulan?”

Rose tidak bisa menjawab.

Lelaki tadi kemudian mendekat perlahan dan dengan hati-hati membalikkan badan wanita yang sangat dicintainya itu. Dipegangnya tangan Rose dan diguncang-guncangkan badannya mengharapkan suatu gerakan yang tidak mungkin. Tidak lagi mungkin.

Kemudian semuanya menjadi sangat terlambat. Dan menyakitkan.


Hanya ada air bening yang menari di pipi putih yang sedikit demi sedikit merah kemudian biru. Kunang-kunang dengan sinarnya yang terang betul-betul dirajut setan.

Selasa, 18 Maret 2014

Terakhir.



Air hujan warnanya kelabu di pertemuan kita yang kian hari kian membisu.

Tetapi bodohnya masih ditunggu dalam seteru.

Perangai yang terbayang dalam benak manusia-manusia yang mengenalmu.

Sedikit yang kurasakan, namun menggunung yang kurindukan.

Aku mengenalmu begitu dalam. 

Sendu merindu


Pekat malam ini masih saja menyesakkan dada.
Hujan sore tadi tak sedikit pun mengobati hari-hari yang hampir mati.
Tak tega rasanya menyaksikan hatimu yang terluka,
di hampir seribu senja wahai ibunda.
Merindukan purnama pada malam bulan muda.
Tapi aku dan mereka tak lagi percaya,

Semoga berhasil dalam jalanmu sendiri.

tulisan



Luna membulat di malam
Saat surat cinta dari Tuhan dikumandangkan
Dipertemukan oleh kabut kemuning.
Cahaya keperakan, dalam seraut basa-basi
Di secangkir kerinduan.
Ah, terimakasih untuk waktumu yang seujung kuku untukku.

Malam ini. 

-untuk seorang gitaris

Gelombang



Kembali ke daratan!
Kemarin itu adalah saat terdekatku dengan Tuhan.
Dia yang punya kendali,
Aku hampir tak ada perlawanan di tengah gelombang.

Ingin memejamkan mata,
Agar tak kusadari prosesnya.
Kemudian saat mata terbuka, entah aku hidup atau mati saja.

Kapal kecil, dan lima belas manusia.
Diguncang-guncang.

Di tengah air pasang.

Rabu, 26 Februari 2014

entah



raut wajahmu masih seperti tetes-tetes embun
menggantung di pucuk rambut kami yang basah

tapi sayang,
warna kuning sudah menghilang
kelabu tertawa kemudian

Selasa, 25 Februari 2014

SURAT



Menanti reinkarnasi Visnu
Yang menapakkan kakinya di atas bumi
Lewat kidung yang kita nyanyikan,
Aku berharap semoga engkau tetap datang

Tangan-tangan surga,
Yang membelai rambutku dari nirvana
Tidak cukup menenteramkan mata, hati, dan jiwa
Karena kita…
Masih berjalan kea rah yang berbeda

Menunggumu adalah hal yang tidak menyenangkan
Tapi kalau senggang…
Aku menulis puisi di kala petang
Sambil menunggumu pulang,
saat mentari senja
dari balik rimba



Senin, 24 Februari 2014

HANCUR


Tak ada matahari hari ini
Cuma awan kelabu yang sedang mengelabuhi

Kemarau panjang yang panas,
Tapi mendung.

Belum ada hujan
Tapi aku sudah kedinginan.

Ini sudah malam,
Tapi tak ada bintang.

Sore ini juga,
Belum ada teh dalam cangkir kita;
Padahal aku sudah menunggu di depan telaga;
Meunggumu memainkan pianika;
Dalam serangkaian nada bidadara.


Kadang kita merasa kuat, bahkan terlalu kuat sampai pada satu titik kita merasa butuh perlindungan. Tapi terkadang orang-orang yang perlindungannya kita butuhkan, hanya bergerak pada urusan masing-masing yang sama sekali tidak menyangkut diri kita dan urgensinya tidak jelas. Jadilah kita hanya berharap, sedang kita sama sekali bukan prioritas.