Rabu, 26 Februari 2014

entah



raut wajahmu masih seperti tetes-tetes embun
menggantung di pucuk rambut kami yang basah

tapi sayang,
warna kuning sudah menghilang
kelabu tertawa kemudian

Selasa, 25 Februari 2014

SURAT



Menanti reinkarnasi Visnu
Yang menapakkan kakinya di atas bumi
Lewat kidung yang kita nyanyikan,
Aku berharap semoga engkau tetap datang

Tangan-tangan surga,
Yang membelai rambutku dari nirvana
Tidak cukup menenteramkan mata, hati, dan jiwa
Karena kita…
Masih berjalan kea rah yang berbeda

Menunggumu adalah hal yang tidak menyenangkan
Tapi kalau senggang…
Aku menulis puisi di kala petang
Sambil menunggumu pulang,
saat mentari senja
dari balik rimba



Senin, 24 Februari 2014

HANCUR


Tak ada matahari hari ini
Cuma awan kelabu yang sedang mengelabuhi

Kemarau panjang yang panas,
Tapi mendung.

Belum ada hujan
Tapi aku sudah kedinginan.

Ini sudah malam,
Tapi tak ada bintang.

Sore ini juga,
Belum ada teh dalam cangkir kita;
Padahal aku sudah menunggu di depan telaga;
Meunggumu memainkan pianika;
Dalam serangkaian nada bidadara.


Kadang kita merasa kuat, bahkan terlalu kuat sampai pada satu titik kita merasa butuh perlindungan. Tapi terkadang orang-orang yang perlindungannya kita butuhkan, hanya bergerak pada urusan masing-masing yang sama sekali tidak menyangkut diri kita dan urgensinya tidak jelas. Jadilah kita hanya berharap, sedang kita sama sekali bukan prioritas.



Jumat, 21 Februari 2014

Smaradahana



Smaradahana


Tersebutlah Dewa Śiwa yang sedang bersemadhi di gunug Meru, jauh dari khayangan, tempat tinggalnya dan para Dewa. Ia memfokuskan seluruh panca inderanya melakukan tapa-brata-nya. Meski pun ia adalah dewa tertinggi, Śiwa tidak mempedulikan segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan tapanya. Salah satu yang  diabaikan Śiwa adalah Uma, permaisurinya yang jelita dan masih perawan.

Pada saat itu Nilarudraka yang berasal dari Senapura beserta pasukannya, para raksasa, ingin menghancurkan khayangan dan seluruh para Dewa. Seluruh Dewa di khayangan ketakutan karena tidak memiliki kekuatan untuk melawannya. Mereka tidak dapat melawan Nilarudraka karena sebelumnya Dewa Śiwa telah memberi anugerah kepada Nilarudraka agar tidak terkalahkan oleh siapa pun kecuali Dewa Śiwa sendiri. Para Dewa pun melakukan diskusi dan kemudian mengatur strategi. Sebagai hasilnya, Dewa Indra, Dewa Whraspati, Dewa Wiśnu dan Dewa Brahma bersepakat untuk memanggil Śiwa kembali ke khayangan untuk menghadapi Nilarudraka.

Śiwa dikenal sebagai Dewa tertinggi yang ditakuti seluruh buana karena kekuatannya yang dapat menghancurkan apa saja dalam sekejap mata. Para Dewa akhirnya yang telah mengatur strategi harus berhati-hati dalam membawa Śiwa kembali ke khayangan tanpa membuatnya marah karena harus meninggalkan tapanya. Ditetapkanlah Dewa Kama sebagai Dewa asmara untuk datang menghadap Śiwa dan menancapkan panah asmaranya.

Para Dewa berangkat ke kediaman Kama. Mereka disambut dengan berbagai kenikmatan yang disajikan Kama. Setelah mendengar penjelasan para Dewa, Kama masih merasa ragu, namun dewa Wrhaspati berjanji untuk mendatangkan bantuan untuknya. Janji seorang Brahmin sama sekali tidak boleh disangkakan, akhirnya, Meski pun dengan berat hati, karena Dewi Ratih tidak rela suaminya dijadikan umpan para Dewa, berangkat pula Dewa Kama diiringi oleh para Dewa. Hari baik itu adalah permulaan bulan ke empat.

Dewi Ratih, istri Dewa Kama, telah merasakan firasat buruk mengenai kepergian suaminya guna melancarkan niat suci para Dewa. Namun Kama berhasil menghiburnya dengan bercerita tentang Surga di malam bulan purnama. Ratih dengan bersedih hati akhirnya mau meluluh dan mengizinkan suaminya diumpankan kepada Kama.

Perjalanan ditempuh, para rombongan menyaksikan keindahan alam yang berupa senjata, kereta, dan sais yang menariknya. Sampailah Dewa Kama ke tempat Dewa Śiwa sedang tapa-brata, di bawah naungan pohon Darsana, di atas gunung Meru. Seluruh Dewa yang mengiringinya hanya melihat dari kejauhan, termasuk Indra yang merupakan Dewa perang. Para Dewa hanya tertegun melihat Śiwa yang sedang berkonsentrasi tinggi dalam tapa-brata-nya. Hanya Kama yang berani mendekati Śiwa, meski terdapat ketakutan pula dalam hatinya.

Terlihat sepasang makhluk penjaga Śiwa, Mahakala dan Nandiśwara, mencoba menakut-nakuti dengan melepaskan segala daya kekuatan alam. Mereka lalu ditenangkan oleh para Rsi yang kemudian undur diri. Dewa Kama sesaat setelah sampai ke tempat tujuannya langsung menghaturkan sembah bhakti kepada Śiwa, sang Dewa penghancur yang paling berkuasa. Sesudah menghaturkan salamnya dan melakukans samadhi singkat, Dewa Kama langsung melemparkan segala senjata ke arah Śiwa namun semua yang terlempar berubah menjadi perhiasan Dewa, dan Śiwa tetap duduk tidak bergerak, malah sekarang mematung dengan berbagai macam perhiasan. Seluruh amunisinya tidak mempan melawan kuatnya tapa Śiwa. Dewa Kama tidak kehabisan akal, ia lalu melakukan samadhi singkat sekali lagi, kemudian tampaklah musim-musim bergantian, musim tersebut dipimpin oleh musim semi. Kama kemudian kembali melepaskan panahnya, kali ini yang lebih panas karena terbuat dari bunga-bunga yang dapat disentuh oleh seluruh panca indera. Panah yang terakhir ini mengenai hati dengan tepat, Śiwa pun terbuai dalam angan-angan Uma serta seakan-akan melihat Uma berada di pangkuannya. Namun demikian, ini terjadi sesaat setelah Śiwa menoleh ke arah Kama yang telah melepaskan panahnya. Śiwa yang marah kemudian merubah dirinya dalam wujud Tiwikrama, yaitu Śiwa dalam sosok yang menyeramkan. Dewa Kama berteriak ketakutan meminta pertolongan para Dewa dan Rsi yang tadi mengiringinya, namun sia-sia karena mereka telah lari tunggang langgang menghindari amukan Śiwa. Tinggallah Dewa Kama bersama Śiwa yang menakutkan, membakar seluruh badannya hingga mejadi abu dengan matanya yang menyala-nyala.

Dewa Kama telah tamat riwayatnya, Ia menghaturkan selamat tinggal kepada sang Ratih, dan seketika melompat keluar dari tubuhnya. Upacara pelayatan dilangsungkan pada musim semi, bersama-sama dengan segala sesuatu yang elok di dalam hutan. Para Dewa dan Rsi melakukan pemujaan kepada Śiwa dan menghadirkannya dalam bentuk yang indah dalam pikiran mereka. Dalam bayangannya, Śiwa diubah dalam bentuk Dewa pemurah yang duduk di atas Padma yang bermahkota delapan. Dengan begitu, Śiwa dipuja dalam sosok Dewa yang sebagai sesuatu tampak dalam setiap sesuatu,  Dewa yang dipuja para pendamba pelepasan akhir hidup, dan pencipta segala sesuatu di dunia. Dewa Indra yang memiliki tanggungjawab mengembalikan Kama, sebelumnya ingin melarikan diri namun ditegur –karena sikapnya yang pengecut- oleh Dewa Wrhaspati dan bersama-sama dengannya turut memohon kepada Śiwa untuk menghidupkan kembali Dewa Kama. Pada saat itu, Śiwa berhasil dibujuk untuk menanggalkan bentuk ugra-nya, namun kemarahan di dadanya masih menyala. Akibatnya, saat permintaan untuk menghidupkan kembali Kama, Śiwa mendengarkannya dengan bersungut-sungut. Setelah dijelaskan oleh Dewa Wrhaspati bahwa Kama hanya diutus untuk menebar cinta di hati Śiwa terhadap Uma guna melawan Nilarudraka yang telah diberi anugerah kekuatan yang tak tertandingi, serta dijelaskan pula bahwa hidup tiada berwarna tanpa cinta, Śiwa pun mengabulkannya dengan menghidupkan Kama dalam bentuk yang tersembunyi dan lepas dari segala kebendaan (suksma). Sejak saat itu pula para rohaiawan diperkenankan untuk menggunakan  hiasan bunga di telinganya untuk memperingati Śiwa yang pernah terselewengkan hatinya oleh Kama, padahal Ia sedang bermeditasi di dunia wujud.

Ratih tidak menerima keputusan Śiwa, karena baginya, bila tak bertubuh maka tidak hidup. Bersemayam di dalam hati manusia atau Dewa dan tidak memiliki tubuh, berarti bukan kehidupan yang sebenarnya. Ratih begitu marah kepada para Dewa yang telah mengingkari janjinya untuk menjaga Kama dan membiarkannya mati di tangan Śiwa. Ratih yang telah berputus asa, kemudian merencanakan untuk melakukan upacara Śakti, yaitu upacara pembakaran diri untuk membuktikan kesetiannya terhadap pasangan. Dewa Indra yang tetap berdiam diri menyaksikan abu Kama sesaat setelah keputusan diambil, dipesankan oleh Dewa Kama untuk mencegah tindakan Ratih, namun Ratih tetap bersikeras untuk melakukannya, ia akhirnya tetap memegang teguh niatnya untuk melaksanakan upacara śakti. Ratih yang tertimpa kemalangan cinta yang begitu hebat menjadi murung setiap saat. Diceritakan bahwa setiap kali ia ingin membersihkan badan dan fikiran melalui mandi, air yang menyentuh kulitnya berubah menjadi api yang berkobar melahap sukmanya. Ratih yang malang tak dapat tidur, saat ia dapat tertidur, ia terkadang bangun oleh ratapan dan tangisannya yang panjang. Meski pun para Dewa berjanji untuk menghidupkan kembali Kama dalam bentuk seutuhnya, namun Ratih tetap merasa sedih, tetapi kemudian ia dapat menerima nasibnya dan tetap berniat mengikuti suaminya ke alam baka.

Nanda dan Sunanda, dua orang pelayan Ratih yang setia mengiringi kepergian tuannya ke pegunungan untuk melakukan niatnya, menyusul Kama ke alam baka. Alam pegunungan yang indah seolah-olah membangkitkan api pada sisa abu dan tulang Kama yang terbakar dalam gua tempat Śiwa tapa-brata, yang kemudian kembali berkobar dan sekan-akan melambaikan tangan mengajak Ratih masuk  ke dalamnya. Ratih yang tergoda mendekatinya kemudian menyucikan dirinya dengan melakukan yoga dan ikut hangus lenyap di dalamnya. Meski Kama dan Ratih telah berada di alam yang sama, namun karena mereka tidak sebadan, mereka tetap tidak dapat bersatu. Semenjak itu Kama bersemayam di hati Śiwa dan Ratih berada di hati Uma.

Sejak tertancapnya hati Śiwa oleh panah asmara Kama, timbullah rasa rindu yang begitu besar terhadap Uma. Śiwa pun meninggalkan tapa brata-nya sebagai wiku dengan memilih menemui Uma dan memulai episode percintaan mereka. Setelah sampai di kediaman mereka, entah mengapa Śiwa yang ada Kama dalam dadanya, melihat Uma sudah bukan lagi seorang anak kecil. Setelah beberapa waktu kepulangan Śiwa ke dalam pelukan sang permaisuri, Uma pun mengandung seorang anak. Atas prakarsa yang telah disepakati para Dewa, akhirnya dibawalah seekor gajah wahana Dewa Indra ke tempat Śiwa dan Uma berada. Uma yang merasa begitu ketakutan melihat gajah, sontak bersembunyi di balik Śiwa. Beberapa waktu berlalu Uma akhirnya melahirkan seorang anak yang dinantikan oleh para Dewa sebagai kelahiran juru selamat di Khayangan. Anak yang lahir dari Rahim Uma ternyata memiliki kesaktian yang dianugerahkan oleh sang ayah, Śiwa, uniknya anak ini berkepala gajah dan diberi nama Sang Hyang Gana. Sang Hyang Gana inilah yang nantinya akan melawan Nilarudraka dan pasukan raksasanya.

Sang Nilarudraka yang diberitahu oleh matanya bahwa anak Uma telah lahir, akhirnya menyerang surga dengan balatentaranya yang besar. Saat itu para Dewa yang persiapannya belum selesai lari tunggang-langgang meminta bantuan Śiwa beserta Sang Hyang Gana, sang juru selamat surga. Pada waktu itu anak Śiwa, belum tumbuh begitu besar sehingga diperlukan pembacaan berbagai mantra dan yoga oleh para Dewa dan Rsi untuk mempercepat pertumbuhannya. Setelah pertumbuhannya mengalami kemajuan yang pesat, Sang Hyang Gana memimpin pasukan Surga dengan gagah berani. Ia dianugerahkan berbagai macam senjata dan kekuatan sehingga dapat menyerang musuh-musuhnya yang amat membahayakan eksistensi Surga khayangan itu. Sang Hyang Gana dengan kapak (kutara) dalam genggamannya, satu persatu mepotong tangan dan kaki serta menumbangkan musuh para Dewa yang banyak jumlahnya itu. Saat menghadapi Nilarudraka, Sang Hyang Gana terkena senjata Raksasa yang justru dahulu kala dihadiahkan oleh ayahnya sendiri, yaitu senjata bernama bajra  yang telah mematahkan gading kirinya. Dengan amerta yang Ia punya, Sang Hyang Gana menghidupkan kawan-kawannya yang telah tewas untuk membantunya kembali berjuang dalam perang. Singkat cerita, surga Khayangan pun memenangkan peperangan. Saat peperang usai, seluruh isi surga larut dalam selebrasinya dan berteria-teriak mengelu-elukan Sang Hyang Gana dengan sebutan Gananjaya. Akhirnya, setelah perjuangan yang panjang, seluruh isi surge Khayangan dapat hidup dengan damai dan tenang termasuk di dalamnya Śiwa, Uma, Sang Hyang Gana, dan saudara kandungnya, Kumara.


Daftar Pustaka
Lestari, Nanny Sri. 2004. Kisah Cinta Smaradahana. Jakarta: Laporan Penelitian


ditulis oleh dewi sinta, dkk.

Keramik Cina di Jambi


Keramik Cina di Jambi


Dewi Sinta*


Abstrak: Keramik adalah salah satu temuan arkeologis yang penting di Indonesia. Salah satu fungsi temuan keramik adalah untuk mengungkapkan salah satu dimensi arkeologi, yaitu waktu. Keramik dapat menjadi acuan kronologis suatu wilayah, ini dikarenakan, sebagai suatu benda, keramik juga memiliki tren yang pada masa lalu berubah dalam perkembangannya. Sebagai sebuah situs yang diperkirakan berkembang pada masa Kerajaan Mālayu atau setara dengan abad ke-7 sampai dengan abad ke-15, tentunya temuan arkeologis yang terdapat di Kawasan situs tersebut berkolerasi dengan masanya. Mālayu merupakan pusat keagamaan Buddha pada masa lalu. Pada masa itu, Mālayu menjadi tempat orang-orang yang ingin belajar agama Buddha sebelum melanjutkan pendidikannya di Nālanda, India Selatan. Keramik yang merupakan benda hasil impor dari luar Indonesia, merupakan bukti adanya interaksi masyarakat Jambi yang dihubungkan dengan kerajaan  Mālayu, dengan orang asing di masa lalu. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan mengenai siapa yang menggunakan keramik di kotak MJB/KDT/S39/2013, dan kronologi keramik. Metode yang akan digunakan adalah metode analisis, perbandingan, dan kepustakaan.

Kata-kata kunci: porcelaineous stoneware, keramik, temuan, kronologi, dinasti Song, Jambi, Mālayu, MJB/KDT/S39/2013



PENGANTAR

Keramik merupakan temuan yang ada di hampir seluruh situs dari berbagai masa kronologi di Indonesia. Keramik yang ditemukan pun berasal dari berbagai tempat dan umur yang beragam. Keramik yang akan dibahas kali ini adalah keramik berbahan porcelaineous stoneware dan ditemukan pada kotak MJB/KDT/S39/2013, hasil penggalian tim Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Bahan dasar keramik bermacam-macam namun dengan bahan dasar kaolin. Dalam membuat keramik, kaolin dicampur dengan beberapa bahan lain di antaranya tanah liat dan pasir. Setelah itu adonan dibentuk sesuai dengan kebutuhan menggunakan berbagai teknik. Teknik yang paling umum adalah roda putar dan dengan menggunakan tangan. Setelah itu, adonan dibakar dengan suhu di atas 1500º C. Proses selanjutnya adalah menghias keramik, biasanya keramik dihias dengan menggunakan pasta untuk glasirnya. Glasir dapat dilukis dengan berbagai warna pasta. Selain itu, hiasan keramik dapat jugadibentuk melalui teknik gores atau tekan.

Keramik pada masa lalu diproduksi di beberapa tempat dan yang paling masyur adalah Cina. Cina memproduksi keramik mulai dari masa dinasti Han hingga dinasti yang terakhir, yaitu dinasti Xing. Keramik merupakan salah satu komoditas utama perdagangan Cina yang diekspor hampir ke Asia, Afrika Utara, bahkan beberapa tempat di Eropa. Cina memiliki salah satu tradisi keramik terbaik di dunia.¹


MJB/KDT/S39/2013

Kawasan Percandian Muaro Jambi terletak di Desa Muara Jambi, Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Luas kawasan ini adalah 3.118,46 hektar dan secara astronomi berada pada 103° 22’ BT - 103° 22’ 45” BT dan 1° 24’ - 1° 33’ LS. Pada kawasan ini terdapat delapan bangunan candi, yaitu: Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Tinggi I, Candi Kembar Batu, Candi Astano, Candi Gedong I, Candi Gedong II, dan Candi Kedaton. Selain itu juga terdapat temuan berupa parit atau sungai Kuno.

Kawasan Percandian yang telah menjadi objek wisata ini dikelilingi oleh berbagai perkebunan diantaranya dukuh, karet, durian, dan jeruk. Di kawasan percandian ini juga terdapat temuan berupa Menapo yang disinyalir memiliki temuan arkeologis di dalamnya. Menapo adalah gundukan tanah seperti unur di Jawa.

Sektor Candi Kedaton terletak di Kawasan Percandian Muaro Jambi dengan luas sektor 55.850 . Bagian barat, utara dan timur berbatasan dnegan hutan, sementara bagian selatan berbatasan dengan sungai Seno.

Ekskavasi dan penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 18-29 Juni 2013 di Sektor Candi Kedaton bertujuan untuk mencari ruang-ruang dalam sektor Candi Kedaton, guna merekonstruksi kehidupan pada masa itu. Dalam ekskavasi ini, telah dibuka 14 kotak gali. Satu dari kotak gali tersebut adalah kotak MJB/KDT/S39/2013 yang merupakan kotak yang digali oleh kelompok V.

MJB/KDT/S39/2013 terletak di barat laut dalam sektor, atau barat laut candi utama, Candi Kedaton. Kotak ini berukuran 4m x 4m yang bentuknya sebelum digali merupakan menapo yang permukaannya telah sedikit tersingkap berupa bata sebagai temuan permukaan. Sebelum digali, bagian selatan kotak lebih tinggi dari bagian utara dengan temuan lepas bata yang lebih banyak. Alasan pemilihan kotak ini adalah untuk menampakkan struktur pembatas ruang, yang diperkirakan berada pada kotak tersebut. Datum point berada di barat daya kotak.

Setelah diekskavasi, temuan yang terdapat di MJB/KDT/S39/2013 struktur bata sebanyak enam lapis, yang secara horizontal hanya tampak tidak lebih dari ¼ bagiannya saja, jika kita mengacu pada temuan lepas bata utuh. Temuan struktur ini melintang barat-timur, juga sebanyak enam buah. Temuan lepas yang ada di kotak ini berupa bata, porcelainous stoneware, stoneware, tembikar, logam, kaca, arang, dan moluska.

Penggalian di MJB/KDT/S39/2013 dilakukan dalam Sembilan lot, dengan konsentrasi temuan berada di lot (4) hingga lot (7) yaitu pada kedalaman 53,5 - 85,5 cm dari datum point. Pada kesempatan kali ini, peneliti hanya akan membahas mengenai keramik yang ditemukan di kotak MJB/KDT/S39/2013.

TEMUAN MJB/KDT/S39/2013

Pada penggalian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, pada kotak gali MJB/KDT/S39/2013 telah memperoleh temuan yang bervariasi. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa temuan lepas yang bervariasi ini diantaranya: bata lepas, porcelainous stoneware, stoneware, tembikar, logam, kaca, arang, dan moluska.

MJB/KDT/S39/2013 yang merupakan kotak dengan kemiringan yang sangat mencolok antara bagian selatan-utara. Hal ini dikarenakan, -setelah dilakukan penggalian- adanya struktur dinding di bagian selatan yang membujur barat-timur. Ini juga mempengaruhi karakteristik temuan di kotak MJB/KDT/S39/2013. Bata lepas yang ditemukan relatif banyak, terutama di awal penggalian. Pada lot-lot terakhir temuan bata lepas semakin berkurang seiring dengan ditemukannya struktur dinding di bagian selatan. Temuan yang paling penting adalah struktur bata merah yang membujur dari arah timur ke barat dan diperkirakan merupakan pagar dalam candi Kedaton.

Bata yang terdapat di candi Kedaton dikenal memiliki karakteristik yang khas. Ukuran bata dinilai sangat besar dan tebal bila dibandingkan dengan ukuran bara masa kini. Bata utuh yang ditemukan memiliki ukuran 26cm x 15cm sampai dengan 2cm x 17cm dengan tebal 8cm - 10cm.

Stoneware pada MJB/KDT/S39/2013 berjumlah delapan buah dan memiliki ketebalan yang bervariasi. Kebanyakan dari stoneware tidak berglasir, namun salah satu stoneware yang juga menjadi temuan penting MJB/KDT/S39/2013 berglasir kecokelatan dan berbentuk kupingan. Glasir pada beberapa stoneware yang terlihat kecoklatan, dan memiliki hiasan melingkar dengan teknik tekan, dapat diasumsikan stoneware ini dibuat menggunakan roda putar. Bahan dan warna stoneware sesungguhnya membutuhkan analisis lebih lanjut.

Tembikar yang terdapat pada MJB/KDT/S39/2013 berjumlah 40 buah. Tembikar-tembikar ini ditemukan di lot yang berbeda-beda dengan konsentrasi di lot 5 dan lot 6. Warna dan bahan tembikar perlu dianalisa lebih lanjut.

Satu-satunya artefak logam yang ditemukan di MJB/KDT/S39/2013 terdapat di lot 6, yang kira-kira berkedalaman 55,5 cm. Benda logam ini berbentuk seperti segitiga sama kaki yang bagian atasnya telah terpotong. Benda ini berwarna kekuningan dan sudah telihat sangat aus sehingga sulit diidentifikasi lebih lanjut, namun diperkirakan benda ini merupakan bagian kaki arca yang mirip dengan temuan arca logam yang berada di Museum Muaro Jambi.

Kaca yang ditemukan di MJB/KDT/S39/2013 hanya berjumlah satu buah dan berukuran relatif kecil. Arang ditemukan sebanyak 3 buah, dan berada pada lot 2 yang kira-kira berada di kedalaman 24 cm.


TEMUAN KERAMIK

Keramik adalah salah satu temuan arkeologis yang penting di Indonesia. Salah satu fungsi temuan keramik adalah untuk mengungkapkan salah satu dimensi arkeologi, yaitu waktu. Keramik dapat menjadi acuan kronologis suatu wilayah, ini dikarenakan, sebagai suatu benda keramik juga memiliki tren yang pada masa lalu berubah dalam perkembangannya.

Keramik yang ditemukan berjumlah 29 buah dan berukuran relatif kecil yaitu 1cm – 10cm. Keramik ini ditemukan hanya pada lot (5) dan lot (6) dengan kedalaman 65,5cm - 79,5cm. Seperti temuan lainnya, keramik yang ditemukan tidak dijumpai pada lot-lot awal dan lot-lot akhir. Dapat disimpulkan bahwa keramik dan beberapa temuan lepas memang tidak berada di atas tanah atau di sisi tembok pagar tetapi diletakkan di atas pagar yang ketika temboknya runtuh berada di tengah, di antara bagian atas yang tertimbun runtuhan bata dan bagian bawah yang sudah merupakan akhir bata.
Hampir keseluruhan pecahan keramik tidak diketahui bentuk asalnya, kecuali keramik pada salah satu keramik yang merupakan dasar sebuah mangkuk. Selain itu, pecahan keramik juga tidak dapat direkonstruksi, meskipun demikian terdapat beberapa pecahan yang terlihat memiliki karakteristik yang berasal dari satu benda yang sama. Keramik 5 lot (5) dengan keramik 2 lot (6) memiliki ciri yang sama, yaitu dua buah ornamen membulat yang menonjol keluar pada bibir keramik, demikian juga dengan keramik 6 , 20, 22, dan 23 yang berasal dari lot (6) memiliki karakteristik yang serupa satu sama lain. Pecahan-pecahan itu memiliki glasir dengan warna yang sama, dan sudah mengelupas. Meskipun demikian, tidak ada satu pun keramik yang dapat direkonstruksi.

Seluruh pecahan keramik berbahan dasar porcelainous stoneware, dengan ketebalan yang relatif sama kecuali pada keramik 1 lot (6) yang merupakan dasar dari sebuah mangkuk.



KERAMIK BERASAL DARI MASA DINASTI SONG

Sebagai sebuah situs yang diperkirakan berkembang pada masa Kerajaan Mālayu atau setara dengan abad ke-7 sampai dengan abad ke-15, tentunya temuan arkeologis yang terdapat di Kawasan situs tersebut berkolerasi dengan masanya.²

Secara keseluruhan, ciri kemarik di  MJB/KDT/S39/2013 adalah berwarna dasar putih keabuan dan berglasir secara keseluruhan. Warna glasir keramik secara kasat mata seperti kehijauan, kecoklatan, kebiruan, juga keabuan. Glasir pada keramik juga terlihat seperti retakan kulit telur. Ciri-ciri keramik tersebut dapat ditemukan pada keramik Cina pada dinasti Song.

Seluruh keramik yang ditemukan bersifat fragmentaris dengan ukuran keramik yang relatif kecil, serta hiasan yang tidak terlalu nampak jelas, sehingga belum dapat dipastikan secara terrinci masa produksinya. Namun dari ciri-ciri umum, pecahan keramik ini menunjukkan ciri keramik dinasti Song. Selain itu, pada keramik 5 lot (5) dan keramik 7 lot (6), jelas dapat terlihat karakterisitik keramik yang dibuat dengan menggunakan roda putar, karena jejak pembuatan yang menunjukkan teknik gores atau malah teknik tekan yang diasumsikan mengelilingi tepian keramik. Pada keramik 1 lot (6) juga terlihat bentuk dasar mangkuk yang menyisakan jejak roda putar. Meskipun belum dapat dipastikan, tetapi dapat dipertimbangkan bahwa keramik ini merupakan produksi keramik provinsi Guangdong pada masa Song.

Hiasan glasir keramik yang Nampak hampir di seluruh pecahan keramik adalah bentuk retakan, yang merupakan tipikal dari lung ch’uan.

Dengan warna putih keabuan keramik Jambi diperkirakan berasal dari jenis qingbai. Produksi barang qingbai berkualitas baik biasanya bertanah liat porselin putih, seperti barang-barang qingbai halus yang diproduksi di Jiangxi. Tipe keramik yang lebih biasa dibuat dari tanah liat putih dengan sedikit warna keabuan, berpasir, bergelembung, dan teksturnya agak kasar. Tipe lainnya memiliki warna yang agak kusam (buff). Semua barang Guangdong dibuat dengan roda putar.

Dengan hubungan yang erat antara Cina dengan Mālayu memungkinkan adanya kontak antar wilayah. Apalagi, ahli keramologi menyebutkan bahwa Keramik pada masa Dinasti Song adalah salah satu yang terindah diantara keramik-keramik produksi dinasti lain.

Temuan keramik di kotak S39 secara keseluruhan dalam keadaan fragmentaris, hal ini sangat mungkin terjadi di seluruh Kawasan Percandian Muara Jambi.

Setelah dianalisis, seluruh keramik yang ditemukan di kotak MJB/KDT/S39/2013 memang belum diketahui bentuk asalnya, namun terdapat satu pecahan keramik yang merupakan sebuah wadah mangkuk.

Namun demikian, porcelainous stoneware yang terdapat di Jambi, memang berbentuk asal mangkuk, cepuk, piring, vas atau buli-buli.

HUBUNGAN MUARO JAMBI DENGAN CINA DI MASA LALU

Dalam kitab dinasti Liang atau Song lama, dapat diperoleh keterangan bahwa pada 430-475 M telah datang utusan dari Kan-t’o-li dan San-fo-tsi. Secara umum para ahli berpendapat bahwa Kan-t’o-li terdapat di pantai timur sumatera selatan, yang kekuasaannya meliputi Palembang dan Jambi.

Selanjutnya pada tahun 644 dan 645 M, di kitab dinasti T’ang telah tercatat bahwa telah datang utusan dari Mo-lo-yeu pada tahun itu. Mo-lo-yeu di sini dapat dihubungkan dengan Kerajaan Mālayu.

Sebagian ahli menyatakan bahwa Kawasan Percandian Muaro Jambi berhubungan dengan Kerajaan Mālayu Kuno, namun ada ahli pula yang menyatakan bahwa Muaro Jambi dapat dihubungkan dengan Śr wijaya.

Mālayu merupakan pusat keagamaan Buddha pada masa lalu, pada masa itu Mālayu menjadi tempat orang-orang yang ingin belajar agama Buddha, sebelum mereka melanjutkan pendidikannya di Nālanda. Sekitar tahun 672 Masehi, I-tsing, seorang pendeta Buddha dari Cina, dalam perjalanannya dari Kanton menuju India, singgah di She-li-fo-she selama enam bulan untuk belajar sabdavidya atau tata bahasa Sansekerta. Menurut I-tsing ada sekitar 1.000 orang pendeta She-li-fo-she yang menguasai pengatahuan agama sama halnya di Madhyadesa (India). Dari She-li-fo-she I-tsing berlayar ke Mo-lo-yeu dengan menggunakan kapal raja. Ia tinggal di Mo-lo-yeu selama dua bulan. Selanjutnya ia berlayar ke Kedah (Chie-cha) selama lima belas hari. Pada bulan ke-12 ia meninggalkan Kedah menuju Nālanda, ia berlayar selama dua bulan. Kemudian pada musim dingin ia berlayar ke Mo-lo-yeu yang sekarang telah menjadi Fo-she-to, dan tinggal di sini sampai pertengahan musim panas, lalu ia berlayar selama satu bulan menuju Kanton. Dari keterangan dapat disimpulkan bahwa sekitar tahun 685 Kerajaan Śr wijaya telah mengembangkan kekuasaannya, dan salah satu Negara yang ditaklukannya adalah Mālayu.

Mālayu sebagai sebuah kerajaan yang ingin diakui secara de facto dan de jure, dalam mencapai tujuannya tersebut telah ditempuh langkah-langkah yang kiranya dapat menjalin kerjasama dengan asing agar mendapat pengakuan. Beberapa diantaranya adalah dengan mengirimkan utusan ke berbagai kerajaan di luar Nusantara, salah satunya dengan dinasti yang sedang berkuasa pada masa itu di Cina.

Kemudian, pada beberapa waktu setelahnya telah dicatat keadaan Mālayu oleh seorang Cina yang sedang belajar Buddha dan singgah di Mālayu I tsing ketika itu singgah untuk memperdalam ilmu agamanya sebelum belajar di Nalanda, India Selatan. Ia mencatat bahwa pada masa itu (671 M) ia menyebutkan telah ada pelabuhan Mālayu yang menurut perhitungan Eadhiey Laksito Hapsoro terletak di Kuala Tungkai, berdasarkan perhitungan jam Matahari. Lima belas tahun kemudian, I-tsing kembali singgah dan mencatatkan bahwa Mālayu telah menjadi bagian dari Śr wijaya.

Pada tahun 853 M nama Chan-Pi / Pi-Chan muncul dalam kronik Cina. Kemudian pada 890-940 M Lin Piao Lui mencatat bahwa Chan-Pi telah mengirim utusan ke Cina, setelah itu pada beberapa tahun kemudian yaitu 960, 962, 971, 972, 974, 975, 980, 983 M Chan-Pi kembali mengirim utusan ke Cina. Pada tahun 1003 M Sri Maharaja Cundamani Warma Dewa (Chu-la-wu-ni-fa-ma thau-hun-nyi) mengirim upeti ke Cina. Tahun 1008, 1016, dan 1017 M Sri Maharaja Wijaya Tungga Warman mengirim utusan ke Cina. Berita tentang utusan Chan-Pi ke Cina kembali ditemukan di tahun 1079M, 1082M, dan 1088M. Selanjutnya pada 1225 M, berita Cina menyebut Palinfong sebagai negeri bawahannya. Pada waktu yang akan datang yaitu 1371M, 1374M, 1375M, 1376M, dan 1377 M Chan-Pi kembali mengirimkan utusan ke Cina

KESIMPULAN

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa keramik di Jambi berbentuk asal piring, mangkuk, cepuk, vas atau buli-buli, ini menandakan pada masa itu masyarakat Candi Kedaton yang sezaman dengan dinasti Song, yang memproduksi keramik, sudah memanfaatkan wadah-wadah tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.

Hubungan Jambi dengan Cina pada masa itu telah terjalin dengan baik, pada masa dinasti Song (10M - 13M) Cina telah menjalin hubungan dagang dengan Jambi, yang mungkin sekali pada masa itu Jambi telah mengekspor berbagai produknya ke Cina dan ditukar dengan keramik.

Kualitas keramik nomor dua yang cirinya terdapat pada pecahan keramik di MJB/KDT/S39/2013 juga menunjukkan bahwa penggunanya pada masa itu adalah orang-orang yang bukan dari kasta sosial terlalu tinggi. Kemungkinan besar penggunanya adalah agamawan yang pada masa itu beraktivitas di sekitar Candi Kedaton.


Oleh: Dewi Sinta A’isyah Debeturu
1106023000
Catatan Akhir
   Mahasiswi Program S1 Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

¹    Edward Haley, the pottery, Oxford: Oxford Press, 2006, hlm. 92
²   Bambang Budi Utomo, Buddhism in Nusantara, Jambi: Buddhist Education Center, 2011, hlm. 38
“Mālayu is one of old time Nusantara Kingdom that existed for quite long period compared to other from same period, which was 7th-15th century CE. It was first mentioned in the history of T’ang Dynasty (7th-10th century CE) that there was a delegate from Mo-lo-yeu come to China in years 644-645 CE.” (Utomo, 2011: 38)
“barang qingbai berkualitas baik biasanya bertanah liat porselin putih, seperti barang-barang qingbai halus yang diproduksi di Jiangxi. Tipe keramik yang lebih biasa dibuat dari tanah liat putih dengan sedikit warna keabuan, berpasir, bergelembung, dan teksturnya agak kasar. Tipe lainnya memiliki warna yang agak kusam (buff). Semua barang Guangdong dibuat dengan roda putar. Pada bagian luar mangkuk atau piring tampak alur bekas putaran roda putar. Jejak putaran roda putar ini mudah dilihat…” (Widiati, 2003: 154)
“Dalam masa ini seorang konseptor intelektual sangat berperan dalam industri keramik untuk menentukan keterpaduan yang sempurna dan harmonis antara warna glasir dengan bentuk yang mereka ciptakan. Sejarah Cina menyebutkan bahwa upaya menciptakan citarasa yang sedemikian dalam keramik tidak dijumpai dalam dinasti sesudahnya. Kemurnian dan kehalusan barang—barang Song telah dihargai tinggi dalam kepustakaan Cina, karena itu sering diungkapkan sebagai “jade”, “perak”, “salju”, atau “es”.” (Widiati, 2003: 151)
“Keramik-keramik dari situs-situs di jambi pada umumnya ditemukan dalam keadaan fragmentaris, diantaranya berukuran relatif kecil. Biasanya bentuk pecahan itu hanya terdiri dari satu bagian pecahan, seperti bagian tepian, badan, leher, karinasi, cucuk, dasar atau pegangan. Kadang kala benda itu ditemukan dalam bentuk gabungan beberapa bagian pecahan seperti tepian dan badan, atau badan dan lingkaran kaki dsb. Namun sangat jarang keramik ditemukan dalam keadaan utuh di situs-situs daratan seperti Jambi.” (Widiati, 2003: 97)
“…… tidak ada satu pun yang menunjukkan sebagai keramik yang bukan berupa wadah. Hal itu mungkin erat kaitannya dengan masalah kegunaan. Wadah-wadah keramik tersebut mungkin lebih banyak dikenal dan digunakan oleh masyarakat luas untuk berbagai keperluan hidup mereka, daripada keramik yang bukan wadah.” (Widiati, 2003: 126)
   R. P. Soejono, Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: Balai Pustaka, 2008 hlm. 102-103 
“sekitar tahun 672 Masehi I-tsing, seorang pendeta Buddha dari Cina, dalam perjalanannya dari Kanton menuju India, singgah di She-li-fo-she selama enam bulan untuk belajar sabdavidya atau tata bahasa Sansekerta. Menurut I-tsing ada sekitar 1.000 orang pendeta She-li-fo-she yang menguasai pengatahuan agama sama halnya di Madhyadesa (India). Dari She-li-fo-she I-tsing berlayar ke Mo-lo-yue dengan menggunakan kapal raja. Ia tinggal di Mo-lo-yeu selama dua bulan. Selanjutnya ia berlayar ke Kedah (Chie-cha) selama lima belas hari. Pada bulan ke-12 ia meninggalkan Kedah menuju Nālanda, ia berlayar selama dua bulan. Kemudian pada musim dingin ia berlayar ke Mo-lo-yeu yang sekarang telah menjadi Fo-she-to, dan tinggal di sini sampai pertengahan musim panas, lalu ia berlayar selama satu bulan menuju Kanton. Dari keterangan dapat disimpulkan bahwa sekitar tahun 685 Kerajaan Śr wijaya telah mengembangkan kekuasaannya, dan salah satu Negara yang ditaklukannya adalah Melayu.” (Soejono, 2008: 102-103)
  Junaidi T. Noor, Mencari jejak Sangkala Mengirik Pernik-pernik Sejarah Jambi, Jambi: Pusat Kajian Sejarah dan Kebudayaan Jambi, 2011, hlm. 28-33
   Junaidi T. Noor, Mencari jejak Sangkala Mengirik Pernik-pernik Sejarah Jambi, Jambi: Pusat Kajian Sejarah dan Kebudayaan Jambi, 2011, hlm. 214-220

DAFTAR PUSTAKA
Haley, Edward. 2006. the pottery. Oxford: Oxford Press
Noor, Junaidi T. 2011. Mencari jejak Sangkala Mengirik Pernik-pernik Sejarah Jambi. Jambi: Pusat Kajian Sejarah dan Kebudayaan Jambi
Soejono, R. P. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka
Utomo, Bambang Budi. 2011. Buddhism in Nusantara. Jambi: Buddhist Education Center