Jumat, 21 Februari 2014

MENTARI dalam KABUT


MENTARI dalam KABUT



Selasa, 01 Januari 2013

Seorang perempuan cantik termenung di tepi jalan. Menatap pada kerumunan orang-orang yang berjejal di depan sebuah gedung tinggi di salah satu universitas negeri ternama di pinggiran Ibukota.
“mentari…”
Ia menutup mulutnya kemudian dengan saputangan merah muda pemberian sahabatnya, Mentari. Sesaat lalu ia berlari dan berteriak pada sekelompok orang berseragam oranye yang sedang menurunkan sesosok mayat perempuan yang tersangkut di canopy gedung E Fakultas Ilmu Komputer.
“pak, itu teman saya! Mentari! Selamatkan dia pak, saya tau dia masih bisa selamat!”
Seorang petugas keamanan gedung menghampirinya,
“sabar mbak, ini sedang diproses oleh kepolisian, sebentar lagi jasadnya akan dibawa ke RSCM untuk diotopsi…”
Belum sempat petugas kemanan gedung melanjutkan omongannya, perempuan muda itu berlari menerobos kerumunan dan menemukan jasad temannya telah diturunkan oleh petugas pemadam kebakaran dan sedang dimasukkan ke dalam kantong jenazah oleh beberapa polisi sembari mengambil sidik jarinya.
“Ya Tuhan Mentari… bodoh! Kamu ini bodoh! Biar Elang menari di udara, tidak kamu juga! Kamu bilang… kamu bilang kamu tak diajak dalam pesta! Kenapa ikut? Mentari, tolol! Pak, dia teman saya pak! Teman satu kostan saya!”
Seorang polisi tambun melihatnya dengan keheranan, yang lain memperhatikan perempuan muda ini dengan mata yang memicing aneh, kemudian polisi tambun menegurnya
“ohiya mbak? Benar begitu?”
 “betul Pak, coba cek identitasnya, biasanya dia menaruh dompet dalam ransel… lah dimana ranselnya pak?”
Perempuan muda itu kemudian celingukan dan seketika berlari ke dalam gedung, mencari ransel Mentari dalam kelasnya. Sesaat kemudian ia bergumam, “sial! Tidak ada!”. Ia kembali berlari keluar gedung dan berhenti tepat di tempat sebelumnya, tempat si polisi dan jenazah temannya seakan-akan memelototi dirinya sejak lama.
“tak ada ranselnya di dalam…”
“ya sudah, anda bisa ikut kami mengantar jenazah teman anda ini ke RSCM sembari kami mintai keterangan!” kata polisi berbadan tambun tadi.
“baik pak…”

Semuanya gelap, hari ini Mentari dalam kabut. Perempuan muda itu, Kinasih namanya. Dikirim Tuhan untuk menemaniku dalam kesepian yang tiada ujungnya. Kin, aku masih mengejar Elang, aku tetap ingin kami bersama. Nanti, kalau sudah waktunya, kita bisa berkumpul lagi. Jangan menangis, karena hanya kau satu-satunya yang aku tinggalkan di dunia.
**

“Tidak! Dia tidak mungkin dibunuh!”
Kinasih meraung pada polisi yang sedari tadi menjejalinya pertanyaan seputar sahabatnya dan kematian tragisnya. Belum juga kering airmatanya kehilangan teman sekamar selama empat tahun, polisi tambun dengan perut bulat terus saja merongrong minta dijawab.
“bagaimana tidak mungkin?”
“baik, saya beri tahu, tapi jangan disini! Kita keluar dari kamar mayat dan bicara di lobby rumah sakit… atau mungkin suatu tempat yang… eh tidak membuat saya semakin sedih dan sakit hati ditanyai ini itu di depan jenazah orang yang saya kasihi! Jangan bodoh Pak Polisi yang Terhormat!”
“baik, maaf. Tenangkan diri anda!”
Kinasih memicingkan matanya dan membetulkan kerah baju kemeja putihnya yang compang-camping dengan satu kancing hilang akibat berlari tak karuan. Keringat yang membasahi seluruh tubuhnya membuat dalamannya semakin tampak jelas. Tapi si cantik Kinasih tak mau peduli. Rambut panjang coklat keemasannya digerai, kuncirannya hilang entah dimana. Ia juga belum mau peduli.
“sudah, ayo kita pergi dari sini!”
Kinasih berbalik memerintah Polisi, dengan nada yang sangat tinggi namun suara yang pelan. Persis seperti yang Mentari ajarkan selama ini.
“disini?”
Tanya Polisi jelek.
“iya, baik begini. Mentari sengaja bunuh diri. Titik!”
“hanya itu? Sekelompok orang yang melihat kejatuhan teman anda berkata bahwa beberapa hari terakhir sebelum kematiannya, Mentari terlihat sering bertengkar dengan seorang lelaki, kalau tidak salah… siapa itu ya namanya, eh yang tadi anda sebut-sebut itu lho…?”
Ah Polisi bodoh, terlalu banyak makan uang tilang! begitu saja lupa.
“Elang?”
“iya Elang, dan setelah kematian teman anda, dia bahkan tidak terlihat…”
“coba anda tanya pada orang yang melihat kronologi kematian Mentari! Apa mereka melihat Elang diatas gedung sana?”
“nah! Itu dia! Sebetulnya kami tidak punya saksi bahwa dia yang telah membunuh temanmu. Orang yang sebelumnya saya sebutkan sebagai saksi, hanya melihat saat Mentari sudah terkapar.”
“Elang sudah mati sejak kemarin! Dan hanya saya dan Mentari yang tahu keberadaannya. Mentari dan Elang minta dikremasi bersama…”
“maksudnya?”
“ijinkan saya pulang dan mengambil beberapa barang, anda akan tercengang!”
“baiklah, dengan pengawalan kami!”
“lebih baik, saya tak perlu mengeluarkan ongkos”.
**

Seorang perempuan cantik berusia sekitar 21 tahun berjalan beriringan dengan lelaki tambun paruh baya, legam, dan berseragam aparat keamanan merupakan pemandangan yang tidak biasa di Bumi Indonesia ini. Mereka berjalan menyusuri gang-gang sempit yang dipenuhi oleh pedagang yang menjajakan barang keperluan Mahasiswa kost-an. Akhirnya mereka sampai di kost-an kenangan yang baru saja menelan dua korban: Elang dan Mentari. Bayangan hitam terlihat jauh lebih panjang dari aslinya. Pukul 17.40.
 “ini kostanmu?”
Lelaki tambun membuka percakapan
“yup, dan kau tunggu disini. Aku ambilkan semua yang kau perlukan…”
“jangan!”
Polisi tambun menarik tangan Kinasih dengan kasar.
“biar kami yang mencari barang bukti! Lagipula ini kamar kost korban! Separuh inventaris disini adalah milik Mentari, tanggung jawab kami!”
“baiklah, aku hanya akan membantu!”
Kinasih kelelahan, seluruh badannya berkeringat. Wajah cantik yang dibalut rambut coklat keemasannya beringsut. Kusam. Pucat. Sepuluh menit, limabelas menit, setengah jam…. Ah lama sekali kamar Kinasih diacak-acak polisi setan!
“sudah belum?”
Kinasih setengah memaksa masuk ke dalam kamarnya dan menemukan dua orang polisi duduk di kasurnya sembari membaca selembar kertas putih dengan tinta hitam dihiasi bercak merah, dengan wajah tanpa ekspresi.
“kamu benar, Kinasih!”
“bagaimana kalian tahu namaku?”
“ini, punyamu! Surat dari Mentari!”
 **

Senin, 31 Desember 2012
Pukul 08.00

Bening pagi ini menari-nari dalam kabut. Embun berserakan di tepian kehidupan cinta kita yang kian hari kian malang. Merintih pada bayangan kebahagiaan. Tapi tiap pagi begini… tiap senja begini.

“Lang… kamu percaya takdir?”
Sesosok bayangan wanita dengan kemeja hitam dan celana jeans panjang memecahkan lamunan seorang lelaki tampan di teras rumahnya.
“hah! Kamu ini ngagetin aku aja! Iya aku percaya, tapi aku lebih percaya kalau takdir itu ya bisa kita ubah-ubah sendiri. Soal aku menikah atau tidak menikah, mati kapan, itu kan cuma soal sebab dan akibat. Kalau aku butuh ya aku nikah, kalau enggak yo wis ndak usah. Kalau aku sembrono ya aku mati, kalau aku punya penyakit dan tak diobati juga aku mati…”
“payah! Bosan aku dengan jawabanmu! Halah kok itu mulu…”
“memang kamu minta dijawab apa?”
“apaan kek yang beda!”
“eh, cuma aku percaya satu takdir…”
“kalau samsara segera berakhir di reinkarnasimu selanjutnya, tapi sejak tubuh-tubuhmu yang terdahulu pasanganmu tidak berubah… pasanganmu ya aku!”
“nah, kau sudah mulai hafal sepertinya! Atau mungkin kau sudah hafal dari dulu, semenjak kehidupan kita sebelumnya?”
“halah gimana aku nggak hafal tiap hari kamu ngomong begitu! Kamu itu ya benar-benar pengecut sejati! Tiap kesempatan merayu tapi tak pernah sekali pun memberi status!”
Pagi bening berubah jadi senyap. Kabut beterbangan diantara pohon yang memelototi kelakuan dua insan yang saling mencinta tanpa ikatan. Remang-remang mata mereka yang menatap pada hampa dunia lalu pergi jiwanya ke tempat yang memang seharusnya mereka berada. Kata-kata Mentari benar-benar menghujam jiwa Elang.
“kenapa diam?”, kata Mentari dengan penekanan hebat namun dengan suara yang sangat tipis dan pelan.
“aku minta maaf…”
“hanya itu? Untuk apa minta maaf? Kamu merasa punya dosa padaku? Cih!”
“ya, banyak hal yang tidak kau tahu tentangku dan memang tak pernah kuceritakan pada orang lain!”
“memang! Halah bohong, mungkin kau sering menceritakan kisah hidupmu pada wanita-wanitamu itu… kau kan penyair! Benar, kan?”, Mentari bangun dari tempat duduknya dan sedikit menundukkan kepala menghadap ke wajah Elang. Dia memicingkan matanya dan bicara dengan bibir yang miring, sangat menantang. Arogansi dan kemarahan menguasai keadaan. Pipinya hampir merah padam menahan gejolak yang sebentar lagi akan meledak.
“tidak…”
“tak usah dijawab!”
“dengar…” Elang maju sedikit ke arah wajah Mentari, mencengkeram pergelangan tangan kirinya dan menatapnya dengan sangat tajam tepat di bola mata almondnya yang indah.
“lepaskan!”
“tidak! Aku tahu enam tahun lamanya kau mencintaiku, dan aku juga. Dan yang kau sebut wanita-wanitaku itu, sebetulnya hanya ada satu. Namanya Mentari, bersinar setiap hari. Tapi itu semua kusembunyikan dalam hati dan kau tidak tahu, bukan? Baiklah aku minta maaf selama ini tak pernah memberimu kepastian. Tapi demi Tuhan yang mengatur alam raya, aku betul-betul menginginkan kita bersama. Di kehidupan yang lain!”
Mentari merosot dari posisinya, kemudian ia terduduk tepat di depan Elang yang menatapnya kuat, dengan tangan yang masih dicengkeram, ia mencengkeram balik.
“lalu apa? Aku tidak mengerti jalan pikiranmu! Bagaimana mungkin kau menginginkanku di kehidupan yang lain selama kita bisa bersama di kehidupan sekarang!”
“kau akan tahu tidak lama lagi!” Elang bangkit dari kursinya, masuk ke dalam rumah.
“mau kemana kau?”
“kamar mandi!”
“kebiasaan, beser tiap keadaan!”
“tidak usah meledek, nanti juga kau tahu aku sedang apa di dalam! Ihihihik!” Elang tertawa cekikikan dari dalam kamar mandi. Sementara Mentari masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu mewah dengan kursi-kursi besar bergaya klasik Eropa abad sembilan belas. Ada jasad harimau menganga di rumah itu, dengan nuansa bentuk lekukan bunga paduan coklat muda dan coklat tua di wallpaper dindingnya dan pintu rumahnya yang berukuran tiga kali lipat dari mayoritas tubuh manusia dewasa Indonesia, rumah keluarga Elang lebih terlihat seperti istana di negeri dongeng dibandingkan rumah orang Indonesia kebanyakan. Orangtuanya mewarisi segala macam harta benda kepadanya sejak ia menginjak sekolah menengah pertama. Mereka meninggal pada suatu kecelakaan pesawat saat melakukan kunjungan di salah satu perusahaan keluarga mereka di Kalimantan. Pesawat yang mereka sewa terjatuh dari ketinggian tiga ribu kaki dari atas permukaan laut dan hancur membentur hutan belantara. Mereka baru bisa ditemukan dan dievakuasi seminggu kemudian. Elang masih menjadi anak yang beruntung, meski kehilangan kedua orangtuanya ia masih dapat hidup dengan layak karena saham bapaknya di perusahaan keluarga masih sanggup membiayai kehidupannya sembilan tahun belakangan. Bahkan lebih dari cukup. Ia tinggal sendirian di rumahnya yang sebesar istana, hanya pada hari-hari tertentu si Mpok datang untuk membersihkan rumah atau sekedar mencuci pakaiannya. Tak ada sedikit pun aturan dalam hidup Elang, ia hidup dengan caranya sendiri.
“Lang, aku laper, aku masak di dapur ya! Mie instan yang kemarin masih ada kan?” Mentari berteriak merasakan perutnya yang melintir karena belum sarapan. Ya, begitulah mereka, cepat sekali mengembalikkan keadaan hingga normal, apa pun keadaan sebelumnya, dengan seketika mereka dapat kendalikan. Satu hal: mereka tidak pernah bertengkar dengan saling meninggalkan! Kenapa? Karena mereka terlalu takut kehilangan satu sama lain, meski pun tak ada ikatan diantara keduanya.
“iya, masak sendiri ya, buatkan untukku satu!”
“iyooo! Jangan lama-lama di kamar mandi nanti kesambet setan!”
“setan kesambet aku!”
“dasar iblis! Hahaha” Mentari tertawa puas dari dapur sembari mencari-cari alat masaknya: panci kecil gosong, mie instan  dan dua buah piring. Dan ternyata piring dan penggorengan masih teronggok kotor diatas tempat pencucian. Dengan malas-malasan Mentari membersihkannya.
“apa katamu? Kamu bini nya iblis!”
“haha bawel!” mentari tidak tertawa, hanya mengernyitkan dahinya dan memicingkankan bibirnya sebelah. Menyebalkan.
Elang telah kembali dari kamar mandi dan menuju dapur. Rambut panjang sebahunya basah. Baju yang tadinya kaus bertuliskan rolling stone selesai diganti dengan kemeja kotak-kotak warna hijau tua. Tapi ia masih menggunakan celana boxer hitam diatas lutut.
“haloo nyonya, sudah selesai makanan untukku?” Elang menggoda Mentari yang telah duduk di meja makan sedari tadi. Ia telah menyiapkan sarapan untuk keduanya dan merapikan meja makan dengan membuang setumpuk kardus bekas makanan delivery.
“sudah tuan, lama sekali kau di kamar mandi. Sudah mandi dan tampan rupanya begitu keluar...”
“emmm... wanginya enak! Yah, cuma mie goreng ya nyonya?”
“iya! Memang kau mau aku buatkan apa? Nasi uduk? Pizza? Pasta? Lasagna? Enak saja!”
“haha bercanda Mentari sayang, ayo makan!” Elang menggeser kursi yang berada tepat di depan Mentari secara garis lurus. Meja makan itu bentuknya persegi panjang berukuran 1x3 meter dengan delapan kursi di sisi panjangnya dan dua kursi di sisi pendeknya, satu diduduki Mentari dan satu diduduki Elang. Mereka sekarang saling menatap dari kejauhan.
“ambilkan aku makanannya nyonya!”
“manja!” dengan malas Mentari bangkit dari kursi dan menyendoki Elang mie goreng buatannya menggunakan garpu.
“Segini cukup?”
“ya, terimakasih... nyonya siapa yang melayani?”
“kau lah!” jawab Mentari dengan galak.
“baik!” Elang bangkit dari tempat duduknya dan mengambilkan makanan untuk Mentari. Ia kemudian berjalan menuju tempat Mentari duduk, sambil menaruh makanan ia menyentuh kening Mentari dan mengusap-usapnya. Mentari yang diam dibelai rasa nyaman hanya mendongakkan kepala dan menatap pada bening dan luasnya mata Elang selama beberapa waktu. Lama sekali dua manusia itu saling menenggelamkan mata mereka pada penglihatan yang luas dan teduh dalam masing-masing tatapan orang yang mereka cintai.
“ehm, makan yuk tuan!” Kata Mentari memecah kesunyian. Dengan masih menatap mata dan menaruh tangannya di kening Mentari, Elang menjawab.
“sialnya aku sudah kenyang menelan manisnya cintamu barusan...” Elang menjawab dengan masih memegangi dahi Mentari kemudian bangkit.
“baiklah, aku makan sendiri ya penyair sinting!” Mentari berbalik ke arah makanannya dan segera menyantapnya.
“sial!” Elang mendorong kepala Mentari dengan manja.
“aw! Sakit tau!” Mentari membalasnya dengan memajukan bibir bagian bawahnya seraya meledek lelaki tampan di depannya dan kembali menikmati makanannya. Tiba-tiba tangan lelaki dibelakangnya menjalar ke leher Mentari dan memeluk perempuan itu dari belakang, dengan lembut dan cepat mencium keningnya. Ia membisikkan sesuatu ke telinga Mentari.
“aku mencintaimu, jadilah milikku di kehidupan selanjutnya”
Mentari diam, diam dengan sangat lama. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan memeluk lelaki di belakangnya dengan sangat lama. Mentari memegangi bagian belakang kepala lelaki itu. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang basah di pundaknya. Dada Elang bergerak naik turun tak beraturan. Kemudian Elang menatap mentari. Pipinya basah. Ia menangis dengan hebat. Bibirnya membiru, seluruh tubuhnya gemetaran dengan hebat.
“mentari, dengarkan aku. Kau percaya pada reinkarnasi kan? Kau percaya itu kan? Dan kita sudah sering membicarakan bahwa manusia seharusnya telah memiliki pemikiran panjang pada segala tindakan yang diambilnya. Termasuk kematian. Kita bisa mati kapan saja tergantung tujuannya bukan? Dan ikutlah bersamaku Mentari, kau akan mati bukan karena putus asa, tapi untuk memperjuangkan cinta kita. Ikutlah bersamaku, karena aku tahu kita akan bertemu di kehidupan yang lain... atau kalau kita salah pun Tuhan akan mempertemukan kita entah dimana. Tuhan memberkati cinta kita Mentari!”
“bajingan! Kenapa kamu bicara begitu? Biar aku panggilkan ambulan...”
Air bening menetes sedikit demi sedikit di pipi perempuan cantik itu. Dunia berputar-putar mengelilingi kepalanya, dan ia mencoba bangkit dari kursi, namun Elang menahannya.
“sudahlah cantik, aku memang sudah waktunya menemui Tuhan. Aku minta maaf sekali lagi tak pernah memberitahumu. Kau tahu mengapa aku lebih sering ke toilet dibanding manusia lain?” sekarang suaranya semakin parau dan tersengal.
“tidak...” semakin banyak air bening menggenangi mata almond Mentari.
“karena aku harus menyuntikkan cairan obat dari dokter tiap aku mengalami kesakita hebat! Aku mengalami kelainan jantung sejak lahir: cardiomyopathy. Sejak umur setahun aku punya dua jantung, tapi setelah umurku sepuluh tahun, jantung tambahan yang biasa menunjang tugas jantungku telah diangkat karena jantungku telah berfungsi dengan normal. Tapi sebagai konsekuensinya aku masih harus minum lima belas macam obat sejak itu hingga SMA. Setelah itu, dokter memasukkan segala macam obat kedalam satu botol cairan yang harus aku suntikkan sehari delapan kali! Tapi lama-lama aku bosan. Aku tahu obat-obatan itu hanya mencegah kematianku datang lebih awal, dan aku memutuskan untuk berhenti. Aku hanya menyuntikkannya tiap rasa sakit datang menjelajahi jantung dan seluruh tubuhku. Kini aku meringankan tugas obat itu hanya menjadi pengurang rasa sakit, bukan untuk memperpanjang umurku. Dan sekarang... aku rindu ayah ibuku, aku ingin bertemu mereka... bersamamu”.
Elang mengatakan semuanya hingga kepayahan. Dadanya naik turun tak karuan. Suaranya berubah menjadi parau. Sedikit demi sedikit dari ujung kepala hingga kakinya menggigil kedinginan. Sementara Mentari hanya mengalirkan air bening dari matanya keseluruh tubuh hingga kuyup semuanya. Sesekali ia menggelengkan kepala dan memeluk lelakinya dengan perlahan. Enam tahun rasanya seperti ribuan tahun mereka bersama.
“aku ikut engkau...”. Mentari buka mulut.
“kita bikin pesta disana!”

** 

“halo”
“halo Kin, bisa ke rumah Elang sekarang?”. Suara Mentari terdengar sangat pelan dan terputus-putus.
“hah? Ada apa Mentari? Aku sedang mengerjakan bab terakhir yang harus direvisi. Kenapa kamu kedengarannya terpukul begitu?”
“sudahlah jangan banyak bertanya! Kemari kau sekarang!” Mentari dengan setengah membentak Kinasih yang masih cuek mengerjakan skripsinya,
“lho kamu kenapa sih? Yasudah aku kesana sekarang!”
“bagus. Cepat!”
“iya.”
Tut. Tut. Tut. Telepon terputus dengan cepat. Dan Kinasih menggantungkan pertanyaan aneh: ini kenapa?.
Mentari merebahkan badan Elang di tempat tidur kamarnya. Elang masih sadar, tapi matanya mulai berkunang-kunang dan sesak terus mengebom dadanya tak berkesudahan.
“kamu istirahat ya, aku ambilkan obatmu... dimana itu?”
“kamu kuat sekali membopong aku. Tak usah repot-repot: itu baru saja habis tadi saat aku mandi, dan sekarang memang sudah waktunya”. Elang bicara dengan tempo sangat lambat dan suara yang tersengal hebat. Ia paksakan senyum mengembang di bibirnya. Keringat tidak berhenti merembes dari semua pori-porinya.
“aku telfon Kinasih barusan...”
“kenapa?”
“aku bingung, kalut dan gusar. Tak tahu harus mengabari siapa kecuali dia.”
“baik, sebelum Kinasih datang sepertinya aku sudah harus pergi.”
“aku bilang jangan meracau seperti itu!”
“hahaha kemari!” Elang memerintahkan Mentari yang sedari tadi berdiri cemas untuk duduk dipinggir kasur.
“kenapa?”
“cium aku!”
“jangan bercanda disaat seperti ini!”
“aku tidak bercanda, cium pipiku! Cepat!”
Mentari kemudian melakukan yang diperintahkan,
“sekarang yang sebelah kanan!”
Mentari kembali mencium pipi Elang, kini yang sebelah kanan.
“kening!”
“baiklah, nakal!”
Mentari melakukannya, lagi.
“sekarang bersandarlah di dadaku sejenak, keretaku sudah dekat!”
“hus! Aku akan lakukan, tapi kamu jangan bicara begitu lagi!”
Mentari kemudian menyandarkan kepalanya pada dada Elang. Rasanya hangat dan damai. Cinta melebur menjadi partikel-partikel nano yang siap mengebom seluruh jagat raya.
“rasanya damai begini...”
Elang bicara sambil memejamkan mata.
“aku melihat titik putih yang semakin mendekat. Kamu masih disini kan Mentari?”
“iya Lang, aku disini...” air mata menggenangi mata almond sang Mentari.
“pesta sudah dekat Mentari, kereta kencana sudah datang dan aku akan naik sebentar lagi. Ikutlah bersamaku, akan kujemput esok kalau kau mau...”
“Lang, jangan bicara begitu!”
“aku mencintaimu, dan lagi-lagi kusampaikan... aku menginginkanmu di kehidupan yang lain!”
Kemudian senyum tersungging di pipinya. Pada jasad tanpa nyawa.

Mentari pagi hari masih menyandarkan kepalanya di dada Elang. Tapi sang burung terbang meninggalkannya yang merintih menahan pilu dan kesedihan. Kekasih telah pergi. Hanya ada perih yang menggores: seperti pecahan kaca yang tertancap di atas dada.
 **

“apa aku datang terlambat?”
Tanya Kinasih yang masuk tiba-tiba dan ternganga melihat sahabatnya banjir air mata.
“tidak! Elang sengaja meninggalkan kita berdua dan pergi ke pesta lebih awal...”
Mentari kemudian bangkit dan ambruk ke dada Kinasih.
“Kin, tolong bantu aku membopong tubuh ini ke dalam mobil. Tolong kau setir mobil ke tempat kremasi. Tapi ingat, jangan kau kremasikan ia dahulu, karena kami ingin di kremasi bersama!”.
**

Selasa, 01 Januari 2013
Pukul 04.30

“kin bangun!”
Mentari bangun lebih awal hari ini.
“kenapa kamu? Mimpi buruk?”
Kinasih dengan malas-malasan dan belum membuka matanya tapi sudah bertanya.
“aku sudah diajak pesta, tapi Elang bilang besok setelah pergantian tahun...”
Kinasih menabrak Mentari dengan pelukan yang sangat kencang
“sudahlah, aku masih membutuhkan mu. Jangan menyusulnya...”

Bulir-bulir air mata kemudian kembali menyapa pagi mereka yang masih buta. Masih buta tanpa warna.
 **

Selasa, 01 Januari 2013
Pukul 18.30

Polisi tambun dengan perut bulat membacakan bait demi bait kertas bergores yang ada di tangannya itu:

Selasa, 01 Januari 2013 di tulis di Depok
Untuk Kinasih tercinta.

Kinasih sayang, mungkin surat ini hanya sia-sia. Kau tahulah mengapa, ya kita memang sudah sering membicarakan ini sebelumnya. Bahkan, sudah kau masukkan dalam bahan skripsi psikologi bangsatmu itu kan? Kau tentunya paham tentang apa yang dikatakan Elang padaku beberapa tahun belakangan ini, bahwa setiap tindakan manusia memang seharusnya telah dipertimbangkan dengan matang sebelumnya, apalagi manusia dewasa dengan intelegensi yang baik seperti mahasiswa UI, hahaha. Begitu juga dengan berpindah ke dunia yang lain –kalau tidak mau disebut sebagai bunuh diri- kurasa tindakan ini telah kupikirkan matang. Dan aku melakukan ini bukan untuk mengakhiri hidup, tapi untuk mempercepat proses samsara, atau kalau tidak ada reinkarnasi, maka aku ingin mempercepat perjumpaanku dengan Tuhan. Kalau kau berfikir aku menyalahi takdir, maka menurutku kau salah. Karena takdirku atas kematian ini sudah kulaksanakan dengan perhitunganku sendiri. Aku bukan menyerah pada kehidupan, setiap hari semangatku untuk memperjuangkan Elang semakin menjadi-jadi. Aku yakin dia adalah cinta yang diberikan Tuhan dari masa lalu, masa kini, hingga masa yang aka datang. Dalam tubuhku yang sebelumnya -jika benar-benar ada tubuhku yang lain- dan tubuhku yang di masa yang akan datang. Jiwa dan tubuhku, telah dipersatukan. Aku menuju dunia lain untuk memperjuangkan cintaku pada Elang. Karena Elang telah ada bersama Tuhan, maka aku juga ingin bersama Tuhan. Dan aku percaya, karena ini adalah permintaan Elang, maka kemarin ia telah meminta Tuhan untuk mengabulkan permintaanku ini dan mengampuni dosaku -jika memang Tuhan benar-benar punya aturan. Aku yakin Tuhan mau mengampuni, mungkin Ia menganggap aku adalah makhluknya yang paling aneh, tapi aku yakin Ia Maha Mengerti. Dan tugasmu sekarang Kinasih, tolong kabarkan pada dunia… kematian kami berdua adalah bahagia. Aku sisipkan surat dari Elang untukmu, jika di dunia yang membosankan itu kau memerlukannya.

Salam Cinta, untuk Kinasih
Dari aku, Elang, dan Tuhanku.

Senin, pagi buta, 31 Desember 2012, ditulis di Depok
Untuk Mentari dalam kabut, dari Elang yang Bersayap.

Aku tahu kau berkabut esok hari, sayang. Aku menuliskan surat ini saat aku sudah tak kuasa menahan panggilan Izrail yang terus saja menarik-narik jiwaku yang reot. Datanglah kepadaku, aku mau kau memperjuangkan cinta kita. Di dunia yang lain. Aku mencintaimu sejak lama, tapi aku tak pernah sedikit pun memberimu tempat yang layak disisiku selama ini. Padahal, terkadang aku kelewat batas dalam menahan perasaan ini. Aku takut kau kecewa dengan keadaan fisikku yang semakin hari semakin terkulai atas penyakit sialan ini. Dan seperti yang pernah kita bahas sebelumnya, bahwa pengobatan manusia hanya akan menambah umurku, bukan menghentikan penyakitnya. Maka, sebagai orang yang percaya akan adanya reinkarnasi, aku memutuskan untuk menjalani hidup tanpa pengobatan agar aku cepat terlahir di dunia kembali dengan keadaan yang lebih baik. Sayang, enam tahun belakangan, aku berjuang demi cinta kita. Aku berjuang menahan seluruh egoisme dalam dada yang memaksa diriku sendiri untuk menjadikanmu sebagai milikku. Tapi aku tahu, kau bahkan terlalu mencintaiku, hingga jika besok atau lusa aku mati, kurasa kau sulit bahkan tidak akan pernah mencari penggantiku lagi. Maka aku memutuskan untuk tidak berbuat banyak untuk menyambut perasaanmu. Tapi sekarang, aku benar-benar yakin, aku mencintaimu dan menginginkanmu menjadi milikku di kehidupan yang selanjutnya. Aku tidak akan pernah rela membiarkanmu menjadi milik orang lain, maka sambutlah tanganku di kehidupan yang selanjutnya. Dan aku tahu, kita sama-sama percaya.

Aku mencintaimu bukan sampai mati, tapi sampai samsara tak berbentuk lagi dan jiwaku benar-benar pergi.

Dari aku dan Tuhanku.



ditulis di Depok, jawa barat, Indonesia, 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar