Jumat, 21 Februari 2014

direntang putus asa

Direntang Putus Asa




Rama   : fundamentalis!
Sinta    : cukup! Aku pergi!

          [menatap mata rama sebentar, sambil sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper sambil berjalan keluar rumah]

Rama : ayolah… jangan jadi fundamentalis begitu. Selama ini kau tidak pernah mempermasalahkan hal-hal mendasar dalam hubungan kita.

Sinta  : menurutmu? Aku lelah diperlakukan seperti bak sampah, oleh seorang sampah sepertimu! Carilah perempuan tolol yang tak perlu diberikan kepastian untuk hidup bersama. Semua pikiranmu termakan distorsi! Terlalu banyak pengaruh dari perenungan tololmu yang tak ada ujungnya itu!

               [sama-sama berjalan ke depan rumah, sampai di depan rumah]

Rama   : ya sudah, aku menyerah. Pergilah.

Sinta     : multi-interpretatif. Apanya yang menyerah? Kau bahkan tidak berjuang sama sekali. Sekarang kau bilang menyerah? Tolol! kau pikir aku takut? Lebih baik aku menghadapi amuk keluargaku di rumah, dibanding harus menjalani satu hari lagi tinggal di rumah busuk ini tanpa kepastian. Dan seperti yang kau katakana pada teman-temanmu: Kita ini kan cuma teman kuliah!

               [berjalan menarik koper]

Rama   : hei…

               [Sinta berbalik]

               aku mencintaimu.

Sinta     : jangan mulai lagi, sampah. Kau ini makhluk bifasial! Di depan ku bilang I love you, dibelakangku… ehm juga sama sih. Tapi dengan objek yang berbeda.

Rama   : ya, terserah.

Sinta     : apanya yang terserah? Selama ini memang terserah. Tapi keterserahanku tak pernah kugunakan untuk mengkhianatimu. Atau malah mengkhianati Tuhan. Kita tidur seranjang, kita tidak bersenggama. Kita tidur tidak seranjang, bisa saja kau menikmati pelayanan seks dari perempuan lain. Cukuplah mengintimidasi ku secara seksual.

Rama   : tidak pernah ada yang lain. Kamu tahu itu.

Sinta     : aku tidak tahu apa-apa. Bahkan Tuhan sudah tak mau tahu.

              [terlihat Sinta pergi ke depan pintu gerbang rumah dan menyetop metro mini]

Fade black

               [terlihat Sinta ada di dalam metro mini duduk sambil memperhatikan jendela, tiba-tiba ponselnya berdering dan ia mengecek pesan singkat yang masuk]

               [suara laki-laki]

               Aku hanya bisa mencium bekas handukmu yang bau susu tanpa tau rasanya. Sedang aku ada dalam tubuhmu.

               [Sinta tersenyum getir, meraih pasminanya, lalu menciuminya. Sinta membalas pesan singkat itu]

               [suara perempuan]

               Lacur. Pasminaku aromanya ruanganmu. Dan sejak lama masih melilit tubuhku.

              [terlihat Rama sedang duduk di kursi depan rumahnya dengan rokok di tangan kirinya dan cognag di tangan kanannya sembari memperhatikan ponsel di mejanya]

               [kembali ke gambar Sinta]

               [suara pesan singkat masuk]

               [suara laki-laki]

               Kenakanlah melulu. Begitu juga aku.

               [raut muka Sinta kemudian menjadi sangat serius. Sambil melotot ia balas pesannya]

       Tidak akan. Hingga suatu hari otakmu yang bebal mampu berfikir dan memberikan kehadiranku landasan.

               [gambar kembali ke Rama. Rama membanting cognacnya sambil berteriak-teriak]

Rama : sialan! Anjing! Anjing! Perempuan murahan! Lonte! Bajingan! Kau pikir kau siapa? Anjing! Kau tidak pernah mencintaiku! Bagaimana bisa kita hidup bersama tanpa ada kepastian darimu? Dan sekarang kau menuntut kepastian dariku? Hah anjing!

               [gambar ke Sinta. Mengucapkan serapah dengan proyeksi kecil]

Sinta  : anjing. Bagaimana bisa kita tinggal serumah dua tahun tanpa saling percaya dan mencintai! Taik! Pelacur bangsat! Laki-laki murahan!

                [pesan masuk]

                [suara laki-laki]

              Pahitnya adalah: hanya handukmu yang menyetubuhi tubuhku, bukan tubuhmu. Kau terus saja menyetubuhi pikiranku

               [terlihat Rama sedang membuka ponsel dan tertawa getir]

               [suara perempuan]

                Maka setubuhilah perawanku yang menempel pada setiap hasta di handuk itu.

Rama  : bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku memberikan kepastian pada perempuan yang tak pernah sekalipun dalam delapan tahun ini mengatakan cinta? Ya Tuhan… katakan Tuhan! Katakan! Aku harus bagaimana? Katakan Tuhan! Katakan!

               [memukul-mukul pintu kemudian berjongkok di depannya]

              [gambar kembali pada Sinta yang sedang mengorek tasnya mencari kertas dan pulpen, kemudian ia menulis]

               [suara perempuan]

               Selasa, 02 April 2015.
               Tuhan, laki-laki ini adalah laki-laki terbaik yang pernah kutemui. Kami tahu kami saling mencintai selama bertahun-tahun. Aku bahkan  rela meninggalkan kaluargaku dan hidup bersamanya dalam dua tahun terakhir ini. Kami tinggal dalam satu atap, dan terkadang diatas satu ranjang. Tapi Ia memperlakukanku dengan sangat terhormat. Aku bahkan masih suci sampai hari ini. Ia memperlakukanku sama seperti ia memperlakukan ibunya sendiri. Tapi Tuhan, Apa aku takkan dinikahinya seperti ia tidak akan menikahi ibunya sendiri? Aku lupa ini surat yang keberapa yang kutuliskan padamu, karena kau tak kunjung membalas pesanku.
               Aku mencintainya, demi namamu aku mencintainya.

       [Sinta menyobek kertas, meremasnya menjadi bola kemudian membuangnya. bus berhenti. Sinta turun dengan kopernya. Terlihat seorang perempuan tua membuka tangannya. Mereka berpelukan, sinta kemudian bersujud]

Sinta     : maaf.

Ibu        : bangun nak. Ibu sudah dengar semuanya.

Sinta     : maaf?

               [gambar lorong berputar ke beberapa waktu sebelumnya]

               [percakapan di telepon]

Rama   : selamat pagi bu. Ini Rama.

Ibu        : kurang ajar. Mau apa lagi? Dimana anak saya?

Rama   : jangan ditutup dulu bu. Anakmu sedang dalam perjalanan pulang. Mungkin sebentar lagi sampai.

Ibu        : baguslah. Jangan lama-lama kumpul kebo.

Rama   : demi Tuhan, Sinta masih suci.

Ibu       : baguslah, anak saya memang tahu diri.

Rama  : ya, dia memang perempuan yang paling berani sekaligus paling bisa jaga diri dalam keadaan yang sama. Kontrolnya baik sekali. Alam bawah sadarnya sangat menjaga kestabilan tindakannya.

Ibu     : saya berhasil dalam hal itu. Saya cuma gagal menjaganya tetap di rumah sampai ia memilih tinggal dengan lelaki bajingan macam kamu. Tidak usah basa-basi. Mau apa kamu nelfon saya?

Rama   : begini bu. Saya ingin mengambil anak ibu secara sah di mata agama dan hukum. Bisa saya minta tolong?

Ibu   : minta tolong apa? Sebentar, kau tidak meminta persetujuanku, kok malah minta tolong…

Rama   : ehm… iya bu. Bolehkah saya meminang anak ibu?

Ibu      : tentu saja. Daripada dia tiba-tiba bunting gak punya suami ya mending kalian kawin beneran!

Rama   : terimakasih Tuhan. Tapi bu, boleh saya minta tolong?

Ibu        : tentu saja, calon menantu.

Rama : tolong tanyakan padanya apakah dia mencintai saya. Sebab bertahun-tahun kami bersama tidak pernah sedikit pun dia bilang kata-kata itu.

Ibu       : hah dasar lelaki bodoh. Baiklah.

               [terlihat Rama masuk ke dalam mobil]

               [gambar lorong waktu berputar ke depan]

Sinta     : iya bu. Saya mencintai dia lebih dari apa pun di dunia ini.

                [tiba-tiba Rama muncul, sambil berjalan ia berbicara]

Rama   : Hidup memang tak bisa berhenti,
terus berlanjut meski diri menahan
untuk waktu tetap disini dan seperti ini,
mungkin ini lah yang kita rasakan .
Lalu kini dan nanti,
sebuah kebahagian tanpa batas
bisa menjadi satu saudara tanpa kandung,
bisa menjadi teman tanpa lawan,
bisa menjadi kekasih tanpa kasih tetapi CINTA.

Mentari terbit bersama dingin,aku melihat mu.
Matahari dengan LUP sudah bisa membakar
Kertas,
disaat itu aku bersama mu.
Senja sudah menepi,
namun aku tetap disamping mu.
Kala,
Ketika bulan sudah tersenyum dengan sabitnya aku tetap lupa dengan asal ku, Dan bermalam bersama mu dalam satu lelahnya hari.
Hingga pagi yang seri kembali seperti kemarin.

               [Rama menggenggam tangan Sinta. Sinta mencium tangan Rama]

Sinta    : Roda masa t’lah berputar.
Dimana masa terasa cepat dan sesat,
Dimana rasa tak dapat lagi di dekap.
Bingkisan kenang yang terkenang menjadi kenangan.
Bingkisan lidah yang terucap menjadi nyata.
Indah dapat dirasa buruk dapat diterka.
Berbagi aku menuntut mudah,
Berbagi kau menuntut mudah,
Berakhir kita dengan lah indah.
Dekap kan menghangat, melanjutkan ketenangan raga dan menghangatkan ketenangan jiwa.
               Date line yang belum ditentukan,
Yang akhirnya akan menentukan kita.
Hapus rusak dengan pikiran
Dan isi tirani dengan butiran bukti.
Genggam tangan dengan kanan
Kan ku ajak kau melihat angan yang akan
Segera mapan di dunia nyata.
Diartikan senyum mu adalah hiasan mahal,
Yang akan rugi bila hiasan ini menghilang,
Atau tambah lah merugi bila
Hiasan ini menghilang dengan sendirinya,
Tidak dicuri,
melainkan lari mencari
Yang seharusnya disebut pencuri.
Jangan sampai lah ini terjadi.
Kuat nian bila kita melambai,
Melambai pada ketakutan,
Ketakutan akan segera jauh karena
Kita akan pergi ke hilir kebahagiaan.

Rama   : Pikirkan ini sebuah suasana brantah.
Dimana tanpa disengaja,
Kita tak bisa bersapa.

Sinta     : Pikirkan ini sebuah suasana rapuh,
Dima
na rasa rindu muntah dari angan
Dan keluar dari lisan.

Rama   : Menanya mencari,
Tapi aku tak mau mencari.

Sinta    : Menjawab,
Mencari?untuk apa mencari?

Rama   : Kalau kau lah yang dicari 

Sinta    : Dan kau lah yang mencuri.

Sinta &Rama : AKU TLAH MENEMUKANYA

Sinta   : kenapa baru sekarang?

Rama  : karena aku baru tahu sekarang.

Sinta   : kata-kata itu tidak penting.

Rama  : tapi kita penyair. Cobalah jujur dari dulu.

Sinta   : maka dari dulu kau akan menikahiku?

Rama  : tidaklah. Setidaknya ada rancangan kesana.

Sinta   : kenapa tidak?

Rama  : teknis dan finansial sayang… hahaha lagipula aku sibuk mencari kesempurnaan dalam sorot matamu.

Sinta   : memang tidak terlihat?

Ram   : sebetulnya jelas. Tapi aku butuh pengakuan.

Sinta  : kalau kau mau perempuan dengan akhlak baik: pergilah ke pesantren; lalu tinggalkan aku.
               Kalau kau mau cewek cantik: pergilah ke kontes-kontes kecantikan; lalu tinggalkan aku.
               Kalau kau ingin wanita cerdas yang banyak bicara : pergilah ke kantor stasiun tv berita; lalu tinggalkan aku.
               Kalau kau butuh sosok sempurna: MATILAH KAU! pergilah ke surga dan temuilah bidadari; kemudian tinggalkanlah aku.
               Tapi kalau kau mau aku, tetaplah disini dan tinggal bersamaku.

Rama   : jadilah Dewi Sinta, untuk Rama Vijaya yang sesungguhnya. Karena aku mau kamu.

               [mengeluarkan cincin dan memasangkannya di jari manis tangan kiri]

Sinta     : cincin ini kan?

Rama   : ya, dua tahun lalu saat kita masih tinggal di Perancis.

Sinta     : je taime, cher.

Rama   : je taime.

                [mereka kemudian berpelukan untuk waktu yang lama sambil meneteskan air mata]




-sebuah naskah film pendek yang belum sempat digarap, 2013.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar