Jumat, 21 Februari 2014

Ken Aṅrok dalam Naskah dan Prasasti


Ken Arok dalam Naskah dan Prasasti

Dalam menuliskan sejarah Indonesia kuna, sumber primer yang kita gunakan adalah prasasti, kemudian naskah jika diperlukan sebagai sumber sekunder. Menurut Edi sedyawati, dalam artikelnya yang berjudul “Analisis Naskah dan Prasasti”, naskah adalah bidang-bidang yang memuat tulisan yang dapat digoreskan dimana saja, sedangkan prasasti adalah suatu maklumat atau peraturan yang dikeluarkan oleh raja yang berwenang. Penelitian naskah dan prasasti pada umumnya bersifat kualitatif dengan bekal utamanya mengamati huruf-huruf dan ejaan.

Prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja di masa silam tentunya tisak semuanya dapat kita temukan keberadaannya di masa kini. Bahkan, prasasti yang kita temukan b]pun belum tentu lengkap secara keseluruhan bagiannya. Peran naskah adalah untuk mengisi celah yang tidak dapat ditemukan pada prasasti. iIni dikarenakan sejatinya suatu naskah tidak berisi maklumat raja, dan sebagian besar merupakan kisah fiksi. Namun demikian, suatu karya sastra tentunya memiliki unsur intrinsic dan ekstrinsik. Latar belakang sosial budaya dalam unsur ekstrinsik yang membangun suatu cerita inilah yang dapat kita gunakan sebagai data prasasti guna penyusunan historigrafi Indonesia kuna.

Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Sastra bukan hanya milik masyarakat namun juga menjadi suatu yang penting, dan berlaku dalam jangka waktu yang lama. Misalnya menjadi pedoman, sebagai bayangan pikiran dan membentuk norma, baik untuk orang yang sezaman mau pun yang akan menyusul kelak. (Robson, 1987)

Tokoh Ken Aṅrok memang krontrovesial. Berbagai ahli telah menelaahnya dalam berbagai macam karangan yang bahasannya tidak jauh berbeda, mengenai tindak pemerkosaan terhadap ibunya oleh dewa, kejahatannya selama masih muda, hingga pemberontakan yang berujung pada wafatnya Tuṅgul Ametuṅ dan takluknya kerajaan sekitar kepada kekuasaan Ken Aṅrok.

Dalam prasasti Mariboṅ tahun 1186 śaka diketahui Śrī Jaya Wiṣṇuwardhana dengan gelar swapitāmahāstawanābhinnāsrantalokapālaka, pada prasasti Balawi tahun 1227 śaka menyebutkan Śrī Mahārāja Narārya Saṃramawijaya dengan julukan rājasawaṃśamaṇiwṛndakostena, dan masih terdapat beberapa prasasti di tanah Jawa yang menyinggung rājasa waṃśa atau wangsa Rajasa. Prasasti lain yaitu prasasti Kuśmala menyebutkan rakryān demuṅ Saṅ Martabun Raṅga Sapu dengan julukan makamaṅgala rakakiṅ amūrwwabhūmi ¹

Selain itu, Hasan Djafar dalam bukunya “Girīndrawarddhana dan Beberapa Masalah Majapahit Akhir” menyebutkan bahwa pada akhir masa Majapahit terdapat Raja-raja yang menggunakan gelar Girindrawardhana, seperti ratusan tahun sebelumnya.
Gelar-gelar yang merujuk pada waṃśa tertentu itu, digunakan oleh banyak Raja Jawa. Namun hingga kini belum ada yang dikeluarkan oleh tokoh Śrī Rājasa atau Amūrwwabhūmi sendiri, sebagain pendiri Rājasa waṃśa.

Untuk menopang data prasasti, sebagai data sekunder untuk historiografi, gelar Śrī Rājasa dapat ditelusuri yang ternyata digunakan oleh Ken Aṅrok dan diabadikan dalam berbagai naskah diantaranya Pararaton, Nāgarakṛtagama, dan Kiduṅ Harṣawijaya.

Penelusuran naskah, sebagai data bantu dalam menyusun historiografi mesti dilakukan guna penyusunan sejarah yang terputus karena tidak ditemukkannya lagi data prasasti. Karena itulah, para ahli menelusuri tokoh Śrī Rājasa atau Amūrwwabhūmi melalui beberapa naskah sastra yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu Pararaton, Nāgarakṛtagama, dan Kiduṅ Harṣawijaya, bahkan ada satu lagi naskah yang mungkin bisa deipertimbangkan yaitu Kiduṅ Arok namun mengingat belum ada referensi mengenai naskah tersebut hal ini menjadi sulit dilakukan, terlebih lagi salah satu naskahnya yang ditemukan diperkirakan ‘sangat baru’ karena diketahui menggunakan kertas Eropa serta beraksara dan berbahasa Jawa Baru. ²

Ken Aṅrok ialah penjelmaan kembali seorang yang mula-mula hidup tidak baik, tetapi karena sanggup dijadikan kurban untuk dewa penjaga pintu ia kembali ke surga dengan Viṣṇu. Ibunya adalah seorang petani dari desa Paṅkur yang diperkosa oleh dewa Bhramā. Sang dewa Bhramā meramalkan bahwa anak yang dilahirkan kelak akan memerintah pulau Jawa. Suami Ibu Ken Aṅrok pun meninggal lima hari setelah peristiwa itu setelah akhirnya diceraikan sang istri. Begitulah kiranya yang diceritakan oleh kitab Pararaton.

Pada kitab Nāgarakṛtagama, diceritakan bahwa Ken Aṅrok merupakan putra Śrī Girīndra yang lahir tidak dari kandungan. Ia bertakhta di sebelah timur gunung Kawi pada tahun 1104 śaka,  pada tahun 1144 śaka, ia berhasil mengalahkan raja kaḍintěn, Kṛtajaya. Dengan demikain bersatulah kembali Jaṅgala dan Kědiri. Pada tahun śaka 1149 (1227 M), dia berpulang ke swargaloka, meninggalkan dunia, didharmmakan di dua tempat, di Kagěněngan sebagai Siwa dan sebagai Buddha di Usana.³

Pada saat Ken Aṅrok beranjak dewasa, Pararaton mengabadikan ulah dan kenakalannya yang luar biasa. Saat ia kecil, ia terbiasa dibawa mencuri oleh Lěmboṅ, ayah angkat yang menurut Pararaton, menemukannya di kuburan, tempat Ken Éṇḍok membuangnya. Saat beranjak dewasa, kenakalan yang dipupuknya sejak kecil membuat dia suka melakukan onar di desanya, hobinya adalah bermain judi dan menghabiskan uang orangtuanya di meja judi. Kenakalannya tersebut membuat ia harus diusir dari desanya oleh kedua orangtuanya. Ken Aṅrok menjadi terlunta-lunta hingga akhirnya ia diangkat anak oleh Baṅo Samparan, setelah ia mendengar suara dari langit bahwa Ken Aṅrok dapat melunasi utangnya akibat kalah judi.⁴

Beranjak dewasa, Ken Aṅrok sempat pergi ke tempat pendeta di Sageṅgeṅ. Ia belajar membaca, sastra, dan menulis hingga candrasengkalan serta astronomi. Menurut pararaton, Ken Aṅrok mandirikan sebuah desa kecil bersama temannya Tuwan Tita. Ia kembali bebuat onar dengan mencegat orang di jalan dan memperkosa wanita.⁵

Tuṅgul Amětuṅ sebagai akuwu di Tumapěl merasa resah dengan ulah Ken Aṅrok. Oleh sebab itu, ia mengirimkan pasukan untuk mengejar Ken Aṅrok. Namun dengan segala daya upaya dan pertolongan dewa, Ken Aṅrok dapat menghindar dari kejaran pasukan Tuṅgul Amětuṅ. Selama pelarian diri, Pararaton mengisahkan bahwa Ken Aṅrok bersembunyi di rumah pendeta, orang asing keturunan prajurit, serta di tempat kepala desa.⁶ Saat itulah datang seorang Brahmana bernama Dahngyang Lohgawe yang sengaja datang ke Jambudwipa untuk mencari Ken Aṅrok. Dahngyang Lohgawe mangangkat anak Ken Aṅrok, dan membuat Ken Aṅrok menjadi abdi di Tumapěl.

Setelah mengabdi di Tumapěl, Ken Aṅrok jatuh cinta kepa Ken Děděs, yang merupakan permaisuri sah Tuṅgul Amětuṅ. Ia pun akhirnya membunuh Tuṅgul Amětuṅ dalam upaya merebut Ken Děděs dan akhirnya menjadi Akuwu di Tumapěl. Menurut pararaton, Ken Aṅrok memesan keris kepada Mpu Gandring yang kemudian ‘pura-pura’ dihadiahkan kepada Kěbo Ijo. Kěbo Ijo dengan bangga memperlihatkan keris itu kepada semua orang yang ditemuinya. Lalu dengan cerdik Ken Aṅrok mencuri keris tersebut dan digunakan untuk membunuh Tuṅgul Amětuṅ. Keris tersebut dibiarkan tetap menancap pada tubuh Tuṅgul Amětuṅ  sehingga Kebo Ijo menjadi tersangka dan dihukum mati. Setelah lama menjadi akuwu, Ken Aṅrok  kemudian ‘memperluas wilayahnya’ dengan menyerang Daha dan kemudian mendirikan Siṃhasari.⁷

Dalam Nāgarakṛtagama akhir kisah hidup Ken Aṅrok hanya disebutkan bahwa ia berpulang ke Swargaloka tahun 1149 śaka (1127 Masehi) dan didharmakan di Kagěněṅan dalam candi Śiwa, dan di Usāna sebagai Buddha. Berbeda dengan Nāgarakṛtagama, Pararaton menyebutkan bahwa Ken Aṅrok wafat pada 1169 śaka (1147 Masehi) dan hanya menyebutkan bahwa Ia didharmakan di Kagěněṅan. ⁸


TAFSIRAN PARA AHLI

Naskah sangat berperan penting untuk menelusuri ‘siapakah’ Śrī Rājasa atau Amūrwwabhūmi, ini dikarenakan sedikitnya keterangan yang dapat diperoleh dari prasasti. Para ahli menggunakan naskah-naskah tersebut untuk menafsirkan tokoh Śrī Rājasa dan kehidupannya di masa lalu guna menyelidiki sejarah.

Eksistensi tokoh kontroversial Ken Aṅrok dibenarkan oleh beberapa ahli namun juga disanggah oleh ahli-ahli lain. C.C. Berg beranggapan bahwa Śrī Rājasa adalah tokoh fiktif yang dikarang sebagai bentuk legitimasi raja-raja setelahnya. Namun Boechari, Brandes, J.L. Moens, Krom, dan sederet ahli lain bahwa Ken Aṅrok  memang benar-benar ada dan menjadi pendiri wangsa Rājasa yang telah melahirkan raja-raja besar di tanah Jawa. ⁹

Boechari menafsirkan bahwa Ken Aṅrok  adalah anak haram Tuṅgul Amětuṅ  hasil ‘perkosaan’ dari selirnya yaitu Ken edok, yang kemudian sebagai anak seorang akuwu berusaha mendapatkan tahta kerajaan dengan membunuh ayahnya sendiri dan memperistri permaisurinya yang pada saat itu sedang hamil dan akan melahirkan putra mahkota Tumapěl. ¹⁰
Sedangkan Mimi Savitri menafsirkan bahwa Ken Aṅrok  adalah anak tidak sah dari Kěrtajaya yang melakukan counter respond terhadap kesewenang-wenangan ayahnya sendiri, dan harus membunuh ayahnya untuk mendapatkan tahta kerajaan. ¹¹

Dalam pararaton diperoleh genealogi bahwa Ken Aṅrok memiliki anak bernama Mahisa Woṅa tělěṅ, Pañji Sapraṃ, Agnibhaya, dan Dewi Rimbū dari istrinya yang utama, Ken Děděs. Dari istrinya yang lain, Ken Umang, Ken Aṅrok   memiliki empat anak juga yaitu Pañji Tohjaya, Pañji Sudhatu, Pañji Wrěgola, dan Dewi Rambū. Di antara anak-anak Ken Aṅrok tersebut, diketahui hanya Tohjaya yang menjadi raja di Tumapěl.¹²

Prasasti Mūla Maluruṅ menyebutkan bahwa Narāryya Guṅiṅ Bhaya digantikan oleh kakaknya, Pañji Tohjaya. Sedangkan menurut Pararaton, Tohjaya menggantikan Anūṣapati yang dibunuhnya dalam acara sabung ayam, untuk membalas dendam kematian ayahnya, Ken Aṅrok. Selain itu, dalam prasasti tersebut juga disebutkan Bhaṭāra Parameśwara yang kedudukannya digantikan oleh Narāryya Guṅiṅ Bhaya. Hal ini menjadi kebingungan sejarah, namun beberapa ahli menafsirkan dengan ‘alternatif’ bahwa sesudah mangkatnya Ken Aṅrok Kerajaan Siṃhasari memiliki beberapa daerah taklukan dengan raja-raja kecil, nah, yang menjadi raja-raja kecil itu adalah anak-anak dari Ken Aṅrok. ¹³


KESIMPULAN

Naskah sebagai salah satu data sejarah sangat perlu dipertimbangkan untuk penyusunan sejarah dan menjelaskan keadaan yang abu-abu dan tidak tercantum dalam prasasti menjadi jelas. Hal ini tentunya dengan berbagai pengecualian, mengingat karya sastra dibuat untuk kepentingan tertentu yang terkadang bersifat fiksi.

Hal tersebut di atas tercermin dari penelusuran para ahli mengenai tokoh Ken Aṅrok yang dalam hal ini hanya tergambar melalui prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh keturunannya, dan bukan oleh dirinya sendiri. Ken Aṅrok atau Śrī Rājasa hingga kini belum ditemukan satu pun prasastinya. Untuk itulah, para historiograf dan epigraf menggunakan bantuan naskah kuna dalam hal ini Pararaton, Nāgarakṛtagama, dan Kiduṅ Harṣawijaya.

Keterangan yang didapat dari kitab-kitab tersebut dapat melengkapi celah sejarah yang hilang. Meskipun demikian, perlu diperhatikan beberapa ketidaksesuaian yang mungkin didapatkan. Pada tahun kematian Ken Aṅrok Nāgarakṛtagama menyebutkan 1149 śaka (1227 Masehi) dan didharmakan di Kagěněṅan dalam candi Śiwa, dan di Usāna sebagai Buddha, berbeda dari Nāgarakṛtagama, Pararaton menyebutkan bahwa Ken Aṅrok wafat pada 1169 śaka (1247 Masehi). Ketidaksesuaian ini mesti dicari jalan keluarnya, Boechari lebih condong mempercayai Nāgarakṛtagama, karena hanya terpaut tidak lebih dari 250 tahun, sedangkan Pararaton usianya jauh lebih muda. ¹⁴

Ketidaksesuaian juga dijumpai dalam mengenai siapa menggantikan siapa setelah Ken Aṅrok mati di tangan anak tirinya, Anūṣapati. Dalam prasasti Mūla Maluruṅ, menyebutkan bahwa Narāryya Guṅiṅ Bhaya digantikan oleh kakaknya, Pañji Tohjaya. Sedangkan menurut Pararaton, Tohjaya menggantikan Anūṣapati yang dibunuhnya dalam acara sabung ayam, untuk membalas dendam kematian ayahnya, Ken Aṅrok. Tentunya, sebagai epigraf, para ahli lebih memercayai sumber primer, yaitu prasasti ketimbang naskah. Namun demikian, prasasti yang ditemukan tidak lengkap, terdapat beberapa lempeng yang hilang, sehingga para ahli akhirnya memilih jalan alternatif dalam penafsirannya.

Dengan adanya beberapa ketidaksesuaian, naskah memang tidak-seratus-persen dapat digunakan dalam penyusunan historiografi Indonesia.

CATATAN
¹   bandingkan Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II hal. 424, tahun terbit 2008 dengan artikel Ken Aṅrok  anak Tuṅgul Amětuṅ karangan Prof. Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti hal. 266, tahun terbit 2012
²   Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto, Sejarah Nasional II, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm. 424. Selain itu penulis sendiri telah melihat langsung kondisi Kidung Arok atau Kidung Sěrat Arok yang dimaksud
³   bandingkan Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II hal. 423, tahun terbit 2008 dengan artikel Ken Aṅrok  anak Tuṅgul Amětuṅ karangan Prof. Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti hal. 262-263, tahun terbit 2012
⁴   Mimi Savitri “Ken Arok : Perusuh Pedesaan dengan Mobilitas Vertikal yang Tinggi” dalam Aksara dan Makna, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012, hal. 99
⁵ Mimi Savitri “Ken Arok : Perusuh Pedesaan dengan Mobilitas Vertikal yang Tinggi” dalam Aksara dan Makna, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012, hal. 99
⁶ Mimi Savitri “Ken Arok : Perusuh Pedesaan dengan Mobilitas Vertikal yang Tinggi” dalam Aksara dan Makna, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012, hal. 100
⁷  bandingkan Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II hal. 422, tahun terbit 2008 dengan artikel “Ken Aṅrok  anak Tuṅgul Amětuṅ” karangan Prof. Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti hal. 262, tahun terbit 2012 dan artikel “Ken Arok : Perusuh Pedesaan dengan Mobilitas Vertikal yang Tinggi” karangan Mimi Savitri dalam Aksara dan Makna, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012, hal. 101
⁸  bandingkan Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II hal. 423, tahun terbit 2008 dengan artikel “Ken Aṅrok  anak Tuṅgul Amětuṅ” karangan Prof. Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti hal. 263, tahun terbit 2012
⁹   Boechari “Ken Aṅrok  anak Tuṅgul Amětuṅ” dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012, hal. 263
¹⁰ Boechari “Ken Aṅrok  anak Tuṅgul Amětuṅ” dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012, hal. 272
¹¹ Mimi Savitri “Ken Arok : Perusuh Pedesaan dengan Mobilitas Vertikal yang Tinggi” dalam Aksara dan Makna, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012, hal. 104
¹² Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto, Sejarah Nasional II, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm. 427.
¹³ bandingkan Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II hal. 429, tahun terbit 2008 dengan artikel “Inscriptions of Mūla Maluruṅ” karangan Prof. Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti hal. 425-436, tahun terbit 2012
¹⁴ Boechari “Ken Aṅrok  anak Tuṅgul Amětuṅ” dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012, hal. 261-272



DAFTAR PUSTAKA

Boechari. 2012. “Ken Aṅrok  anak Tuṅgul Amětuṅ” dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Boechari. 2012. “Inscriptions of Mūla Maluruṅ” dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Djafar, Hasan. 1974. Girīdrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir. Jakarta: Skripsi FS UI

Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosutanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka

Robson, D. 1967. “Bagian Sastra-sastra Tradisional Indonesia” dalam Bahasa dan Sastra, no. 6 th. IV. …………..

Savitri, Mimi. 2012. “Ken Arok : Perusuh Pedesaan dengan Mobilitas Vertikal yang Tinggi” dalam Aksara dan Makna. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

Sedyawati, Edi. “Analisis Naskah dan Prasasti”…………………………………







 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar