Jumat, 17 April 2020

Putri Cantik dan Pelayan Buruk Rupa (cerpen berbahasa Indonesia)

Putri Cantik dan Pelayan Buruk Rupa


ilustrasi: Ahmadi, Pematang Siantar, 2019

18.30

Alissa melihat keluar jendela kampusnya. Ia berdiri di lantai lima, kelas paling ujung di bangunan itu. Seseorang mencoba menyorotnya dengan lampu senter murah pinggir jalan.

Sial! Sepertinya hanya tukang senter pinggir jalan yang sedang uji coba.
Katanya dalam hati.

Ia kembali duduk di kursi, dan meletakan telepon genggamnya di atas meja yang terhubung langsung ke kursi itu, kursi mahasiswa pada umunya. Ia membuka pesan dari Rian yang masih di jalan dan memintanya untuk menunggu, bola matanya berputar dan memindai sekeliling, hanya hitam, abu-abu, dan sedikit sinar lampu proyek bangunan sebelah yang tak sengaja menyelinap, menyingkap tubuh membiru yang telah terbujur kaku.

Aku tak bisa masuk ke gedung. Tak ada petugas penjaga, dan semua terkunci.
Pesan dari Rian kembali masuk.

“sial!”.
Alissa bangun dari tempat duduknya dan menghampiri tubuh membiru di pojok ruangan,

“kenapa kau mesti mati di saat begini? Siapa yang akan percaya padaku nanti? Sial!
Mereka pasti lebih percaya pada mayat dibanding orang yang masih hidup!”.
Alissa berjongkok, menekuk punggungnya dan memeluk kedua betisnya sendiri.

Telepon genggam Alissa berkedip,
Alissa, kau masih di sana? Aku akan pergi sebentar mencari peralatan dan mendobrak pintu. Mungkin agak sedikit lama, semua orang mudik, hampir tak bertemu manusia sepanjang perjalanan. Kuatkan dirimu sedikit lagi!

Alissa menghela nafas dalam-dalam. Kalut dan bingung. Tak menyangka pesan dari Yuri, senior dan penggagum yang selama ini dimanfaatkan kebaikannya namun diabaikan perasaannya, sore tadi, betul-betul melelahkan dan berbuntut panjang.

Tak sampai sepuluh menit, terdengar teriakan dari suara yang tak asing bagi Alissa! Rian datang. Alissa berinisiatif memeriksa saku sang mayat dan menemukan beberapa kunci yang kemudian digunakannya untuk membuka pintu ruang kelas.

“sialan! Kenapa tak terfikir dari tadi!”.

Ia berlari ke arah sumber suara. Lompat ke tangga, dan menuruninya. Baru satu lantai ia gapai, beberapa langkah berikutnya, sesosok lelaki yang sangat ia kenal langsung mendekapnya.
“Rian… aku takut! Ia mati! Ia mati bunuh diri… aku takut…”

Alissa menangis dan tenggelam dalam pelukan.

“jangan takut, aku di sini!”

lelaki itu mencium kening Alissa dan memastikannya baik-baik saja. Lalu pipinya. Lalu lehernya, lalu bibirnya. Tangannya menggamit pinggang Alissa yang ramping. Alissa memeluknya erat.

“alissa, aku tiba-tiba menjadi sangat bergairah…”.

“tidak Rian, tidak di saat seperti ini!”.

Alissa melepaskan pelukan dan mengajak Rian segera turun ke lantai dasar untuk mencari bantuan. Tapi terlambat. Rian menyergapnya, membuka celana dalamnya dan menenggelamkan kepalanya di dalamnya.

Tiba-tiba gelap. Alissa tak bisa melihat apa-apa.





15.30

seorang perempuan berambut panjang sedang melihat jadwal pekerjaan dan menghitung  pemasukannya hasil pekerjaan daring dalam satu minggu terakhir.

“sedikit lagi cukup untuk membayar sewa gedung dan catering”.
Katanya dalam hati.

Namanya Alissa, seorang mahasiswi semester delapan yang juga pekerja daring. Sebagai bagian dari generasi kini, ia tahu betul bagaimana mengembangkan diri dan mencari rezeki. Bermodal wajah cantik dan tubuh yang proporsional, ia mulai memotret dirinya sendiri sejak dua tahun lalu. Kini, ia memiliki fotografer pribadi dan seorang asisten yang menjadwal pekerjaan dan membantunya mencari relasi bisnis daring.

Ponselnya berkedip, ia beranjak dari tempat duduk dan menjangkaunya  di kursi panjang taman belakang rumahnya.  Tak biasanya ia membuka ponselnya sendiri. Tapi karena liburan, semua orang yang biasa membantunya, ia perbolehkan pulang ke kampung halaman. Tak terkecuali supir dan asisten rumahtangganya.

datanglah ke ruang 5011, kelasmu. Aku telah membukakan pintu.
-Yuri

Alissa tentu saja mengabaikannya. Meskipun senior yang sering membantunya di kampus, Yuri tak lebih dari penggemarnya yang lain: di duia maya, maupun dunia nyata. Bisnis daring Alissa telah menjadikannya salah satu orang berpengaruh dan memiliki jutaan pengikut di sosial media.

Ia beranjak dari tempat duduknya dan mengambil makan siangnya. Hari ini ia boleh makan nasi dan rendang favoritnya. Tak lupa sambal goreng kentang dengan hati sapi kesukannya. Ia melahap makanan itu sembari membagikan video secara langusng kepada para pengikutnya: selain agar tak merasa kesepian karena ayah-ibunya sedang berada di kampung halaman, juga untuk menjaga kestabilan jumlah pengikutnya, sesuatu di mana hidupnya bergantung dalam dua tahun terakhir.

Ponsel pribadinya kembali berkedip
Aku punya rekaman bercintamu dengan Rian. Satu klik bisa membahayakan karirmu seumur hidup.
-Yuri

Tiba-tiba jantung Alissa berdetak lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin mengucur di tubuhnya. Tangannya dingin. Alissa masih diam dan tak merespon pesan.

Btw, aku punya blueprint calon skripsimu. Tenang, kau tak perlu membayar. Aku hanya ingin bertemu, kecuali jika kau ingin aku jujur pada para pengajar dengan memberitahu mereka: bahwa ini adalah karyaku, bukan milikmu.
-Yuri

Yuri adalah senior yang membantunya mengerjakan hampir semua tugas perkuliahannya. Sejak awal perkuliahan, Yuri telah menyatakan cintanya, tapi Alissa tetap bungkam. Bungkam hingga gambar-gambar pertunangannya beredar di sosial media.

Ya, Yuri punya hampir semua data pribadi Alissa. Laptop Alissa sering menginap di kostannya. Suatu hari ia duduk belasan jam di depannya untuk mengerjakan tugas-tugas Alissa hingga bosan. Saat mencari beberapa materi yang diperlukannya, ia menemukan satu folder mencurigakan, butuh beberapa  klik hingga sampai ke folder aslinya. Surprise! Tubuh bersih Alissa tanpa busana membungkuk di depan kamera dan menampakan seorang lelaki di belakangnya yang juga tanpa sehelai benang. Lelaki berbadan altelis itu terlihat maju-mundur sambil memegangi pinggang Alissa. Beberapa kali Alissa mengerang dan menenggak minuman dari botol kaca yang dipeganginya.

Hari itu Yuri merasa cukup membantu Alissa. Ia berjalan ke kamar mandi, dan membersihkan diri seada-adanya. Air pancuran mengalir dari ujung kepala ke dasar kakinya. Rasanya, udara sedang mebawa memori luka di tubuhnya. Tiba-tiba, air yang mengalir terasa asin. Semua luka menganga terasa perih dan berubah jadi borok. Ia mendengar suara sekelompok lalat yang berencana menghinggapi tubuhnya. Dengan ketakutan, Yuri menggosok tubuhnya lebih dalam. Lebih dalam. Hingga tangannya menggapai sela-sela paha, di mana semua kenikmatan diekstrak dalam testis dan keluar melalui penis. Yuri membuka mata. Ia melhat dada dan kemaluan Alissa yang bersinar. Alissa membungkuk, memperlihatkan kedua payudaranya yang menggelantung. Yuri merengkuh tubuh itu dan membaliknya. Persis seperti yang ia lihat dalam rekaman. Tangannya menggenggam pinggang ramping Alissa dengan kuat, sambil sesekali mampir pada kedua payudaranya. Alissa mengerang dalam. Yuri mengerang lebih dalam, paling dalam.

Erangan Yuri yang begitu dalam tak lagi terbendung hingga memuncratkan pedih dan kegetiran yang selama ini dikumpulkannya.

Di mana kau?
Jangan macam-macam!
Katakan apa maumu?
Dengan jari-jari gemetar, Alissa akhirnya memberanikan diri membalas pesan Yuri. Ia berharap tak ada hal buruk yang akan menghampiri hidupnya. Ia punya segalanya saat ini, ia panutan bagi pengikutnya. Di usia belum genap dua puluh tiga ia sudah punya semua yang diimpikan gadis seusia bahkan di atas usianya: cantik, kaya, terkenal, dan punya pacar anak konglomerat. Sebentar lagi ia akan menyelesaikan pendidikan strata satunya, dan segera melangsungkan pernikahan. Apa lagi yang kurang? Nyaris tak ada. Panutan semua insan dunia maya… Tapi satu kali klik saja yang dilakukan Yuri, poof! Hilang semuanya: nama baiknya, karirnya, mungkin juga tak akan lulus dalam waktu dekat, dan melangsungkan pernikahan, atau malah berakhir dalam tahanan karena plagiasi karya ilmiah? Tak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi, kecuali Yuri.

Datang saja ke mari, kelasmu.
Aku tunggu di sini.
-Yuri

Alissa bergegas menuju garasi rumahnya. Suara alarm beserta mesin mobilnya bergaung di garasi dan dengan segera meninggalkan ruangan itu.

Sepanjang jalan ia hanya memikirkan bagaimana bisa keluar dari ancaman seseorang yang telah menyelamatkan hidupnya di kampus beberapa tahun belakangan. Musuh paling besar selalu orang-orang terdekat, pikirnya. Dengan sekejap, Yuri bisa melumat seluruh hidup dan cita-citanya. Ia juga  berfikir, mungkin terlalu keji perlakuannya selama ini pada Yuri, tapi toh, ia sudah menawarkan banyak kemudahan di hidup Yuri, untuk membayarkan semua tugas kuliah, yang mengerjakannya, bagi Alissa, hanya membuang-buang waktu saja.

Sepanjang jalan ke kampusnya nyaris tak ada orang, toko-toko tutup, jalanan sepi dari kendaraan. Sampai di kampus, tak ada satupun penjaga keamanan terlihat, tapi gerbang terbuka. Bulu kuduk Alissa terbangun, ia merasa ngeri, membayangkan bagaimana Yuri ternyata telah mempersiapkan ini sejak lama, dan menunggu hingga waktunya tiba: semua orang berlibur dan hanya mereka di gedung dua puluh lantai itu.

Alissa turun dari mobilnya, yang ia parkirkan tepat di depan gedung, tempat yang biasanya hanya digunakan  oleh para pejabat kampus. Tak apa pikirnya, tak ada orang bekerja di musim liburan. Ia berjalan ke arah pintu masuk dan menemukan pintu yang juga terbuka. Sekali lagi bulu kuduknya terbangun.

Ngeri. Perasaan yang muncul pertama kali ia menginjakkan kaki ke dalam gedung. Tak ada orang sama sekali, dan listrik padam. Untung hari itu masih cukup siang, matahari masih bisa masuk melalui jendela-jendela kaca besar di arah barat dan timur gedung. Karena tak ada listrik, Alissa tak bisa menggunakan lift dan langsung menuju anak tangga di samping jendela. Lima lantai adalah perjalanan yang cukup melelahkan bagi kebanyakan orang, tapi untungnya, ia terbiasa olahraga lima kali seminggu, membuat kakinya lebih kuat dari orang-orang kebanyakan.

Sampai pada lantai keempat, suara yang ia kenal tiba-tiba berdengung mengitari anak tangga.

“Alissa! Akhirnya kau datang juga!”
Yuri menyambutnya

“di mana kau?”
Alissa yang terkejut dan hampir terpeleset segera menjawab sambutan itu.

“tunggu aku di ruang kelasmu!”
kembali, suara itu berputar-putar dan terpantul-pantul pada ratusan anak tangga yang melingkari bangunan dua puluh lantai itu.

“baik!”
dengan sedikit menghela nafas panjang karena kaget dan ketakutan, Alissa kembali memacu kakinya untuk sampai ke ruang kelasnya. Ruang tempat ia duduk empat tahun terakhir. Meskipun banyak bolos, Alissa terbantu dengan nilai-nilai tugasnya yang cukup baik. Sudah jadi rahasia umum di kalangan mahasiswa tingkatnya, seorang putri cantik tak perlu berusaha keras, karena seorang pelayan buruk rupa yang lebih pintar darinya, setia mengabdikan pikiran dan kerja kerasnya.

Alissa langsung masuk ke kelasnya. Satu-satunya kelas dengan pintu terbuka menganga, tak ada kelas lain dengan pintu terbuka. Semua terkunci. Meskipun kengerian sempat terlintas saat mengetahui seluruh kampus dalam keadaan kosong, sebetulnya, semua ketakutan Alissa hanya mengenai karir dan masa depannya… bukan, bukan kenekatan Yuri. Alissa berusaha menghubungi asistennya dan memintanya menyiapkan sejumlah uang untuk Yuri, meskipun hingga kini tak ada balasannya. Bagi Alissa, Yuri hanyalah manusia pada umumnya yang mengaguminya.

Tapi Yuri memang berbeda. Tak pernah ia sedikitpun mengambil uang imbalan yang diberikan Alissa atas tugas-tugas akademis yang dikerjakannya. Ia hanya menerima imbalan berupa barang dari Alissa; lima pasang sepatu, dua ponsel harga selangit, dan lebih dari selusin kaus, ia terima dengan tangan terbuka. Semua barang itu disimpannya, sesekali ia menggunakannya jika bertemu Alissa. Sering juga, ia membaui barang-barang itu untuk mengenang dan mengobati rasa kesepian cintanya yang tak pernah disambut. Kata Yuri, menerima pemberian barang dari Alissa adalah suatu kebahagiaan dan lebih manusiawi, ketimbang menerima uang, sebagai bentuk terimakasih bagi kawan yang telah membantu mengerjakan tugas.

Alissa tak menemukan siapa-siapa. Berfikir telah dipermainkan, ia berteriak sekencang-kencangnya,
“Yuri, di mana kau? Aku sudah menuruti kemauanmu, kini datanglah!”,
tak ada jawaban.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki. Seorang lelaki dengan hoodie hitam dan celana jeans panjang muncul dan menutup pintu.
“Hai! Akhirnya kau datang juga!”
Yuri menyeringai bahagia.

Alissa mundur dan hampir menabrak kursi di belakangnya,
“apa yang kau mau?”

“kau!”
jawab Yuri singkat.

“kau tahu kau tak bisa mendapatkan itu…”
Alissa berhenti sebentar, Yuri mendengarkan dengan sebelah alis terangkat dan senyum dinginnya,
“tapi sebagai gantinya, aku telah menyiapkan…”

“Uang?”
Yuri membanting meja dosen dan melemparkan kursi ke arah Alissa.
Alissa berhasil menghindar.

“dengar… dengar dulu, aku tak bermaksud mengecilkan semua bantuan yang telah kau berikan padaku… kau tahu kan… kau tahu aku tak bisa lagi dengan siapapun…”,
Alissa berusaha mengucapkannya dengan cepat, merasa gemetar dan berharap tak perlu lagi merespon barang-barang yang dilempar.

“DIAM!”
Yuri membentak.

Alissa hanya berdiri terpaku melihat Yuri yang melotot. Tiba-tiba Yuri tertawa dengan kencang, lalu menangis, lalu tertawa lagi, lalu menangis… terjadi berulang-ulang. Kemudian ia berjongkok dengan tangan yang merangkul kedua betisnya. Ia rebah dengan keadaan itu. Terus menangis dan berakhir tantrum seperti seorang anak yang ditinggal ibunya bekerja.

Alissa mendekat dan berjongkok di samping tubuh Yuri yang meringkuk dengan baju yang basah oleh air mata.

“maaf…”
Alissa berbisik di telinga Yuri.

Tiba-tiba Yuri bangun dan mendorong tubuh Alissa.

“jangan dekat-dekat!”

Alissa terjatuh kemudian kembali berdiri.

“jangan buang-buang waktuku! Katakan apa yang kau inginkan?”
Alissa yang berusaha empati dengannya, kini kehilangan kesabaran. Ia mengangkat dan menunjukkan ponselnya.

“lihat! Aku sudah mengirimmu uang. Ini lebih dari cukup bukan? Sekarang berjanjilah untuk tidak menyebarkan rekamanku dan menjauhlah dari para pengajar. Aku harus lulus cepat. Aku sudah mempersiapkan pernikahanku…”,

Alissa berhenti sejenak,

“aku percaya kau. Sejak lama… aku tahu kau tak akan melakukan itu”.

Alissa memasukkan kembali telepon genggamnya dan berjalan ke arah pintu. Ia berbalik dan berkata pada Yuri,

“sekarang, bukalah! Aku anggap ini sudah selesai. Kalau uangnya kurang kau…”
dalam sekelebat waktu Yuri berlari dan mencengkeram dagu Alissa lalu melemparkannya ke pojok ruangan. Ia mengikat kedua tangan Alissa namun membiarkan mulutnya tetap terbuka. Alissa melawan dan mengerang. Tapi kepanikannya membuatnya tak berhasil menghindar dari perlakuan Yuri.

Yuri membuka celana dalamnya. Menenggelamkan kepalanya ke dalamnya. Alissa hanya bisa menangis. Tubuhnya kaku, tak bisa digerakkan.

“kenapa kau diam saja Alissa? Aku hanya ingin kau yang terakhir kali! Mengeranglah! Mengeranglah sekali lagi! Seperti yang kau lakukan dalam rekaman itu!”.

“bajingan kau Yuri! Cuih!”
Alissa meludah tepat di wajahnya.

Yuri tertawa. Tangannya terkepal dan kepalanya mendongak ke langit-langit. Kemudian ia menangis, menangis sangat dalam hingga suaranya parau dan tak terdengar lagi. Perlahan, ia mengambil sebuah benda hitam dari sakunya. Ia menggenggamnya dan menodongkannya di kepala Alissa: sebuah senapan laras pendek.

“mengeranglah Alissa! Mengeranglah!”
tangan Yuri berpindah. Tangan kanan memegang pistol, dan tangan kiri meraba paha Alissa. Ia terus menjalari tubuh Alissa: paha, pinggul, hingga buah dada. Lagi-lagi, tubuh Alissa kaku. Ia hanya bisa menangis.

“lebih baik kau bunuh saja aku! Yuri tolong, jangan lakukan ini! Lebih baik kau bunuh saja aku!”
Alissa berteriak sekuat tenaga.

“oh tidak Alissa! Aku adalah satu-satunya orang yang akan mati di sini, bukan kau! Putri cantik sepertimu layak hidup seribu tahun lagi, tapi pelayan buruk rupa sepertiku tak boleh ada lagi di dunia ini…”
Yuri mengambil nafas dan berdiri.

“kau tahu, saat pertama aku melihatmu di acara inisiasi. Akulah satu-satunya yang melihatmu minum saat yang lain bahkan tak berani menyentuh botol airnya. Tapi melihatmu tersenyum penuh takut, aku bungkam dan membiarkanmu melakukannya. Siapa setan yang tega melihat malaikat ditindas oleh seniornya? Setelah inisiasi, aku menawarkan diri membantumu mengerjakan tugas-tugas kuliah yang kau tinggalkan karena kesibukan pekerjaanmu. Apa yang kuminta? Tak ada! Bahkan ketika aku menyatakan perasaanku dan taka da jawaban darimu, apa aku meminta kau untuk jadi kekasihku? Tidak! Aku tidak meminta apa-apa, aku hanya ingin kita berteman baik…”

sambil tersengal dan menyeka air matanya, Alissa memotong,

“jika kau tak menginginkan apapun dariku, lalu mengapa kau melakukan ini?”

Yuri berjongkok dan kembali memeluk betisnya. Ia kembali tantrum… di tengah isaknya yang panjang… ia kembali membuka mulutnya,

“itulah kesalahan! Kesalahanku! Sekarang, melihat gambar-gambarmu dengan anak konglomerat tengil itu, aku marah! Mengapa aku tak meminta bahkan memaksamu dari dulu! Banyak kesempatan yang bisa kugarap, kalau aku mau! Tapi sekarang sudah terlambat…”.

Yuri melemparkan tas yang sedari tadi berdiam di pojok ruangan.

“tas ini berisi laptopmu yang biasa kugunakan untuk membantu tugas-tugas kuliahmu. Aku tak pernah mengambil data apapun dari situ. Hidupmu aman. Kau akan tetap jadi manusia seperti sediakala. Tak akan ada yang berubah setelah ini… kini lihatlah pertunjukan ini… pertunjukan yang tak akan pernah bisa diulang untuk kedua kali!”

Yuri meletakkan senapan laras pendek ke dagunya. Kepalanya menghadap langit-langit. Ia memejamkan mata. Telunjuknya menarik pelatuk. Dalam dentuman yang singkat dan dalam, tubuhnya jatuh. Pada eloknya pergantian siang dan malam, tubuhnya jatuh. Jatuh tanpa jaring pengaman.

Alissa kehilangan kata-kata. Ia terpejam sebentar. Ketika sadar, semuanya gelap. Dalam kegelapan total, ia sempat berpikir bahwa dirinya juga telah mati. Tapi tiba-tiba ponselnya berkedip.

Sadar masih hidup, Alissa terus mencoba menghubungi Rian, tunangannya.



21.00
“di mana aku?”
perempuan itu membuka mata dan menyaksikan selang telah terpasang di tangan kirinya. Di sampingnya duduk seorang yang sangat ia kenal.

“ini aku, Rian, Alissa! Kau pingsan. Tapi aku telah menghubungi polisi, dan kini kau di rumah sakit.




Hari Berikutnya

“sebetulnya ada satu rekaman lagi yang belum kau tonton… cctv lantai 4, sebelum kau pingsan dan akhirnya Mas Rian datang… bisa kita mulai?”

lelaki buncit berbaju abu-abu kembali membuka percakapan. Kulitnya yang coklat terbakar matahari dan rambut cepaknya, kontras dengan cara bicaranya yang sopan dan lembut. Mungkin berbeda perlakuannya jika dihadapkan dengan maling ayam atau pencuri spion mobil, pikir Alissa.

“boleh Pak…”
Kata Alissa tanpa pikir panjang.

Lelaki itu membuka komputer tangannya kembali. Mata Alissa melotot menyaksikan adegan itu, kedua alisnya hampir bersatu, dan jantungnya memompa darah dengan lebih deras. Itu tak seperti yang ada di ingatannya.

Gambar inframerah di laptop itu menunjukkan Alissa membuka kedua tangan, dan melingkarkannya sendirian. Detik berikutnya ia terlihat berbicara sendirian, menggenggam sesuatu lalu jatuh tersungkur. Kemudian, ia mendongakkan kepalanya dan membuka kedua pangkal pahanya. Celana dalamnya melorot seperti ada yang menariknya. Beberapa menit kemudian, Rian datang ditemani beberapa orang polisi dan menyelamatkannya.


Alissa terguncang. Matanya kembali mengeluarkan air dengan derasnya.

“kami kira… kau telah diperkosa. Tapi visum menunjukkan tak ada tanda-tanda kekerasan seksual di tubuhmu…”.
Lelaki itu kembali membuka mulutnya.




Tapi Alissa tetap menangis. Dengan sisa-sisa tenaga ia berteriak, mengeluarkan kepedihan yang dalam waktu singkat telah tertancap dalam-dalam.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar