Smaradahana
Tersebutlah Dewa Śiwa
yang sedang bersemadhi di gunug Meru,
jauh dari khayangan, tempat
tinggalnya dan para Dewa. Ia memfokuskan seluruh panca inderanya melakukan tapa-brata-nya. Meski pun ia adalah dewa
tertinggi, Śiwa tidak mempedulikan segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan
tapanya. Salah satu yang diabaikan Śiwa
adalah Uma, permaisurinya yang jelita dan masih perawan.
Pada saat itu
Nilarudraka yang berasal dari Senapura beserta pasukannya, para raksasa, ingin
menghancurkan khayangan dan seluruh para Dewa. Seluruh Dewa di khayangan ketakutan karena tidak
memiliki kekuatan untuk melawannya. Mereka tidak dapat melawan Nilarudraka
karena sebelumnya Dewa Śiwa telah memberi anugerah kepada Nilarudraka agar
tidak terkalahkan oleh siapa pun kecuali Dewa Śiwa sendiri. Para Dewa pun
melakukan diskusi dan kemudian mengatur strategi. Sebagai hasilnya, Dewa Indra,
Dewa Whraspati, Dewa Wiśnu dan Dewa Brahma bersepakat untuk memanggil Śiwa
kembali ke khayangan untuk menghadapi Nilarudraka.
Śiwa dikenal sebagai
Dewa tertinggi yang ditakuti seluruh buana
karena kekuatannya yang dapat menghancurkan apa saja dalam sekejap mata. Para
Dewa akhirnya yang telah mengatur strategi harus berhati-hati dalam membawa
Śiwa kembali ke khayangan tanpa
membuatnya marah karena harus meninggalkan tapanya. Ditetapkanlah Dewa Kama
sebagai Dewa asmara untuk datang menghadap Śiwa dan menancapkan panah
asmaranya.
Para Dewa berangkat ke
kediaman Kama. Mereka disambut dengan berbagai kenikmatan yang disajikan Kama.
Setelah mendengar penjelasan para Dewa, Kama masih merasa ragu, namun dewa
Wrhaspati berjanji untuk mendatangkan bantuan untuknya. Janji seorang Brahmin
sama sekali tidak boleh disangkakan, akhirnya, Meski pun dengan berat hati,
karena Dewi Ratih tidak rela suaminya dijadikan umpan para Dewa, berangkat pula
Dewa Kama diiringi oleh para Dewa. Hari baik itu adalah permulaan bulan ke empat.
Dewi Ratih, istri Dewa
Kama, telah merasakan firasat buruk mengenai kepergian suaminya guna
melancarkan niat suci para Dewa. Namun Kama berhasil menghiburnya dengan
bercerita tentang Surga di malam bulan purnama. Ratih dengan bersedih hati
akhirnya mau meluluh dan mengizinkan suaminya diumpankan kepada Kama.
Perjalanan ditempuh,
para rombongan menyaksikan keindahan alam yang berupa senjata, kereta, dan sais
yang menariknya. Sampailah Dewa Kama ke tempat Dewa Śiwa sedang tapa-brata, di bawah naungan pohon Darsana, di atas gunung Meru. Seluruh
Dewa yang mengiringinya hanya melihat dari kejauhan, termasuk Indra yang
merupakan Dewa perang. Para Dewa hanya tertegun melihat Śiwa yang sedang
berkonsentrasi tinggi dalam tapa-brata-nya. Hanya Kama yang berani mendekati
Śiwa, meski terdapat ketakutan pula dalam hatinya.
Terlihat sepasang
makhluk penjaga Śiwa, Mahakala dan Nandiśwara, mencoba menakut-nakuti dengan
melepaskan segala daya kekuatan alam. Mereka lalu ditenangkan oleh para Rsi
yang kemudian undur diri. Dewa Kama sesaat setelah sampai ke tempat tujuannya
langsung menghaturkan sembah bhakti kepada Śiwa, sang Dewa penghancur yang
paling berkuasa. Sesudah menghaturkan salamnya dan melakukans samadhi singkat, Dewa Kama langsung
melemparkan segala senjata ke arah Śiwa namun semua yang terlempar berubah
menjadi perhiasan Dewa, dan Śiwa tetap duduk tidak bergerak, malah sekarang
mematung dengan berbagai macam perhiasan. Seluruh amunisinya tidak mempan
melawan kuatnya tapa Śiwa. Dewa Kama tidak kehabisan akal, ia lalu melakukan samadhi singkat sekali lagi, kemudian
tampaklah musim-musim bergantian, musim tersebut dipimpin oleh musim semi. Kama
kemudian kembali melepaskan panahnya, kali ini yang lebih panas karena terbuat
dari bunga-bunga yang dapat disentuh oleh seluruh panca indera. Panah yang
terakhir ini mengenai hati dengan tepat, Śiwa pun terbuai dalam angan-angan Uma
serta seakan-akan melihat Uma berada di pangkuannya. Namun demikian, ini
terjadi sesaat setelah Śiwa menoleh ke arah Kama yang telah melepaskan panahnya.
Śiwa yang marah kemudian merubah dirinya dalam wujud Tiwikrama, yaitu Śiwa
dalam sosok yang menyeramkan. Dewa Kama berteriak ketakutan meminta pertolongan
para Dewa dan Rsi yang tadi mengiringinya, namun sia-sia karena mereka telah
lari tunggang langgang menghindari amukan Śiwa. Tinggallah Dewa Kama bersama
Śiwa yang menakutkan, membakar seluruh badannya hingga mejadi abu dengan
matanya yang menyala-nyala.
Dewa Kama telah tamat
riwayatnya, Ia menghaturkan selamat tinggal kepada sang Ratih, dan seketika
melompat keluar dari tubuhnya. Upacara pelayatan dilangsungkan pada musim semi,
bersama-sama dengan segala sesuatu yang elok di dalam hutan. Para Dewa dan Rsi
melakukan pemujaan kepada Śiwa dan menghadirkannya dalam bentuk yang indah
dalam pikiran mereka. Dalam bayangannya, Śiwa diubah dalam bentuk Dewa pemurah
yang duduk di atas Padma yang bermahkota delapan. Dengan begitu, Śiwa dipuja
dalam sosok Dewa yang sebagai sesuatu tampak dalam setiap sesuatu, Dewa yang dipuja para pendamba pelepasan akhir
hidup, dan pencipta segala sesuatu di dunia. Dewa Indra yang memiliki
tanggungjawab mengembalikan Kama, sebelumnya ingin melarikan diri namun ditegur
–karena sikapnya yang pengecut- oleh Dewa Wrhaspati dan bersama-sama dengannya turut
memohon kepada Śiwa untuk menghidupkan kembali Dewa Kama. Pada saat itu, Śiwa
berhasil dibujuk untuk menanggalkan bentuk ugra-nya,
namun kemarahan di dadanya masih menyala. Akibatnya, saat permintaan untuk
menghidupkan kembali Kama, Śiwa mendengarkannya dengan bersungut-sungut.
Setelah dijelaskan oleh Dewa Wrhaspati bahwa Kama hanya diutus untuk menebar
cinta di hati Śiwa terhadap Uma guna melawan Nilarudraka yang telah diberi
anugerah kekuatan yang tak tertandingi, serta dijelaskan pula bahwa hidup tiada
berwarna tanpa cinta, Śiwa pun mengabulkannya dengan menghidupkan Kama dalam
bentuk yang tersembunyi dan lepas dari segala kebendaan (suksma). Sejak saat itu pula para rohaiawan diperkenankan untuk
menggunakan hiasan bunga di telinganya
untuk memperingati Śiwa yang pernah terselewengkan hatinya oleh Kama, padahal
Ia sedang bermeditasi di dunia wujud.
Ratih
tidak menerima keputusan Śiwa, karena baginya, bila tak bertubuh maka tidak
hidup. Bersemayam di dalam hati manusia atau Dewa dan tidak memiliki tubuh,
berarti bukan kehidupan yang sebenarnya. Ratih begitu marah kepada para Dewa
yang telah mengingkari janjinya untuk menjaga Kama dan membiarkannya mati di
tangan Śiwa. Ratih yang telah berputus asa, kemudian merencanakan untuk
melakukan upacara Śakti, yaitu
upacara pembakaran diri untuk membuktikan kesetiannya terhadap pasangan. Dewa
Indra yang tetap berdiam diri menyaksikan abu Kama sesaat setelah keputusan
diambil, dipesankan oleh Dewa Kama untuk mencegah tindakan Ratih, namun Ratih
tetap bersikeras untuk melakukannya, ia akhirnya tetap memegang teguh niatnya untuk
melaksanakan upacara śakti. Ratih yang tertimpa kemalangan cinta yang begitu
hebat menjadi murung setiap saat. Diceritakan bahwa setiap kali ia ingin
membersihkan badan dan fikiran melalui mandi, air yang menyentuh kulitnya
berubah menjadi api yang berkobar melahap sukmanya. Ratih yang malang tak dapat
tidur, saat ia dapat tertidur, ia terkadang bangun oleh ratapan dan tangisannya
yang panjang. Meski pun para Dewa berjanji untuk menghidupkan kembali Kama
dalam bentuk seutuhnya, namun Ratih tetap merasa sedih, tetapi kemudian ia
dapat menerima nasibnya dan tetap berniat mengikuti suaminya ke alam baka.
Nanda dan Sunanda, dua
orang pelayan Ratih yang setia mengiringi kepergian tuannya ke pegunungan untuk
melakukan niatnya, menyusul Kama ke alam baka. Alam pegunungan yang indah
seolah-olah membangkitkan api pada sisa abu dan tulang Kama yang terbakar dalam
gua tempat Śiwa tapa-brata, yang kemudian
kembali berkobar dan sekan-akan melambaikan tangan mengajak Ratih masuk ke dalamnya. Ratih yang tergoda mendekatinya kemudian
menyucikan dirinya dengan melakukan yoga dan
ikut hangus lenyap di dalamnya. Meski Kama dan Ratih telah berada di alam yang
sama, namun karena mereka tidak sebadan, mereka tetap tidak dapat bersatu. Semenjak
itu Kama bersemayam di hati Śiwa dan Ratih berada di hati Uma.
Sejak tertancapnya hati
Śiwa oleh panah asmara Kama, timbullah rasa rindu yang begitu besar terhadap
Uma. Śiwa pun meninggalkan tapa brata-nya
sebagai wiku dengan memilih menemui Uma dan memulai episode percintaan mereka.
Setelah sampai di kediaman mereka, entah mengapa Śiwa yang ada Kama dalam
dadanya, melihat Uma sudah bukan lagi seorang anak kecil. Setelah beberapa
waktu kepulangan Śiwa ke dalam pelukan sang permaisuri, Uma pun mengandung
seorang anak. Atas prakarsa yang telah disepakati para Dewa, akhirnya dibawalah
seekor gajah wahana Dewa Indra ke tempat Śiwa dan Uma berada. Uma yang merasa
begitu ketakutan melihat gajah, sontak bersembunyi di balik Śiwa. Beberapa
waktu berlalu Uma akhirnya melahirkan seorang anak yang dinantikan oleh para
Dewa sebagai kelahiran juru selamat di Khayangan.
Anak yang lahir dari Rahim Uma ternyata memiliki kesaktian yang dianugerahkan
oleh sang ayah, Śiwa, uniknya anak ini berkepala gajah dan diberi nama Sang
Hyang Gana. Sang Hyang Gana inilah yang nantinya akan melawan Nilarudraka dan
pasukan raksasanya.
Sang Nilarudraka yang
diberitahu oleh matanya bahwa anak Uma telah lahir, akhirnya menyerang surga
dengan balatentaranya yang besar. Saat itu para Dewa yang persiapannya belum
selesai lari tunggang-langgang meminta bantuan Śiwa beserta Sang Hyang Gana,
sang juru selamat surga. Pada waktu itu anak Śiwa, belum tumbuh begitu besar
sehingga diperlukan pembacaan berbagai mantra dan yoga oleh para Dewa dan Rsi untuk mempercepat pertumbuhannya. Setelah
pertumbuhannya mengalami kemajuan yang pesat, Sang Hyang Gana memimpin pasukan
Surga dengan gagah berani. Ia dianugerahkan berbagai macam senjata dan kekuatan
sehingga dapat menyerang musuh-musuhnya yang amat membahayakan eksistensi Surga
khayangan itu. Sang Hyang Gana dengan
kapak (kutara) dalam genggamannya,
satu persatu mepotong tangan dan kaki serta menumbangkan musuh para Dewa yang
banyak jumlahnya itu. Saat menghadapi Nilarudraka, Sang Hyang Gana terkena
senjata Raksasa yang justru dahulu kala dihadiahkan oleh ayahnya sendiri, yaitu
senjata bernama bajra yang telah mematahkan gading kirinya. Dengan amerta yang Ia punya, Sang Hyang Gana
menghidupkan kawan-kawannya yang telah tewas untuk membantunya kembali berjuang
dalam perang. Singkat cerita, surga Khayangan
pun memenangkan peperangan. Saat peperang usai, seluruh isi surga larut
dalam selebrasinya dan berteria-teriak mengelu-elukan Sang Hyang Gana dengan
sebutan Gananjaya. Akhirnya, setelah perjuangan yang panjang, seluruh isi surge
Khayangan dapat hidup dengan damai
dan tenang termasuk di dalamnya Śiwa, Uma, Sang Hyang Gana, dan saudara
kandungnya, Kumara.
Daftar Pustaka
Lestari, Nanny Sri.
2004. Kisah Cinta Smaradahana.
Jakarta: Laporan Penelitian
ditulis oleh dewi sinta, dkk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar