Ken Aṅrok dalam Naskah dan Prasasti
Dalam
menuliskan sejarah Indonesia kuna, sumber primer yang kita gunakan adalah
prasasti, kemudian naskah jika diperlukan sebagai sumber sekunder. Menurut Edi
sedyawati, dalam artikelnya yang berjudul “Analisis Naskah dan Prasasti”, naskah
adalah bidang-bidang yang memuat tulisan yang dapat digoreskan dimana saja,
sedangkan prasasti adalah suatu maklumat atau peraturan yang dikeluarkan oleh
raja yang berwenang. Penelitian naskah dan prasasti pada umumnya bersifat
kualitatif dengan bekal utamanya mengamati huruf-huruf dan ejaan.
Prasasti
yang dikeluarkan oleh raja-raja di masa silam tentunya tisak semuanya dapat
kita temukan keberadaannya di masa kini. Bahkan, prasasti yang kita temukan
b]pun belum tentu lengkap secara keseluruhan bagiannya. Peran naskah adalah
untuk mengisi celah yang tidak dapat ditemukan pada prasasti. iIni dikarenakan
sejatinya suatu naskah tidak berisi maklumat raja, dan sebagian besar merupakan
kisah fiksi. Namun demikian, suatu karya sastra tentunya memiliki unsur
intrinsic dan ekstrinsik. Latar belakang sosial budaya dalam unsur ekstrinsik
yang membangun suatu cerita inilah yang dapat kita gunakan sebagai data
prasasti guna penyusunan historigrafi Indonesia kuna.
Sastra
merupakan bagian dari kebudayaan. Sastra bukan hanya milik masyarakat namun
juga menjadi suatu yang penting, dan berlaku dalam jangka waktu yang lama.
Misalnya menjadi pedoman, sebagai bayangan pikiran dan membentuk norma, baik
untuk orang yang sezaman mau pun yang akan menyusul kelak. (Robson, 1987)
Tokoh
Ken Aṅrok memang krontrovesial. Berbagai ahli telah menelaahnya dalam berbagai
macam karangan yang bahasannya tidak jauh berbeda, mengenai tindak pemerkosaan
terhadap ibunya oleh dewa, kejahatannya selama masih muda, hingga pemberontakan
yang berujung pada wafatnya Tuṅgul Ametuṅ dan takluknya kerajaan sekitar kepada
kekuasaan Ken Aṅrok.
Dalam
prasasti Mariboṅ tahun 1186 śaka
diketahui Śrī Jaya Wiṣṇuwardhana dengan gelar swapitāmahāstawanābhinnāsrantalokapālaka, pada prasasti Balawi
tahun 1227 śaka menyebutkan Śrī Mahārāja Narārya Saṃramawijaya
dengan julukan rājasawaṃśamaṇiwṛndakostena,
dan masih terdapat beberapa prasasti di tanah Jawa yang menyinggung rājasa waṃśa atau wangsa Rajasa.
Prasasti lain yaitu prasasti Kuśmala menyebutkan rakryān demuṅ Saṅ Martabun Raṅga Sapu dengan julukan makamaṅgala rakakiṅ amūrwwabhūmi ¹
Selain
itu, Hasan Djafar dalam bukunya “Girīndrawarddhana dan Beberapa Masalah
Majapahit Akhir” menyebutkan bahwa pada akhir masa Majapahit terdapat Raja-raja
yang menggunakan gelar Girindrawardhana, seperti ratusan tahun sebelumnya.
Gelar-gelar
yang merujuk pada waṃśa tertentu itu,
digunakan oleh banyak Raja Jawa. Namun hingga kini belum ada yang dikeluarkan
oleh tokoh Śrī Rājasa atau Amūrwwabhūmi sendiri, sebagain pendiri Rājasa waṃśa.
Untuk
menopang data prasasti, sebagai data sekunder untuk historiografi, gelar Śrī
Rājasa dapat ditelusuri yang ternyata digunakan oleh Ken Aṅrok dan diabadikan
dalam berbagai naskah diantaranya Pararaton,
Nāgarakṛtagama, dan Kiduṅ Harṣawijaya.
Penelusuran
naskah, sebagai data bantu dalam menyusun historiografi mesti dilakukan guna
penyusunan sejarah yang terputus karena tidak ditemukkannya lagi data prasasti.
Karena itulah, para ahli menelusuri tokoh Śrī Rājasa atau Amūrwwabhūmi melalui
beberapa naskah sastra yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu Pararaton, Nāgarakṛtagama, dan Kiduṅ Harṣawijaya, bahkan ada satu lagi
naskah yang mungkin bisa deipertimbangkan yaitu Kiduṅ Arok namun mengingat belum ada referensi mengenai naskah
tersebut hal ini menjadi sulit dilakukan, terlebih lagi salah satu naskahnya
yang ditemukan diperkirakan ‘sangat baru’ karena diketahui menggunakan kertas
Eropa serta beraksara dan berbahasa Jawa Baru. ²
Ken Aṅrok
ialah penjelmaan kembali seorang yang mula-mula hidup tidak baik, tetapi karena
sanggup dijadikan kurban untuk dewa penjaga pintu ia kembali ke surga dengan Viṣṇu.
Ibunya adalah seorang petani dari desa Paṅkur yang diperkosa oleh dewa Bhramā.
Sang dewa Bhramā meramalkan bahwa anak yang dilahirkan kelak akan memerintah
pulau Jawa. Suami Ibu Ken Aṅrok pun meninggal lima hari setelah peristiwa itu
setelah akhirnya diceraikan sang istri. Begitulah kiranya yang diceritakan oleh
kitab Pararaton.
Pada
kitab Nāgarakṛtagama, diceritakan
bahwa Ken Aṅrok merupakan putra Śrī Girīndra yang lahir tidak dari kandungan.
Ia bertakhta di sebelah timur gunung Kawi pada tahun 1104 śaka, pada tahun 1144
śaka, ia berhasil mengalahkan raja kaḍintěn, Kṛtajaya. Dengan demikain
bersatulah kembali Jaṅgala
dan Kědiri. Pada tahun śaka 1149
(1227 M), dia berpulang ke
swargaloka, meninggalkan dunia,
didharmmakan di dua tempat, di Kagěněngan sebagai Siwa dan sebagai Buddha di
Usana.³
Pada saat Ken Aṅrok
beranjak dewasa, Pararaton
mengabadikan ulah dan kenakalannya yang luar biasa. Saat ia kecil, ia terbiasa
dibawa mencuri oleh Lěmboṅ, ayah angkat yang menurut Pararaton, menemukannya di kuburan, tempat Ken Éṇḍok membuangnya.
Saat beranjak dewasa, kenakalan yang dipupuknya sejak kecil membuat dia suka
melakukan onar di desanya, hobinya adalah bermain judi dan menghabiskan uang
orangtuanya di meja judi. Kenakalannya tersebut membuat ia harus diusir dari
desanya oleh kedua orangtuanya. Ken Aṅrok menjadi terlunta-lunta hingga
akhirnya ia diangkat anak oleh Baṅo Samparan, setelah ia mendengar suara dari
langit bahwa Ken Aṅrok dapat melunasi utangnya akibat kalah judi.⁴
Beranjak dewasa, Ken Aṅrok
sempat pergi ke tempat pendeta di Sageṅgeṅ. Ia belajar membaca, sastra, dan
menulis hingga candrasengkalan serta
astronomi. Menurut pararaton, Ken Aṅrok
mandirikan sebuah desa kecil bersama temannya Tuwan Tita. Ia kembali bebuat
onar dengan mencegat orang di jalan dan memperkosa wanita.⁵
Tuṅgul Amětuṅ sebagai
akuwu di Tumapěl merasa resah dengan ulah Ken Aṅrok. Oleh sebab itu, ia
mengirimkan pasukan untuk mengejar Ken Aṅrok. Namun dengan segala daya upaya
dan pertolongan dewa, Ken Aṅrok dapat menghindar dari kejaran pasukan Tuṅgul
Amětuṅ. Selama pelarian diri, Pararaton
mengisahkan bahwa Ken Aṅrok bersembunyi di rumah pendeta, orang asing keturunan
prajurit, serta di tempat kepala desa.⁶ Saat itulah datang seorang Brahmana
bernama Dahngyang Lohgawe yang sengaja datang ke Jambudwipa untuk mencari Ken Aṅrok.
Dahngyang Lohgawe mangangkat anak Ken Aṅrok, dan membuat Ken Aṅrok menjadi abdi
di Tumapěl.
Setelah mengabdi di
Tumapěl, Ken Aṅrok jatuh cinta kepa Ken Děděs, yang merupakan permaisuri sah Tuṅgul
Amětuṅ. Ia pun akhirnya membunuh Tuṅgul Amětuṅ dalam upaya merebut Ken Děděs
dan akhirnya menjadi Akuwu di
Tumapěl. Menurut pararaton, Ken Aṅrok
memesan keris kepada Mpu Gandring yang kemudian ‘pura-pura’ dihadiahkan kepada
Kěbo Ijo. Kěbo Ijo dengan bangga memperlihatkan keris itu kepada semua orang
yang ditemuinya. Lalu dengan cerdik Ken Aṅrok mencuri keris tersebut dan
digunakan untuk membunuh Tuṅgul Amětuṅ. Keris tersebut dibiarkan tetap menancap
pada tubuh Tuṅgul Amětuṅ sehingga Kebo
Ijo menjadi tersangka dan dihukum mati. Setelah lama menjadi akuwu, Ken Aṅrok kemudian ‘memperluas wilayahnya’ dengan
menyerang Daha dan kemudian mendirikan Siṃhasari.⁷
Dalam
Nāgarakṛtagama akhir kisah hidup Ken
Aṅrok hanya disebutkan bahwa ia berpulang ke Swargaloka tahun 1149 śaka
(1127 Masehi) dan didharmakan di Kagěněṅan dalam candi Śiwa, dan di Usāna
sebagai Buddha. Berbeda dengan Nāgarakṛtagama, Pararaton menyebutkan bahwa Ken
Aṅrok wafat pada 1169 śaka (1147
Masehi) dan hanya menyebutkan bahwa Ia didharmakan di Kagěněṅan. ⁸
TAFSIRAN PARA AHLI
Naskah sangat berperan
penting untuk menelusuri ‘siapakah’ Śrī Rājasa atau Amūrwwabhūmi,
ini dikarenakan sedikitnya keterangan yang dapat diperoleh dari prasasti. Para
ahli menggunakan naskah-naskah tersebut untuk menafsirkan tokoh Śrī Rājasa dan
kehidupannya di masa lalu guna menyelidiki sejarah.
Eksistensi
tokoh kontroversial Ken Aṅrok dibenarkan oleh beberapa ahli namun juga
disanggah oleh ahli-ahli lain. C.C. Berg beranggapan bahwa Śrī Rājasa adalah
tokoh fiktif yang dikarang sebagai bentuk legitimasi raja-raja setelahnya.
Namun Boechari, Brandes, J.L. Moens, Krom, dan sederet ahli lain bahwa Ken Aṅrok
memang benar-benar ada dan menjadi
pendiri wangsa Rājasa yang telah melahirkan raja-raja besar di tanah Jawa. ⁹
Boechari
menafsirkan bahwa Ken Aṅrok adalah anak
haram Tuṅgul Amětuṅ hasil ‘perkosaan’
dari selirnya yaitu Ken edok, yang kemudian sebagai anak seorang akuwu berusaha mendapatkan tahta
kerajaan dengan membunuh ayahnya sendiri dan memperistri permaisurinya yang
pada saat itu sedang hamil dan akan melahirkan putra mahkota Tumapěl. ¹⁰
Sedangkan
Mimi Savitri menafsirkan bahwa Ken Aṅrok adalah anak tidak sah dari Kěrtajaya yang
melakukan counter respond terhadap
kesewenang-wenangan ayahnya sendiri, dan harus membunuh ayahnya untuk
mendapatkan tahta kerajaan. ¹¹
Dalam
pararaton diperoleh genealogi bahwa
Ken Aṅrok memiliki anak bernama Mahisa Woṅa tělěṅ, Pañji Sapraṃ, Agnibhaya, dan
Dewi Rimbū dari istrinya yang utama, Ken Děděs. Dari istrinya yang lain, Ken
Umang, Ken Aṅrok memiliki empat anak juga yaitu Pañji Tohjaya,
Pañji Sudhatu, Pañji Wrěgola, dan Dewi Rambū. Di antara anak-anak Ken Aṅrok
tersebut, diketahui hanya Tohjaya yang menjadi raja di Tumapěl.¹²
Prasasti
Mūla Maluruṅ menyebutkan bahwa Narāryya Guṅiṅ Bhaya digantikan oleh kakaknya,
Pañji Tohjaya. Sedangkan menurut Pararaton, Tohjaya menggantikan Anūṣapati yang
dibunuhnya dalam acara sabung ayam, untuk membalas dendam kematian ayahnya, Ken
Aṅrok. Selain itu, dalam prasasti tersebut juga disebutkan Bhaṭāra Parameśwara
yang kedudukannya digantikan oleh Narāryya Guṅiṅ Bhaya. Hal ini menjadi
kebingungan sejarah, namun beberapa ahli menafsirkan dengan ‘alternatif’ bahwa
sesudah mangkatnya Ken Aṅrok Kerajaan Siṃhasari memiliki beberapa
daerah taklukan dengan raja-raja kecil, nah, yang menjadi raja-raja kecil itu
adalah anak-anak dari Ken Aṅrok. ¹³
KESIMPULAN
Naskah
sebagai salah satu data sejarah sangat perlu dipertimbangkan untuk penyusunan
sejarah dan menjelaskan keadaan yang abu-abu dan tidak tercantum dalam prasasti
menjadi jelas. Hal ini tentunya dengan berbagai pengecualian, mengingat karya
sastra dibuat untuk kepentingan tertentu yang terkadang bersifat fiksi.
Hal
tersebut di atas tercermin dari penelusuran para ahli mengenai tokoh Ken Aṅrok
yang dalam hal ini hanya tergambar melalui prasasti-prasasti yang dikeluarkan
oleh keturunannya, dan bukan oleh dirinya sendiri. Ken Aṅrok atau Śrī Rājasa
hingga kini belum ditemukan satu pun prasastinya. Untuk itulah, para
historiograf dan epigraf menggunakan bantuan naskah kuna dalam hal ini Pararaton, Nāgarakṛtagama, dan Kiduṅ Harṣawijaya.
Keterangan
yang didapat dari kitab-kitab tersebut dapat melengkapi celah sejarah yang
hilang. Meskipun demikian, perlu diperhatikan beberapa ketidaksesuaian yang
mungkin didapatkan. Pada tahun kematian Ken Aṅrok Nāgarakṛtagama menyebutkan 1149 śaka (1227 Masehi) dan didharmakan di Kagěněṅan dalam candi Śiwa,
dan di Usāna sebagai Buddha, berbeda dari Nāgarakṛtagama, Pararaton menyebutkan
bahwa Ken Aṅrok wafat pada 1169 śaka (1247
Masehi). Ketidaksesuaian ini mesti dicari jalan keluarnya, Boechari lebih
condong mempercayai Nāgarakṛtagama, karena hanya terpaut tidak lebih dari 250
tahun, sedangkan Pararaton usianya jauh lebih muda. ¹⁴
Ketidaksesuaian
juga dijumpai dalam mengenai siapa menggantikan siapa setelah Ken Aṅrok mati di
tangan anak tirinya, Anūṣapati. Dalam prasasti Mūla Maluruṅ, menyebutkan bahwa
Narāryya Guṅiṅ Bhaya digantikan oleh kakaknya, Pañji Tohjaya. Sedangkan menurut
Pararaton, Tohjaya menggantikan Anūṣapati yang dibunuhnya dalam acara sabung
ayam, untuk membalas dendam kematian ayahnya, Ken Aṅrok. Tentunya, sebagai
epigraf, para ahli lebih memercayai sumber primer, yaitu prasasti ketimbang
naskah. Namun demikian, prasasti yang ditemukan tidak lengkap, terdapat
beberapa lempeng yang hilang, sehingga para ahli akhirnya memilih jalan
alternatif dalam penafsirannya.
Dengan
adanya beberapa ketidaksesuaian, naskah memang tidak-seratus-persen dapat
digunakan dalam penyusunan historiografi Indonesia.
CATATAN
¹ bandingkan Marwati
Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II hal. 424, tahun terbit 2008 dengan
artikel Ken Aṅrok anak Tuṅgul Amětuṅ
karangan Prof. Boechari dalam Melacak
Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti hal. 266, tahun terbit 2012
² Marwati Djoened
Poesponegoro & Nugroho Notosutanto, Sejarah
Nasional II, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm. 424. Selain itu penulis
sendiri telah melihat langsung kondisi Kidung Arok atau Kidung Sěrat Arok yang
dimaksud
³ bandingkan Marwati
Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II hal. 423, tahun terbit 2008 dengan
artikel Ken Aṅrok anak Tuṅgul Amětuṅ
karangan Prof. Boechari dalam Melacak
Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti hal. 262-263, tahun terbit 2012
⁴ Mimi Savitri “Ken
Arok : Perusuh Pedesaan dengan Mobilitas Vertikal yang Tinggi” dalam Aksara dan Makna, Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2012, hal. 99
⁵ Mimi Savitri “Ken Arok : Perusuh Pedesaan dengan Mobilitas
Vertikal yang Tinggi” dalam Aksara dan
Makna, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012, hal. 99
⁶ Mimi Savitri “Ken Arok : Perusuh Pedesaan dengan Mobilitas
Vertikal yang Tinggi” dalam Aksara dan
Makna, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012, hal. 100
⁷ bandingkan Marwati
Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II hal. 422, tahun terbit 2008 dengan
artikel “Ken Aṅrok anak Tuṅgul Amětuṅ”
karangan Prof. Boechari dalam Melacak
Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti hal. 262, tahun terbit 2012 dan
artikel “Ken Arok : Perusuh Pedesaan dengan Mobilitas Vertikal yang Tinggi”
karangan Mimi Savitri dalam Aksara dan
Makna, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012, hal. 101
⁸ bandingkan Marwati
Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II hal. 423, tahun terbit 2008 dengan
artikel “Ken Aṅrok anak Tuṅgul Amětuṅ”
karangan Prof. Boechari dalam Melacak
Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti hal. 263, tahun terbit 2012
⁹ Boechari “Ken Aṅrok anak Tuṅgul Amětuṅ” dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat
Prasasti, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012, hal. 263
¹⁰ Boechari “Ken Aṅrok anak Tuṅgul Amětuṅ” dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat
Prasasti, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012, hal. 272
¹¹ Mimi Savitri “Ken
Arok : Perusuh Pedesaan dengan Mobilitas Vertikal yang Tinggi” dalam Aksara dan Makna, Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2012, hal. 104
¹² Marwati Djoened
Poesponegoro & Nugroho Notosutanto, Sejarah
Nasional II, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm. 427.
¹³ bandingkan Marwati
Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II hal. 429, tahun terbit 2008 dengan
artikel “Inscriptions of Mūla Maluruṅ” karangan Prof.
Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno
Indonesia Lewat Prasasti hal. 425-436, tahun terbit 2012
¹⁴ Boechari
“Ken Aṅrok anak Tuṅgul Amětuṅ” dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat
Prasasti, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012, hal. 261-272
DAFTAR PUSTAKA
Boechari.
2012. “Ken Aṅrok anak Tuṅgul Amětuṅ”
dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia
Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Boechari.
2012. “Inscriptions of Mūla Maluruṅ” dalam
Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat
Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Poesponegoro,
Marwati Djoened & Notosutanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka
Robson,
D. 1967. “Bagian Sastra-sastra Tradisional Indonesia” dalam Bahasa dan Sastra,
no. 6 th. IV. …………..
Savitri,
Mimi. 2012. “Ken Arok : Perusuh Pedesaan dengan Mobilitas Vertikal yang Tinggi”
dalam Aksara dan Makna. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Sedyawati,
Edi. “Analisis Naskah dan Prasasti”…………………………………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar