MENTARI dalam KABUT
Selasa, 01 Januari 2013
Seorang perempuan
cantik termenung di tepi jalan. Menatap pada kerumunan orang-orang yang
berjejal di depan sebuah gedung tinggi di salah satu universitas negeri ternama
di pinggiran Ibukota.
“mentari…”
Ia menutup
mulutnya kemudian dengan saputangan merah muda pemberian sahabatnya, Mentari.
Sesaat lalu ia berlari dan berteriak pada sekelompok orang berseragam oranye
yang sedang menurunkan sesosok mayat perempuan yang tersangkut di canopy gedung
E Fakultas Ilmu Komputer.
“pak, itu teman
saya! Mentari! Selamatkan dia pak, saya tau dia masih bisa selamat!”
Seorang petugas
keamanan gedung menghampirinya,
“sabar mbak, ini
sedang diproses oleh kepolisian, sebentar lagi jasadnya akan dibawa ke RSCM
untuk diotopsi…”
Belum sempat
petugas kemanan gedung melanjutkan omongannya, perempuan muda itu berlari
menerobos kerumunan dan menemukan jasad temannya telah diturunkan oleh petugas
pemadam kebakaran dan sedang dimasukkan ke dalam kantong jenazah oleh beberapa
polisi sembari mengambil sidik jarinya.
“Ya Tuhan
Mentari… bodoh! Kamu ini bodoh! Biar Elang menari di udara, tidak kamu juga!
Kamu bilang… kamu bilang kamu tak diajak dalam pesta! Kenapa ikut? Mentari,
tolol! Pak, dia teman saya pak! Teman satu kostan saya!”
Seorang polisi
tambun melihatnya dengan keheranan, yang lain memperhatikan perempuan muda ini
dengan mata yang memicing aneh, kemudian polisi tambun menegurnya
“ohiya mbak?
Benar begitu?”
“betul Pak, coba cek identitasnya, biasanya
dia menaruh dompet dalam ransel… lah dimana ranselnya pak?”
Perempuan muda
itu kemudian celingukan dan seketika berlari ke dalam gedung, mencari ransel
Mentari dalam kelasnya. Sesaat kemudian ia bergumam, “sial! Tidak ada!”. Ia
kembali berlari keluar gedung dan berhenti tepat di tempat sebelumnya, tempat
si polisi dan jenazah temannya seakan-akan memelototi dirinya sejak lama.
“tak ada
ranselnya di dalam…”
“ya sudah, anda
bisa ikut kami mengantar jenazah teman anda ini ke RSCM sembari kami mintai
keterangan!” kata polisi berbadan tambun tadi.
“baik pak…”
Semuanya gelap, hari ini Mentari dalam kabut. Perempuan muda itu,
Kinasih namanya. Dikirim Tuhan untuk menemaniku dalam kesepian yang tiada
ujungnya. Kin, aku masih mengejar Elang, aku tetap ingin kami bersama. Nanti,
kalau sudah waktunya, kita bisa berkumpul lagi. Jangan menangis, karena hanya
kau satu-satunya yang aku tinggalkan di dunia.
**
“Tidak! Dia tidak
mungkin dibunuh!”
Kinasih meraung
pada polisi yang sedari tadi menjejalinya pertanyaan seputar sahabatnya dan
kematian tragisnya. Belum juga kering airmatanya kehilangan teman sekamar
selama empat tahun, polisi tambun dengan perut bulat terus saja merongrong
minta dijawab.
“bagaimana tidak
mungkin?”
“baik, saya beri
tahu, tapi jangan disini! Kita keluar dari kamar mayat dan bicara di lobby
rumah sakit… atau mungkin suatu tempat yang… eh tidak membuat saya semakin
sedih dan sakit hati ditanyai ini itu di depan jenazah orang yang saya kasihi!
Jangan bodoh Pak Polisi yang Terhormat!”
“baik, maaf.
Tenangkan diri anda!”
Kinasih
memicingkan matanya dan membetulkan kerah baju kemeja putihnya yang
compang-camping dengan satu kancing hilang akibat berlari tak karuan. Keringat
yang membasahi seluruh tubuhnya membuat dalamannya semakin tampak jelas. Tapi
si cantik Kinasih tak mau peduli. Rambut panjang coklat keemasannya digerai,
kuncirannya hilang entah dimana. Ia juga belum mau peduli.
“sudah, ayo kita
pergi dari sini!”
Kinasih berbalik
memerintah Polisi, dengan nada yang sangat tinggi namun suara yang pelan.
Persis seperti yang Mentari ajarkan selama ini.
“disini?”
Tanya Polisi
jelek.
“iya, baik
begini. Mentari sengaja bunuh diri. Titik!”
“hanya itu?
Sekelompok orang yang melihat kejatuhan teman anda berkata bahwa beberapa hari
terakhir sebelum kematiannya, Mentari terlihat sering bertengkar dengan seorang
lelaki, kalau tidak salah… siapa itu ya namanya, eh yang tadi anda sebut-sebut
itu lho…?”
Ah Polisi bodoh, terlalu banyak makan uang tilang! begitu saja lupa.
“Elang?”
“iya Elang, dan
setelah kematian teman anda, dia bahkan tidak terlihat…”
“coba anda tanya
pada orang yang melihat kronologi kematian Mentari! Apa mereka melihat Elang
diatas gedung sana?”
“nah! Itu dia!
Sebetulnya kami tidak punya saksi bahwa dia yang telah membunuh temanmu. Orang
yang sebelumnya saya sebutkan sebagai saksi, hanya melihat saat Mentari sudah
terkapar.”
“Elang sudah mati
sejak kemarin! Dan hanya saya dan Mentari yang tahu keberadaannya. Mentari dan
Elang minta dikremasi bersama…”
“maksudnya?”
“ijinkan saya
pulang dan mengambil beberapa barang, anda akan tercengang!”
“baiklah, dengan
pengawalan kami!”
“lebih baik, saya
tak perlu mengeluarkan ongkos”.
**
Seorang perempuan
cantik berusia sekitar 21 tahun berjalan beriringan dengan lelaki tambun paruh
baya, legam, dan berseragam aparat keamanan merupakan pemandangan yang tidak
biasa di Bumi Indonesia ini. Mereka berjalan menyusuri gang-gang sempit yang
dipenuhi oleh pedagang yang menjajakan barang keperluan Mahasiswa kost-an.
Akhirnya mereka sampai di kost-an kenangan yang baru saja menelan dua korban:
Elang dan Mentari. Bayangan hitam terlihat jauh lebih panjang dari aslinya.
Pukul 17.40.
“ini kostanmu?”
Lelaki tambun
membuka percakapan
“yup, dan kau
tunggu disini. Aku ambilkan semua yang kau perlukan…”
“jangan!”
Polisi tambun
menarik tangan Kinasih dengan kasar.
“biar kami yang
mencari barang bukti! Lagipula ini kamar kost korban! Separuh inventaris disini
adalah milik Mentari, tanggung jawab kami!”
“baiklah, aku
hanya akan membantu!”
Kinasih
kelelahan, seluruh badannya berkeringat. Wajah cantik yang dibalut rambut
coklat keemasannya beringsut. Kusam. Pucat. Sepuluh menit, limabelas menit,
setengah jam…. Ah lama sekali kamar Kinasih diacak-acak polisi setan!
“sudah belum?”
Kinasih setengah
memaksa masuk ke dalam kamarnya dan menemukan dua orang polisi duduk di
kasurnya sembari membaca selembar kertas putih dengan tinta hitam dihiasi
bercak merah, dengan wajah tanpa ekspresi.
“kamu benar,
Kinasih!”
“bagaimana kalian
tahu namaku?”
“ini, punyamu!
Surat dari Mentari!”
**
Senin, 31
Desember 2012
Pukul 08.00
Bening pagi ini menari-nari dalam kabut. Embun berserakan di tepian
kehidupan cinta kita yang kian hari kian malang. Merintih pada bayangan
kebahagiaan. Tapi tiap pagi begini… tiap senja begini.
“Lang… kamu
percaya takdir?”
Sesosok bayangan
wanita dengan kemeja hitam dan celana jeans panjang memecahkan lamunan seorang
lelaki tampan di teras rumahnya.
“hah! Kamu ini
ngagetin aku aja! Iya aku percaya, tapi aku lebih percaya kalau takdir itu ya
bisa kita ubah-ubah sendiri. Soal aku menikah atau tidak menikah, mati kapan,
itu kan cuma soal sebab dan akibat. Kalau aku butuh ya aku nikah, kalau enggak
yo wis ndak usah. Kalau aku sembrono ya aku mati, kalau aku punya penyakit dan
tak diobati juga aku mati…”
“payah! Bosan aku
dengan jawabanmu! Halah kok itu mulu…”
“memang kamu
minta dijawab apa?”
“apaan kek yang beda!”
“eh, cuma aku
percaya satu takdir…”
“kalau samsara
segera berakhir di reinkarnasimu selanjutnya, tapi sejak tubuh-tubuhmu yang
terdahulu pasanganmu tidak berubah… pasanganmu ya aku!”
“nah, kau sudah
mulai hafal sepertinya! Atau mungkin kau sudah hafal dari dulu, semenjak
kehidupan kita sebelumnya?”
“halah gimana aku
nggak hafal tiap hari kamu ngomong
begitu! Kamu itu ya benar-benar pengecut sejati! Tiap kesempatan merayu tapi
tak pernah sekali pun memberi status!”
Pagi bening
berubah jadi senyap. Kabut beterbangan
diantara pohon yang memelototi kelakuan dua insan yang saling mencinta tanpa
ikatan. Remang-remang mata mereka yang menatap pada hampa dunia lalu pergi
jiwanya ke tempat yang memang seharusnya mereka berada. Kata-kata Mentari
benar-benar menghujam jiwa Elang.
“kenapa diam?”,
kata Mentari dengan penekanan hebat namun dengan suara yang sangat tipis dan
pelan.
“aku minta maaf…”
“hanya itu? Untuk
apa minta maaf? Kamu merasa punya dosa padaku? Cih!”
“ya, banyak hal
yang tidak kau tahu tentangku dan memang tak pernah kuceritakan pada orang lain!”
“memang! Halah
bohong, mungkin kau sering menceritakan kisah hidupmu pada wanita-wanitamu itu…
kau kan penyair! Benar, kan?”, Mentari bangun dari tempat duduknya dan sedikit
menundukkan kepala menghadap ke wajah Elang. Dia memicingkan matanya dan bicara
dengan bibir yang miring, sangat menantang. Arogansi dan kemarahan menguasai
keadaan. Pipinya hampir merah padam menahan gejolak yang sebentar lagi akan
meledak.
“tidak…”
“tak usah
dijawab!”
“dengar…” Elang
maju sedikit ke arah wajah Mentari, mencengkeram pergelangan tangan kirinya dan
menatapnya dengan sangat tajam tepat di bola mata almondnya yang indah.
“lepaskan!”
“tidak! Aku tahu
enam tahun lamanya kau mencintaiku, dan aku juga. Dan yang kau sebut
wanita-wanitaku itu, sebetulnya hanya ada satu. Namanya Mentari, bersinar
setiap hari. Tapi itu semua kusembunyikan dalam hati dan kau tidak tahu, bukan?
Baiklah aku minta maaf selama ini tak pernah memberimu kepastian. Tapi demi
Tuhan yang mengatur alam raya, aku betul-betul menginginkan kita bersama. Di
kehidupan yang lain!”
Mentari merosot
dari posisinya, kemudian ia terduduk tepat di depan Elang yang menatapnya kuat,
dengan tangan yang masih dicengkeram, ia mencengkeram balik.
“lalu apa? Aku
tidak mengerti jalan pikiranmu! Bagaimana mungkin kau menginginkanku di
kehidupan yang lain selama kita bisa bersama di kehidupan sekarang!”
“kau akan tahu
tidak lama lagi!” Elang bangkit dari kursinya, masuk ke dalam rumah.
“mau kemana kau?”
“kamar mandi!”
“kebiasaan, beser tiap keadaan!”
“tidak usah
meledek, nanti juga kau tahu aku sedang apa di dalam! Ihihihik!” Elang tertawa
cekikikan dari dalam kamar mandi. Sementara Mentari masuk ke dalam rumah dan
duduk di ruang tamu mewah dengan kursi-kursi besar bergaya klasik Eropa abad
sembilan belas. Ada jasad harimau menganga di rumah itu, dengan nuansa bentuk
lekukan bunga paduan coklat muda dan coklat tua di wallpaper dindingnya dan
pintu rumahnya yang berukuran tiga kali lipat dari mayoritas tubuh manusia
dewasa Indonesia, rumah keluarga Elang lebih terlihat seperti istana di negeri
dongeng dibandingkan rumah orang Indonesia kebanyakan. Orangtuanya mewarisi
segala macam harta benda kepadanya sejak ia menginjak sekolah menengah pertama.
Mereka meninggal pada suatu kecelakaan pesawat saat melakukan kunjungan di
salah satu perusahaan keluarga mereka di Kalimantan. Pesawat yang mereka sewa
terjatuh dari ketinggian tiga ribu kaki dari atas permukaan laut dan hancur
membentur hutan belantara. Mereka baru bisa ditemukan dan dievakuasi seminggu
kemudian. Elang masih menjadi anak yang beruntung, meski kehilangan kedua
orangtuanya ia masih dapat hidup dengan layak karena saham bapaknya di
perusahaan keluarga masih sanggup membiayai kehidupannya sembilan tahun
belakangan. Bahkan lebih dari cukup. Ia tinggal sendirian di rumahnya yang
sebesar istana, hanya pada hari-hari tertentu si Mpok datang untuk membersihkan
rumah atau sekedar mencuci pakaiannya. Tak ada sedikit pun aturan dalam hidup
Elang, ia hidup dengan caranya sendiri.
“Lang, aku laper,
aku masak di dapur ya! Mie instan yang kemarin masih ada kan?” Mentari
berteriak merasakan perutnya yang melintir karena belum sarapan. Ya, begitulah
mereka, cepat sekali mengembalikkan keadaan hingga normal, apa pun keadaan
sebelumnya, dengan seketika mereka dapat kendalikan. Satu hal: mereka tidak
pernah bertengkar dengan saling meninggalkan! Kenapa? Karena mereka terlalu
takut kehilangan satu sama lain, meski pun tak ada ikatan diantara keduanya.
“iya, masak
sendiri ya, buatkan untukku satu!”
“iyooo! Jangan
lama-lama di kamar mandi nanti kesambet setan!”
“setan kesambet
aku!”
“dasar iblis!
Hahaha” Mentari tertawa puas dari dapur sembari mencari-cari alat masaknya:
panci kecil gosong, mie instan dan dua
buah piring. Dan ternyata piring dan penggorengan masih teronggok kotor diatas
tempat pencucian. Dengan malas-malasan Mentari membersihkannya.
“apa katamu? Kamu
bini nya iblis!”
“haha bawel!”
mentari tidak tertawa, hanya mengernyitkan dahinya dan memicingkankan bibirnya
sebelah. Menyebalkan.
Elang telah
kembali dari kamar mandi dan menuju dapur. Rambut panjang sebahunya basah. Baju
yang tadinya kaus bertuliskan rolling stone selesai diganti dengan kemeja
kotak-kotak warna hijau tua. Tapi ia masih menggunakan celana boxer hitam
diatas lutut.
“haloo nyonya,
sudah selesai makanan untukku?” Elang menggoda Mentari yang telah duduk di meja
makan sedari tadi. Ia telah menyiapkan sarapan untuk keduanya dan merapikan
meja makan dengan membuang setumpuk kardus bekas makanan delivery.
“sudah tuan, lama
sekali kau di kamar mandi. Sudah mandi dan tampan rupanya begitu keluar...”
“emmm... wanginya
enak! Yah, cuma mie goreng ya nyonya?”
“iya! Memang kau
mau aku buatkan apa? Nasi uduk? Pizza? Pasta? Lasagna? Enak saja!”
“haha bercanda
Mentari sayang, ayo makan!” Elang menggeser kursi yang berada tepat di depan
Mentari secara garis lurus. Meja makan itu bentuknya persegi panjang berukuran
1x3 meter dengan delapan kursi di sisi panjangnya dan dua kursi di sisi
pendeknya, satu diduduki Mentari dan satu diduduki Elang. Mereka sekarang
saling menatap dari kejauhan.
“ambilkan aku
makanannya nyonya!”
“manja!” dengan
malas Mentari bangkit dari kursi dan menyendoki Elang mie goreng buatannya
menggunakan garpu.
“Segini cukup?”
“ya,
terimakasih... nyonya siapa yang melayani?”
“kau lah!” jawab
Mentari dengan galak.
“baik!” Elang
bangkit dari tempat duduknya dan mengambilkan makanan untuk Mentari. Ia
kemudian berjalan menuju tempat Mentari duduk, sambil menaruh makanan ia
menyentuh kening Mentari dan mengusap-usapnya. Mentari yang diam dibelai rasa
nyaman hanya mendongakkan kepala dan menatap pada bening dan luasnya mata Elang
selama beberapa waktu. Lama sekali dua manusia itu saling menenggelamkan mata
mereka pada penglihatan yang luas dan teduh dalam masing-masing tatapan orang
yang mereka cintai.
“ehm, makan yuk
tuan!” Kata Mentari memecah kesunyian. Dengan masih menatap mata dan menaruh
tangannya di kening Mentari, Elang menjawab.
“sialnya aku
sudah kenyang menelan manisnya cintamu barusan...” Elang menjawab dengan masih
memegangi dahi Mentari kemudian bangkit.
“baiklah, aku
makan sendiri ya penyair sinting!” Mentari berbalik ke arah makanannya dan
segera menyantapnya.
“sial!” Elang
mendorong kepala Mentari dengan manja.
“aw! Sakit tau!”
Mentari membalasnya dengan memajukan bibir bagian bawahnya seraya meledek
lelaki tampan di depannya dan kembali menikmati makanannya. Tiba-tiba tangan
lelaki dibelakangnya menjalar ke leher Mentari dan memeluk perempuan itu dari
belakang, dengan lembut dan cepat mencium keningnya. Ia membisikkan sesuatu ke
telinga Mentari.
“aku mencintaimu,
jadilah milikku di kehidupan selanjutnya”
Mentari diam,
diam dengan sangat lama. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan memeluk lelaki di
belakangnya dengan sangat lama. Mentari memegangi bagian belakang kepala lelaki
itu. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang basah di pundaknya. Dada Elang
bergerak naik turun tak beraturan. Kemudian Elang menatap mentari. Pipinya
basah. Ia menangis dengan hebat. Bibirnya membiru, seluruh tubuhnya gemetaran
dengan hebat.
“mentari,
dengarkan aku. Kau percaya pada reinkarnasi kan? Kau percaya itu kan? Dan kita
sudah sering membicarakan bahwa manusia seharusnya telah memiliki pemikiran
panjang pada segala tindakan yang diambilnya. Termasuk kematian. Kita bisa mati
kapan saja tergantung tujuannya bukan? Dan ikutlah bersamaku Mentari, kau akan
mati bukan karena putus asa, tapi untuk memperjuangkan cinta kita. Ikutlah
bersamaku, karena aku tahu kita akan bertemu di kehidupan yang lain... atau
kalau kita salah pun Tuhan akan mempertemukan kita entah dimana. Tuhan
memberkati cinta kita Mentari!”
“bajingan! Kenapa
kamu bicara begitu? Biar aku panggilkan ambulan...”
Air bening
menetes sedikit demi sedikit di pipi perempuan cantik itu. Dunia berputar-putar
mengelilingi kepalanya, dan ia mencoba bangkit dari kursi, namun Elang
menahannya.
“sudahlah cantik,
aku memang sudah waktunya menemui Tuhan. Aku minta maaf sekali lagi tak pernah
memberitahumu. Kau tahu mengapa aku lebih sering ke toilet dibanding manusia
lain?” sekarang suaranya semakin parau dan tersengal.
“tidak...”
semakin banyak air bening menggenangi mata almond Mentari.
“karena aku harus
menyuntikkan cairan obat dari dokter tiap aku mengalami kesakita hebat! Aku
mengalami kelainan jantung sejak lahir: cardiomyopathy. Sejak umur setahun aku
punya dua jantung, tapi setelah umurku sepuluh tahun, jantung tambahan yang
biasa menunjang tugas jantungku telah diangkat karena jantungku telah berfungsi
dengan normal. Tapi sebagai konsekuensinya aku masih harus minum lima belas
macam obat sejak itu hingga SMA. Setelah itu, dokter memasukkan segala macam
obat kedalam satu botol cairan yang harus aku suntikkan sehari delapan kali!
Tapi lama-lama aku bosan. Aku tahu obat-obatan itu hanya mencegah kematianku
datang lebih awal, dan aku memutuskan untuk berhenti. Aku hanya menyuntikkannya
tiap rasa sakit datang menjelajahi jantung dan seluruh tubuhku. Kini aku
meringankan tugas obat itu hanya menjadi pengurang rasa sakit, bukan untuk
memperpanjang umurku. Dan sekarang... aku rindu ayah ibuku, aku ingin bertemu
mereka... bersamamu”.
Elang mengatakan
semuanya hingga kepayahan. Dadanya naik turun tak karuan. Suaranya berubah
menjadi parau. Sedikit demi sedikit dari ujung kepala hingga kakinya menggigil
kedinginan. Sementara Mentari hanya mengalirkan air bening dari matanya
keseluruh tubuh hingga kuyup semuanya. Sesekali ia menggelengkan kepala dan
memeluk lelakinya dengan perlahan. Enam tahun rasanya seperti ribuan tahun
mereka bersama.
“aku ikut
engkau...”. Mentari buka mulut.
“kita bikin pesta
disana!”
**
“halo”
“halo Kin, bisa
ke rumah Elang sekarang?”. Suara Mentari terdengar sangat pelan dan
terputus-putus.
“hah? Ada apa
Mentari? Aku sedang mengerjakan bab terakhir yang harus direvisi. Kenapa kamu
kedengarannya terpukul begitu?”
“sudahlah jangan
banyak bertanya! Kemari kau sekarang!” Mentari dengan setengah membentak
Kinasih yang masih cuek mengerjakan skripsinya,
“lho kamu kenapa
sih? Yasudah aku kesana sekarang!”
“bagus. Cepat!”
“iya.”
Tut. Tut. Tut.
Telepon terputus dengan cepat. Dan Kinasih menggantungkan pertanyaan aneh: ini
kenapa?.
Mentari
merebahkan badan Elang di tempat tidur kamarnya. Elang masih sadar, tapi
matanya mulai berkunang-kunang dan sesak terus mengebom dadanya tak
berkesudahan.
“kamu istirahat
ya, aku ambilkan obatmu... dimana itu?”
“kamu kuat sekali
membopong aku. Tak usah repot-repot: itu baru saja habis tadi saat aku mandi,
dan sekarang memang sudah waktunya”. Elang bicara dengan tempo sangat lambat
dan suara yang tersengal hebat. Ia paksakan senyum mengembang di bibirnya.
Keringat tidak berhenti merembes dari semua pori-porinya.
“aku telfon
Kinasih barusan...”
“kenapa?”
“aku bingung,
kalut dan gusar. Tak tahu harus mengabari siapa kecuali dia.”
“baik, sebelum
Kinasih datang sepertinya aku sudah harus pergi.”
“aku bilang
jangan meracau seperti itu!”
“hahaha kemari!”
Elang memerintahkan Mentari yang sedari tadi berdiri cemas untuk duduk
dipinggir kasur.
“kenapa?”
“cium aku!”
“jangan bercanda
disaat seperti ini!”
“aku tidak
bercanda, cium pipiku! Cepat!”
Mentari kemudian
melakukan yang diperintahkan,
“sekarang yang
sebelah kanan!”
Mentari kembali
mencium pipi Elang, kini yang sebelah kanan.
“kening!”
“baiklah, nakal!”
Mentari
melakukannya, lagi.
“sekarang
bersandarlah di dadaku sejenak, keretaku sudah dekat!”
“hus! Aku akan
lakukan, tapi kamu jangan bicara begitu lagi!”
Mentari kemudian
menyandarkan kepalanya pada dada Elang. Rasanya hangat dan damai. Cinta melebur
menjadi partikel-partikel nano yang siap mengebom seluruh jagat raya.
“rasanya damai
begini...”
Elang bicara
sambil memejamkan mata.
“aku melihat
titik putih yang semakin mendekat. Kamu masih disini kan Mentari?”
“iya Lang, aku
disini...” air mata menggenangi mata almond sang Mentari.
“pesta sudah
dekat Mentari, kereta kencana sudah datang dan aku akan naik sebentar lagi.
Ikutlah bersamaku, akan kujemput esok kalau kau mau...”
“Lang, jangan
bicara begitu!”
“aku mencintaimu,
dan lagi-lagi kusampaikan... aku menginginkanmu di kehidupan yang lain!”
Kemudian senyum
tersungging di pipinya. Pada jasad tanpa nyawa.
Mentari pagi hari
masih menyandarkan kepalanya di dada Elang. Tapi sang burung terbang
meninggalkannya yang merintih menahan pilu dan kesedihan. Kekasih telah pergi.
Hanya ada perih yang menggores: seperti pecahan kaca yang tertancap di atas
dada.
**
“apa aku datang
terlambat?”
Tanya Kinasih
yang masuk tiba-tiba dan ternganga melihat sahabatnya banjir air mata.
“tidak! Elang
sengaja meninggalkan kita berdua dan pergi ke pesta lebih awal...”
Mentari kemudian
bangkit dan ambruk ke dada Kinasih.
“Kin, tolong
bantu aku membopong tubuh ini ke dalam mobil. Tolong kau setir mobil ke tempat
kremasi. Tapi ingat, jangan kau kremasikan ia dahulu, karena kami ingin di
kremasi bersama!”.
**
Selasa, 01
Januari 2013
Pukul 04.30
“kin bangun!”
Mentari bangun
lebih awal hari ini.
“kenapa kamu?
Mimpi buruk?”
Kinasih dengan
malas-malasan dan belum membuka matanya tapi sudah bertanya.
“aku sudah diajak
pesta, tapi Elang bilang besok setelah pergantian tahun...”
Kinasih menabrak
Mentari dengan pelukan yang sangat kencang
“sudahlah, aku
masih membutuhkan mu. Jangan menyusulnya...”
Bulir-bulir air
mata kemudian kembali menyapa pagi mereka yang masih buta. Masih buta tanpa
warna.
**
Selasa, 01
Januari 2013
Pukul 18.30
Polisi tambun
dengan perut bulat membacakan bait demi bait kertas bergores yang ada di
tangannya itu:
Selasa, 01 Januari 2013 di tulis di Depok
Untuk Kinasih tercinta.
Kinasih sayang, mungkin surat ini hanya sia-sia. Kau tahulah mengapa,
ya kita memang sudah sering membicarakan ini sebelumnya. Bahkan, sudah kau
masukkan dalam bahan skripsi psikologi bangsatmu itu kan? Kau tentunya paham
tentang apa yang dikatakan Elang padaku beberapa tahun belakangan ini, bahwa
setiap tindakan manusia memang seharusnya telah dipertimbangkan dengan matang
sebelumnya, apalagi manusia dewasa dengan intelegensi yang baik seperti
mahasiswa UI, hahaha. Begitu juga dengan berpindah ke dunia yang lain –kalau
tidak mau disebut sebagai bunuh diri- kurasa tindakan ini telah kupikirkan
matang. Dan aku melakukan ini bukan untuk mengakhiri hidup, tapi untuk
mempercepat proses samsara, atau kalau tidak ada reinkarnasi, maka aku ingin
mempercepat perjumpaanku dengan Tuhan. Kalau kau berfikir aku menyalahi takdir,
maka menurutku kau salah. Karena takdirku atas kematian ini sudah kulaksanakan
dengan perhitunganku sendiri. Aku bukan menyerah pada kehidupan, setiap hari
semangatku untuk memperjuangkan Elang semakin menjadi-jadi. Aku yakin dia
adalah cinta yang diberikan Tuhan dari masa lalu, masa kini, hingga masa yang
aka datang. Dalam tubuhku yang sebelumnya -jika benar-benar ada tubuhku yang
lain- dan tubuhku yang di masa yang akan datang. Jiwa dan tubuhku, telah
dipersatukan. Aku menuju dunia lain untuk memperjuangkan cintaku pada Elang.
Karena Elang telah ada bersama Tuhan, maka aku juga ingin bersama Tuhan. Dan
aku percaya, karena ini adalah permintaan Elang, maka kemarin ia telah meminta
Tuhan untuk mengabulkan permintaanku ini dan mengampuni dosaku -jika memang
Tuhan benar-benar punya aturan. Aku yakin Tuhan mau mengampuni, mungkin Ia
menganggap aku adalah makhluknya yang paling aneh, tapi aku yakin Ia Maha
Mengerti. Dan tugasmu sekarang Kinasih, tolong kabarkan pada dunia… kematian
kami berdua adalah bahagia. Aku sisipkan surat dari Elang untukmu, jika di
dunia yang membosankan itu kau memerlukannya.
Salam Cinta, untuk Kinasih
Dari aku, Elang, dan Tuhanku.
Senin, pagi buta, 31 Desember 2012, ditulis di Depok
Untuk Mentari dalam kabut, dari Elang yang Bersayap.
Aku tahu kau berkabut esok hari, sayang. Aku menuliskan surat ini saat
aku sudah tak kuasa menahan panggilan Izrail yang terus saja menarik-narik
jiwaku yang reot. Datanglah kepadaku, aku mau kau memperjuangkan cinta kita. Di
dunia yang lain. Aku mencintaimu sejak lama, tapi aku tak pernah sedikit pun
memberimu tempat yang layak disisiku selama ini. Padahal, terkadang aku kelewat
batas dalam menahan perasaan ini. Aku takut kau kecewa dengan keadaan fisikku
yang semakin hari semakin terkulai atas penyakit sialan ini. Dan seperti yang
pernah kita bahas sebelumnya, bahwa pengobatan manusia hanya akan menambah
umurku, bukan menghentikan penyakitnya. Maka, sebagai orang yang percaya akan
adanya reinkarnasi, aku memutuskan untuk menjalani hidup tanpa pengobatan agar
aku cepat terlahir di dunia kembali dengan keadaan yang lebih baik. Sayang,
enam tahun belakangan, aku berjuang demi cinta kita. Aku berjuang menahan
seluruh egoisme dalam dada yang memaksa diriku sendiri untuk menjadikanmu
sebagai milikku. Tapi aku tahu, kau bahkan terlalu mencintaiku, hingga jika
besok atau lusa aku mati, kurasa kau sulit bahkan tidak akan pernah mencari
penggantiku lagi. Maka aku memutuskan untuk tidak berbuat banyak untuk menyambut
perasaanmu. Tapi sekarang, aku benar-benar yakin, aku mencintaimu dan
menginginkanmu menjadi milikku di kehidupan yang selanjutnya. Aku tidak akan
pernah rela membiarkanmu menjadi milik orang lain, maka sambutlah tanganku di
kehidupan yang selanjutnya. Dan aku tahu, kita sama-sama percaya.
Aku mencintaimu bukan sampai mati, tapi sampai samsara tak berbentuk
lagi dan jiwaku benar-benar pergi.
Dari aku dan Tuhanku.
ditulis di Depok, jawa barat, Indonesia, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar