Rabu, 26 Februari 2014
entah
raut wajahmu masih seperti tetes-tetes embun
menggantung di pucuk rambut kami yang basah
tapi sayang,
warna kuning sudah menghilang
kelabu tertawa kemudian
Selasa, 25 Februari 2014
SURAT
Menanti reinkarnasi Visnu
Yang menapakkan kakinya di atas bumi
Lewat kidung yang kita nyanyikan,
Aku berharap semoga engkau tetap datang
Tangan-tangan surga,
Yang membelai rambutku dari nirvana
Tidak cukup menenteramkan mata, hati, dan jiwa
Karena kita…
Masih berjalan kea rah yang berbeda
Menunggumu adalah hal yang tidak menyenangkan
Tapi kalau senggang…
Aku menulis puisi di kala petang
Sambil menunggumu pulang,
saat mentari senja
dari balik rimba
Senin, 24 Februari 2014
HANCUR
Tak ada matahari
hari ini
Cuma awan kelabu
yang sedang mengelabuhi
Kemarau panjang
yang panas,
Tapi mendung.
Belum ada hujan
Tapi aku sudah
kedinginan.
Ini sudah malam,
Tapi tak ada
bintang.
Sore ini juga,
Belum ada teh
dalam cangkir kita;
Padahal aku sudah
menunggu di depan telaga;
Meunggumu
memainkan pianika;
Dalam serangkaian
nada bidadara.
Kadang kita merasa kuat, bahkan
terlalu kuat sampai pada satu titik kita merasa butuh perlindungan. Tapi
terkadang orang-orang yang perlindungannya kita butuhkan, hanya bergerak pada
urusan masing-masing yang sama sekali tidak menyangkut diri kita dan urgensinya
tidak jelas. Jadilah kita hanya berharap, sedang kita sama sekali bukan
prioritas.
Jumat, 21 Februari 2014
Smaradahana
Smaradahana
Tersebutlah Dewa Śiwa
yang sedang bersemadhi di gunug Meru,
jauh dari khayangan, tempat
tinggalnya dan para Dewa. Ia memfokuskan seluruh panca inderanya melakukan tapa-brata-nya. Meski pun ia adalah dewa
tertinggi, Śiwa tidak mempedulikan segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan
tapanya. Salah satu yang diabaikan Śiwa
adalah Uma, permaisurinya yang jelita dan masih perawan.
Pada saat itu
Nilarudraka yang berasal dari Senapura beserta pasukannya, para raksasa, ingin
menghancurkan khayangan dan seluruh para Dewa. Seluruh Dewa di khayangan ketakutan karena tidak
memiliki kekuatan untuk melawannya. Mereka tidak dapat melawan Nilarudraka
karena sebelumnya Dewa Śiwa telah memberi anugerah kepada Nilarudraka agar
tidak terkalahkan oleh siapa pun kecuali Dewa Śiwa sendiri. Para Dewa pun
melakukan diskusi dan kemudian mengatur strategi. Sebagai hasilnya, Dewa Indra,
Dewa Whraspati, Dewa Wiśnu dan Dewa Brahma bersepakat untuk memanggil Śiwa
kembali ke khayangan untuk menghadapi Nilarudraka.
Śiwa dikenal sebagai
Dewa tertinggi yang ditakuti seluruh buana
karena kekuatannya yang dapat menghancurkan apa saja dalam sekejap mata. Para
Dewa akhirnya yang telah mengatur strategi harus berhati-hati dalam membawa
Śiwa kembali ke khayangan tanpa
membuatnya marah karena harus meninggalkan tapanya. Ditetapkanlah Dewa Kama
sebagai Dewa asmara untuk datang menghadap Śiwa dan menancapkan panah
asmaranya.
Para Dewa berangkat ke
kediaman Kama. Mereka disambut dengan berbagai kenikmatan yang disajikan Kama.
Setelah mendengar penjelasan para Dewa, Kama masih merasa ragu, namun dewa
Wrhaspati berjanji untuk mendatangkan bantuan untuknya. Janji seorang Brahmin
sama sekali tidak boleh disangkakan, akhirnya, Meski pun dengan berat hati,
karena Dewi Ratih tidak rela suaminya dijadikan umpan para Dewa, berangkat pula
Dewa Kama diiringi oleh para Dewa. Hari baik itu adalah permulaan bulan ke empat.
Dewi Ratih, istri Dewa
Kama, telah merasakan firasat buruk mengenai kepergian suaminya guna
melancarkan niat suci para Dewa. Namun Kama berhasil menghiburnya dengan
bercerita tentang Surga di malam bulan purnama. Ratih dengan bersedih hati
akhirnya mau meluluh dan mengizinkan suaminya diumpankan kepada Kama.
Perjalanan ditempuh,
para rombongan menyaksikan keindahan alam yang berupa senjata, kereta, dan sais
yang menariknya. Sampailah Dewa Kama ke tempat Dewa Śiwa sedang tapa-brata, di bawah naungan pohon Darsana, di atas gunung Meru. Seluruh
Dewa yang mengiringinya hanya melihat dari kejauhan, termasuk Indra yang
merupakan Dewa perang. Para Dewa hanya tertegun melihat Śiwa yang sedang
berkonsentrasi tinggi dalam tapa-brata-nya. Hanya Kama yang berani mendekati
Śiwa, meski terdapat ketakutan pula dalam hatinya.
Terlihat sepasang
makhluk penjaga Śiwa, Mahakala dan Nandiśwara, mencoba menakut-nakuti dengan
melepaskan segala daya kekuatan alam. Mereka lalu ditenangkan oleh para Rsi
yang kemudian undur diri. Dewa Kama sesaat setelah sampai ke tempat tujuannya
langsung menghaturkan sembah bhakti kepada Śiwa, sang Dewa penghancur yang
paling berkuasa. Sesudah menghaturkan salamnya dan melakukans samadhi singkat, Dewa Kama langsung
melemparkan segala senjata ke arah Śiwa namun semua yang terlempar berubah
menjadi perhiasan Dewa, dan Śiwa tetap duduk tidak bergerak, malah sekarang
mematung dengan berbagai macam perhiasan. Seluruh amunisinya tidak mempan
melawan kuatnya tapa Śiwa. Dewa Kama tidak kehabisan akal, ia lalu melakukan samadhi singkat sekali lagi, kemudian
tampaklah musim-musim bergantian, musim tersebut dipimpin oleh musim semi. Kama
kemudian kembali melepaskan panahnya, kali ini yang lebih panas karena terbuat
dari bunga-bunga yang dapat disentuh oleh seluruh panca indera. Panah yang
terakhir ini mengenai hati dengan tepat, Śiwa pun terbuai dalam angan-angan Uma
serta seakan-akan melihat Uma berada di pangkuannya. Namun demikian, ini
terjadi sesaat setelah Śiwa menoleh ke arah Kama yang telah melepaskan panahnya.
Śiwa yang marah kemudian merubah dirinya dalam wujud Tiwikrama, yaitu Śiwa
dalam sosok yang menyeramkan. Dewa Kama berteriak ketakutan meminta pertolongan
para Dewa dan Rsi yang tadi mengiringinya, namun sia-sia karena mereka telah
lari tunggang langgang menghindari amukan Śiwa. Tinggallah Dewa Kama bersama
Śiwa yang menakutkan, membakar seluruh badannya hingga mejadi abu dengan
matanya yang menyala-nyala.
Dewa Kama telah tamat
riwayatnya, Ia menghaturkan selamat tinggal kepada sang Ratih, dan seketika
melompat keluar dari tubuhnya. Upacara pelayatan dilangsungkan pada musim semi,
bersama-sama dengan segala sesuatu yang elok di dalam hutan. Para Dewa dan Rsi
melakukan pemujaan kepada Śiwa dan menghadirkannya dalam bentuk yang indah
dalam pikiran mereka. Dalam bayangannya, Śiwa diubah dalam bentuk Dewa pemurah
yang duduk di atas Padma yang bermahkota delapan. Dengan begitu, Śiwa dipuja
dalam sosok Dewa yang sebagai sesuatu tampak dalam setiap sesuatu, Dewa yang dipuja para pendamba pelepasan akhir
hidup, dan pencipta segala sesuatu di dunia. Dewa Indra yang memiliki
tanggungjawab mengembalikan Kama, sebelumnya ingin melarikan diri namun ditegur
–karena sikapnya yang pengecut- oleh Dewa Wrhaspati dan bersama-sama dengannya turut
memohon kepada Śiwa untuk menghidupkan kembali Dewa Kama. Pada saat itu, Śiwa
berhasil dibujuk untuk menanggalkan bentuk ugra-nya,
namun kemarahan di dadanya masih menyala. Akibatnya, saat permintaan untuk
menghidupkan kembali Kama, Śiwa mendengarkannya dengan bersungut-sungut.
Setelah dijelaskan oleh Dewa Wrhaspati bahwa Kama hanya diutus untuk menebar
cinta di hati Śiwa terhadap Uma guna melawan Nilarudraka yang telah diberi
anugerah kekuatan yang tak tertandingi, serta dijelaskan pula bahwa hidup tiada
berwarna tanpa cinta, Śiwa pun mengabulkannya dengan menghidupkan Kama dalam
bentuk yang tersembunyi dan lepas dari segala kebendaan (suksma). Sejak saat itu pula para rohaiawan diperkenankan untuk
menggunakan hiasan bunga di telinganya
untuk memperingati Śiwa yang pernah terselewengkan hatinya oleh Kama, padahal
Ia sedang bermeditasi di dunia wujud.
Ratih
tidak menerima keputusan Śiwa, karena baginya, bila tak bertubuh maka tidak
hidup. Bersemayam di dalam hati manusia atau Dewa dan tidak memiliki tubuh,
berarti bukan kehidupan yang sebenarnya. Ratih begitu marah kepada para Dewa
yang telah mengingkari janjinya untuk menjaga Kama dan membiarkannya mati di
tangan Śiwa. Ratih yang telah berputus asa, kemudian merencanakan untuk
melakukan upacara Śakti, yaitu
upacara pembakaran diri untuk membuktikan kesetiannya terhadap pasangan. Dewa
Indra yang tetap berdiam diri menyaksikan abu Kama sesaat setelah keputusan
diambil, dipesankan oleh Dewa Kama untuk mencegah tindakan Ratih, namun Ratih
tetap bersikeras untuk melakukannya, ia akhirnya tetap memegang teguh niatnya untuk
melaksanakan upacara śakti. Ratih yang tertimpa kemalangan cinta yang begitu
hebat menjadi murung setiap saat. Diceritakan bahwa setiap kali ia ingin
membersihkan badan dan fikiran melalui mandi, air yang menyentuh kulitnya
berubah menjadi api yang berkobar melahap sukmanya. Ratih yang malang tak dapat
tidur, saat ia dapat tertidur, ia terkadang bangun oleh ratapan dan tangisannya
yang panjang. Meski pun para Dewa berjanji untuk menghidupkan kembali Kama
dalam bentuk seutuhnya, namun Ratih tetap merasa sedih, tetapi kemudian ia
dapat menerima nasibnya dan tetap berniat mengikuti suaminya ke alam baka.
Nanda dan Sunanda, dua
orang pelayan Ratih yang setia mengiringi kepergian tuannya ke pegunungan untuk
melakukan niatnya, menyusul Kama ke alam baka. Alam pegunungan yang indah
seolah-olah membangkitkan api pada sisa abu dan tulang Kama yang terbakar dalam
gua tempat Śiwa tapa-brata, yang kemudian
kembali berkobar dan sekan-akan melambaikan tangan mengajak Ratih masuk ke dalamnya. Ratih yang tergoda mendekatinya kemudian
menyucikan dirinya dengan melakukan yoga dan
ikut hangus lenyap di dalamnya. Meski Kama dan Ratih telah berada di alam yang
sama, namun karena mereka tidak sebadan, mereka tetap tidak dapat bersatu. Semenjak
itu Kama bersemayam di hati Śiwa dan Ratih berada di hati Uma.
Sejak tertancapnya hati
Śiwa oleh panah asmara Kama, timbullah rasa rindu yang begitu besar terhadap
Uma. Śiwa pun meninggalkan tapa brata-nya
sebagai wiku dengan memilih menemui Uma dan memulai episode percintaan mereka.
Setelah sampai di kediaman mereka, entah mengapa Śiwa yang ada Kama dalam
dadanya, melihat Uma sudah bukan lagi seorang anak kecil. Setelah beberapa
waktu kepulangan Śiwa ke dalam pelukan sang permaisuri, Uma pun mengandung
seorang anak. Atas prakarsa yang telah disepakati para Dewa, akhirnya dibawalah
seekor gajah wahana Dewa Indra ke tempat Śiwa dan Uma berada. Uma yang merasa
begitu ketakutan melihat gajah, sontak bersembunyi di balik Śiwa. Beberapa
waktu berlalu Uma akhirnya melahirkan seorang anak yang dinantikan oleh para
Dewa sebagai kelahiran juru selamat di Khayangan.
Anak yang lahir dari Rahim Uma ternyata memiliki kesaktian yang dianugerahkan
oleh sang ayah, Śiwa, uniknya anak ini berkepala gajah dan diberi nama Sang
Hyang Gana. Sang Hyang Gana inilah yang nantinya akan melawan Nilarudraka dan
pasukan raksasanya.
Sang Nilarudraka yang
diberitahu oleh matanya bahwa anak Uma telah lahir, akhirnya menyerang surga
dengan balatentaranya yang besar. Saat itu para Dewa yang persiapannya belum
selesai lari tunggang-langgang meminta bantuan Śiwa beserta Sang Hyang Gana,
sang juru selamat surga. Pada waktu itu anak Śiwa, belum tumbuh begitu besar
sehingga diperlukan pembacaan berbagai mantra dan yoga oleh para Dewa dan Rsi untuk mempercepat pertumbuhannya. Setelah
pertumbuhannya mengalami kemajuan yang pesat, Sang Hyang Gana memimpin pasukan
Surga dengan gagah berani. Ia dianugerahkan berbagai macam senjata dan kekuatan
sehingga dapat menyerang musuh-musuhnya yang amat membahayakan eksistensi Surga
khayangan itu. Sang Hyang Gana dengan
kapak (kutara) dalam genggamannya,
satu persatu mepotong tangan dan kaki serta menumbangkan musuh para Dewa yang
banyak jumlahnya itu. Saat menghadapi Nilarudraka, Sang Hyang Gana terkena
senjata Raksasa yang justru dahulu kala dihadiahkan oleh ayahnya sendiri, yaitu
senjata bernama bajra yang telah mematahkan gading kirinya. Dengan amerta yang Ia punya, Sang Hyang Gana
menghidupkan kawan-kawannya yang telah tewas untuk membantunya kembali berjuang
dalam perang. Singkat cerita, surga Khayangan
pun memenangkan peperangan. Saat peperang usai, seluruh isi surga larut
dalam selebrasinya dan berteria-teriak mengelu-elukan Sang Hyang Gana dengan
sebutan Gananjaya. Akhirnya, setelah perjuangan yang panjang, seluruh isi surge
Khayangan dapat hidup dengan damai
dan tenang termasuk di dalamnya Śiwa, Uma, Sang Hyang Gana, dan saudara
kandungnya, Kumara.
Daftar Pustaka
Lestari, Nanny Sri.
2004. Kisah Cinta Smaradahana.
Jakarta: Laporan Penelitian
ditulis oleh dewi sinta, dkk.
Keramik Cina di Jambi
Keramik Cina di Jambi
Dewi
Sinta*
Abstrak: Keramik adalah salah satu temuan
arkeologis yang penting di Indonesia. Salah satu fungsi temuan keramik adalah
untuk mengungkapkan salah satu dimensi arkeologi, yaitu waktu. Keramik dapat
menjadi acuan kronologis suatu wilayah, ini dikarenakan, sebagai suatu benda,
keramik juga memiliki tren yang pada masa lalu berubah dalam perkembangannya.
Sebagai sebuah situs yang diperkirakan berkembang pada masa Kerajaan Mālayu atau setara dengan abad ke-7 sampai dengan abad ke-15,
tentunya temuan arkeologis yang terdapat di Kawasan situs tersebut berkolerasi
dengan masanya. Mālayu
merupakan pusat keagamaan Buddha pada masa lalu. Pada masa itu, Mālayu menjadi
tempat orang-orang yang ingin belajar agama Buddha sebelum melanjutkan pendidikannya
di Nālanda, India Selatan. Keramik yang merupakan benda hasil impor dari luar
Indonesia, merupakan bukti adanya interaksi masyarakat Jambi yang dihubungkan
dengan kerajaan Mālayu, dengan orang
asing di masa lalu. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan mengenai siapa yang menggunakan keramik di kotak
MJB/KDT/S39/2013, dan
kronologi keramik. Metode
yang akan digunakan adalah metode analisis, perbandingan, dan kepustakaan.
Kata-kata
kunci: porcelaineous stoneware, keramik,
temuan, kronologi, dinasti
Song, Jambi, Mālayu, MJB/KDT/S39/2013
PENGANTAR
Keramik
merupakan temuan yang ada di hampir seluruh situs dari berbagai masa kronologi
di Indonesia. Keramik yang ditemukan pun berasal dari berbagai tempat dan umur
yang beragam. Keramik yang akan dibahas kali ini adalah keramik berbahan porcelaineous stoneware dan ditemukan
pada kotak MJB/KDT/S39/2013, hasil penggalian tim Departemen Arkeologi Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Bahan
dasar keramik bermacam-macam namun dengan bahan dasar kaolin. Dalam membuat
keramik, kaolin dicampur dengan beberapa bahan lain di antaranya tanah liat dan
pasir. Setelah itu adonan dibentuk sesuai dengan kebutuhan menggunakan berbagai
teknik. Teknik yang paling umum adalah roda putar dan dengan menggunakan
tangan. Setelah itu, adonan dibakar dengan suhu di atas 1500º C. Proses
selanjutnya adalah menghias keramik, biasanya keramik dihias dengan menggunakan
pasta untuk glasirnya. Glasir dapat dilukis dengan berbagai warna pasta. Selain
itu, hiasan keramik dapat jugadibentuk melalui teknik gores atau tekan.
Keramik
pada masa lalu diproduksi di beberapa tempat dan yang paling masyur adalah
Cina. Cina memproduksi keramik mulai dari masa dinasti Han hingga dinasti yang terakhir,
yaitu dinasti Xing. Keramik merupakan salah satu komoditas utama perdagangan
Cina yang diekspor hampir ke Asia, Afrika Utara, bahkan beberapa tempat di
Eropa. Cina memiliki salah satu tradisi keramik terbaik di dunia.¹
MJB/KDT/S39/2013
Kawasan Percandian Muaro Jambi terletak
di Desa Muara Jambi, Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Luas kawasan ini adalah 3.118,46 hektar dan secara astronomi berada pada 103°
22’ BT - 103° 22’ 45” BT dan 1° 24’ - 1° 33’ LS. Pada kawasan ini terdapat
delapan bangunan candi, yaitu: Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Tinggi I,
Candi Kembar Batu, Candi Astano, Candi Gedong I, Candi Gedong II, dan Candi
Kedaton. Selain itu juga terdapat temuan berupa parit atau sungai Kuno.
Kawasan Percandian yang telah menjadi
objek wisata ini dikelilingi oleh berbagai perkebunan diantaranya dukuh, karet,
durian, dan jeruk. Di kawasan percandian ini juga terdapat temuan berupa Menapo
yang disinyalir memiliki temuan arkeologis di dalamnya. Menapo adalah gundukan
tanah seperti unur di Jawa.
Sektor Candi Kedaton terletak di
Kawasan Percandian Muaro Jambi dengan luas sektor 55.850
.
Bagian barat, utara dan timur berbatasan dnegan hutan, sementara bagian selatan
berbatasan dengan sungai Seno.
Ekskavasi dan penelitian yang dilakukan
oleh Tim Peneliti Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 18-29 Juni 2013 di Sektor
Candi Kedaton bertujuan untuk mencari ruang-ruang dalam sektor Candi Kedaton, guna
merekonstruksi kehidupan pada masa itu. Dalam ekskavasi ini, telah dibuka 14
kotak gali. Satu dari kotak gali tersebut adalah kotak MJB/KDT/S39/2013 yang
merupakan kotak yang digali oleh kelompok V.
MJB/KDT/S39/2013 terletak di barat laut
dalam sektor, atau barat laut candi utama, Candi Kedaton. Kotak ini berukuran 4m
x 4m yang bentuknya sebelum digali merupakan menapo yang permukaannya telah
sedikit tersingkap berupa bata sebagai temuan permukaan. Sebelum digali, bagian
selatan kotak lebih tinggi dari bagian utara dengan temuan lepas bata yang
lebih banyak. Alasan pemilihan kotak ini adalah untuk menampakkan struktur
pembatas ruang, yang diperkirakan berada pada kotak tersebut. Datum point berada di barat daya kotak.
Setelah diekskavasi, temuan yang terdapat
di MJB/KDT/S39/2013 struktur bata sebanyak enam lapis, yang secara horizontal
hanya tampak tidak lebih dari ¼ bagiannya saja, jika kita mengacu pada temuan
lepas bata utuh. Temuan struktur ini melintang barat-timur, juga sebanyak enam
buah. Temuan lepas yang ada di kotak ini berupa bata, porcelainous stoneware, stoneware, tembikar, logam, kaca, arang,
dan moluska.
Penggalian di MJB/KDT/S39/2013
dilakukan dalam Sembilan lot, dengan konsentrasi temuan berada di lot (4)
hingga lot (7) yaitu pada kedalaman 53,5 - 85,5 cm dari datum point. Pada kesempatan kali ini, peneliti hanya akan membahas
mengenai keramik yang ditemukan di kotak MJB/KDT/S39/2013.
TEMUAN
MJB/KDT/S39/2013
Pada penggalian yang dilakukan oleh Tim
Peneliti Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia, pada kotak gali MJB/KDT/S39/2013 telah memperoleh temuan yang
bervariasi. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa temuan lepas yang
bervariasi ini diantaranya: bata lepas, porcelainous
stoneware, stoneware, tembikar, logam, kaca, arang, dan moluska.
MJB/KDT/S39/2013 yang merupakan kotak
dengan kemiringan yang sangat mencolok antara bagian selatan-utara. Hal ini
dikarenakan, -setelah dilakukan penggalian- adanya struktur dinding di bagian
selatan yang membujur barat-timur. Ini juga mempengaruhi karakteristik temuan
di kotak MJB/KDT/S39/2013. Bata lepas yang ditemukan relatif banyak, terutama
di awal penggalian. Pada lot-lot terakhir temuan bata lepas semakin berkurang
seiring dengan ditemukannya struktur dinding di bagian selatan. Temuan yang
paling penting adalah struktur bata merah yang membujur dari arah timur ke
barat dan diperkirakan merupakan pagar dalam candi Kedaton.
Bata
yang terdapat di candi Kedaton dikenal memiliki karakteristik yang khas. Ukuran
bata dinilai sangat besar dan tebal bila dibandingkan dengan ukuran bara masa
kini. Bata utuh yang ditemukan memiliki ukuran 26cm x 15cm sampai dengan 2cm x
17cm dengan tebal 8cm - 10cm.
Stoneware pada MJB/KDT/S39/2013 berjumlah delapan
buah dan memiliki ketebalan yang bervariasi. Kebanyakan dari stoneware tidak berglasir, namun salah
satu stoneware yang juga menjadi
temuan penting MJB/KDT/S39/2013 berglasir kecokelatan dan berbentuk kupingan.
Glasir pada beberapa stoneware yang
terlihat kecoklatan, dan memiliki hiasan melingkar dengan teknik tekan, dapat
diasumsikan stoneware ini dibuat menggunakan roda putar. Bahan dan warna
stoneware sesungguhnya membutuhkan analisis lebih lanjut.
Tembikar yang terdapat pada
MJB/KDT/S39/2013 berjumlah 40 buah. Tembikar-tembikar ini ditemukan di lot yang
berbeda-beda dengan konsentrasi di lot 5 dan lot 6. Warna dan bahan tembikar
perlu dianalisa lebih lanjut.
Satu-satunya
artefak logam yang ditemukan di MJB/KDT/S39/2013 terdapat di lot 6, yang
kira-kira berkedalaman 55,5 cm. Benda logam ini berbentuk seperti segitiga sama
kaki yang bagian atasnya telah terpotong. Benda ini berwarna kekuningan dan
sudah telihat sangat aus sehingga sulit diidentifikasi lebih lanjut, namun
diperkirakan benda ini merupakan bagian kaki arca yang mirip dengan temuan arca
logam yang berada di Museum Muaro Jambi.
Kaca
yang ditemukan di MJB/KDT/S39/2013 hanya berjumlah satu buah dan berukuran
relatif kecil. Arang ditemukan sebanyak 3 buah, dan berada pada lot 2 yang
kira-kira berada di kedalaman 24 cm.
TEMUAN KERAMIK
Keramik adalah salah satu temuan
arkeologis yang penting di Indonesia. Salah satu fungsi temuan keramik adalah
untuk mengungkapkan salah satu dimensi arkeologi, yaitu waktu. Keramik dapat
menjadi acuan kronologis suatu wilayah, ini dikarenakan, sebagai suatu benda
keramik juga memiliki tren yang pada masa lalu berubah dalam perkembangannya.
Keramik yang ditemukan berjumlah 29
buah dan berukuran relatif kecil yaitu 1cm – 10cm. Keramik ini ditemukan hanya
pada lot (5) dan lot (6) dengan kedalaman 65,5cm - 79,5cm. Seperti temuan
lainnya, keramik yang ditemukan tidak dijumpai pada lot-lot awal dan lot-lot
akhir. Dapat disimpulkan bahwa keramik dan beberapa temuan lepas memang tidak
berada di atas tanah atau di sisi tembok pagar tetapi diletakkan di atas pagar
yang ketika temboknya runtuh berada di tengah, di antara bagian atas yang
tertimbun runtuhan bata dan bagian bawah yang sudah merupakan akhir bata.
Hampir keseluruhan pecahan keramik
tidak diketahui bentuk asalnya, kecuali keramik pada salah satu keramik yang
merupakan dasar sebuah mangkuk. Selain itu, pecahan keramik juga tidak dapat
direkonstruksi, meskipun demikian terdapat beberapa pecahan yang terlihat
memiliki karakteristik yang berasal dari satu benda yang sama. Keramik 5 lot (5)
dengan keramik 2 lot (6) memiliki ciri yang sama, yaitu dua buah ornamen
membulat yang menonjol keluar pada bibir keramik, demikian juga dengan keramik
6 , 20, 22, dan 23 yang berasal dari lot (6) memiliki karakteristik yang serupa
satu sama lain. Pecahan-pecahan itu memiliki glasir dengan warna yang sama, dan
sudah mengelupas. Meskipun demikian, tidak ada satu pun keramik yang dapat
direkonstruksi.
Seluruh pecahan keramik berbahan dasar porcelainous stoneware, dengan ketebalan
yang relatif sama kecuali pada keramik 1 lot (6) yang merupakan dasar dari
sebuah mangkuk.
KERAMIK
BERASAL DARI MASA DINASTI SONG
Sebagai sebuah situs yang diperkirakan
berkembang pada masa Kerajaan Mālayu atau setara dengan abad ke-7 sampai dengan
abad ke-15, tentunya temuan arkeologis yang terdapat di Kawasan situs tersebut
berkolerasi dengan masanya.²
Secara keseluruhan, ciri kemarik
di MJB/KDT/S39/2013 adalah berwarna
dasar putih keabuan dan berglasir secara keseluruhan. Warna glasir keramik
secara kasat mata seperti kehijauan, kecoklatan, kebiruan, juga keabuan. Glasir
pada keramik juga terlihat seperti retakan kulit telur. Ciri-ciri keramik
tersebut dapat ditemukan pada keramik Cina pada dinasti Song.
Seluruh keramik yang ditemukan bersifat
fragmentaris dengan ukuran keramik yang relatif kecil, serta hiasan yang tidak
terlalu nampak jelas, sehingga belum dapat dipastikan secara terrinci masa
produksinya. Namun dari ciri-ciri umum, pecahan keramik ini menunjukkan ciri
keramik dinasti Song. Selain itu, pada keramik 5 lot (5) dan keramik 7 lot (6),
jelas dapat terlihat karakterisitik keramik yang dibuat dengan menggunakan roda
putar, karena jejak pembuatan yang menunjukkan teknik gores atau malah teknik
tekan yang diasumsikan mengelilingi tepian keramik. Pada keramik 1 lot (6) juga
terlihat bentuk dasar mangkuk yang menyisakan jejak roda putar. Meskipun belum
dapat dipastikan, tetapi dapat dipertimbangkan bahwa keramik ini merupakan
produksi keramik provinsi Guangdong pada masa Song.
Hiasan glasir keramik yang Nampak
hampir di seluruh pecahan keramik adalah bentuk retakan, yang merupakan tipikal
dari lung ch’uan.
Dengan warna putih keabuan keramik
Jambi diperkirakan berasal dari jenis qingbai.
Produksi barang qingbai
berkualitas baik biasanya bertanah liat porselin putih, seperti barang-barang qingbai halus yang diproduksi di
Jiangxi. Tipe keramik yang lebih biasa dibuat dari tanah liat putih dengan
sedikit warna keabuan, berpasir, bergelembung, dan teksturnya agak kasar. Tipe
lainnya memiliki warna yang agak kusam (buff).
Semua barang Guangdong dibuat dengan roda putar.
Dengan hubungan yang erat antara Cina
dengan Mālayu memungkinkan adanya kontak antar wilayah. Apalagi, ahli
keramologi menyebutkan bahwa Keramik pada masa Dinasti Song adalah salah satu
yang terindah diantara keramik-keramik produksi dinasti lain.
Temuan keramik di kotak S39 secara
keseluruhan dalam keadaan fragmentaris, hal ini sangat mungkin terjadi di
seluruh Kawasan Percandian Muara Jambi.
Setelah dianalisis, seluruh keramik
yang ditemukan di kotak MJB/KDT/S39/2013 memang belum diketahui bentuk asalnya,
namun terdapat satu pecahan keramik yang merupakan sebuah wadah mangkuk.
Namun demikian, porcelainous stoneware yang terdapat di Jambi, memang berbentuk
asal mangkuk, cepuk, piring, vas atau buli-buli.
HUBUNGAN
MUARO JAMBI DENGAN CINA DI MASA LALU
Dalam kitab dinasti Liang atau Song
lama, dapat diperoleh keterangan bahwa pada 430-475 M telah datang utusan dari Kan-t’o-li
dan San-fo-tsi. Secara umum para ahli berpendapat bahwa Kan-t’o-li terdapat di
pantai timur sumatera selatan, yang kekuasaannya meliputi Palembang dan Jambi.
Selanjutnya pada tahun 644 dan 645 M,
di kitab dinasti T’ang telah tercatat bahwa telah datang utusan dari Mo-lo-yeu
pada tahun itu. Mo-lo-yeu di sini dapat dihubungkan dengan Kerajaan Mālayu.
Sebagian ahli menyatakan bahwa Kawasan
Percandian Muaro Jambi berhubungan dengan Kerajaan Mālayu Kuno, namun ada ahli
pula yang menyatakan bahwa Muaro Jambi dapat dihubungkan dengan Śr
wijaya.
Mālayu merupakan pusat keagamaan Buddha
pada masa lalu, pada masa itu Mālayu menjadi tempat orang-orang yang ingin
belajar agama Buddha, sebelum mereka melanjutkan pendidikannya di Nālanda. Sekitar tahun 672 Masehi, I-tsing,
seorang pendeta Buddha dari Cina, dalam perjalanannya dari Kanton menuju India,
singgah di She-li-fo-she selama enam bulan untuk belajar sabdavidya atau tata bahasa Sansekerta. Menurut I-tsing ada sekitar
1.000 orang pendeta She-li-fo-she yang menguasai pengatahuan agama sama halnya
di Madhyadesa (India). Dari She-li-fo-she I-tsing berlayar ke Mo-lo-yeu dengan
menggunakan kapal raja. Ia tinggal di Mo-lo-yeu selama dua bulan. Selanjutnya
ia berlayar ke Kedah (Chie-cha) selama lima belas hari. Pada bulan ke-12 ia
meninggalkan Kedah menuju Nālanda, ia berlayar selama dua bulan. Kemudian pada
musim dingin ia berlayar ke Mo-lo-yeu yang sekarang telah menjadi Fo-she-to,
dan tinggal di sini sampai pertengahan musim panas, lalu ia berlayar selama
satu bulan menuju Kanton. Dari keterangan dapat disimpulkan bahwa sekitar tahun
685 Kerajaan Śr
wijaya
telah mengembangkan kekuasaannya, dan salah satu Negara yang ditaklukannya
adalah Mālayu.
Mālayu sebagai sebuah kerajaan yang
ingin diakui secara de facto dan de jure, dalam mencapai tujuannya tersebut telah
ditempuh langkah-langkah yang kiranya dapat menjalin kerjasama dengan asing
agar mendapat pengakuan. Beberapa diantaranya adalah dengan mengirimkan utusan
ke berbagai kerajaan di luar Nusantara, salah satunya dengan dinasti yang
sedang berkuasa pada masa itu di Cina.
Kemudian, pada beberapa waktu
setelahnya telah dicatat keadaan Mālayu oleh seorang Cina yang sedang belajar
Buddha dan singgah di Mālayu I tsing ketika itu singgah untuk memperdalam ilmu
agamanya sebelum belajar di Nalanda, India Selatan. Ia mencatat bahwa pada masa
itu (671 M) ia menyebutkan telah ada pelabuhan Mālayu yang menurut perhitungan
Eadhiey Laksito Hapsoro terletak di Kuala Tungkai, berdasarkan perhitungan jam
Matahari. Lima belas tahun kemudian, I-tsing kembali singgah dan mencatatkan
bahwa Mālayu telah menjadi bagian dari Śr
wijaya.
Pada tahun 853 M nama Chan-Pi / Pi-Chan
muncul dalam kronik Cina. Kemudian pada 890-940 M Lin Piao Lui mencatat bahwa
Chan-Pi telah mengirim utusan ke Cina, setelah itu pada beberapa tahun kemudian
yaitu 960, 962, 971, 972, 974, 975, 980, 983 M Chan-Pi kembali mengirim utusan
ke Cina. Pada tahun 1003 M Sri Maharaja Cundamani Warma Dewa
(Chu-la-wu-ni-fa-ma thau-hun-nyi) mengirim upeti ke Cina. Tahun 1008, 1016, dan
1017 M Sri Maharaja Wijaya Tungga Warman mengirim utusan ke Cina. Berita
tentang utusan Chan-Pi ke Cina kembali ditemukan di tahun 1079M, 1082M, dan
1088M. Selanjutnya pada 1225 M, berita Cina menyebut Palinfong sebagai negeri
bawahannya. Pada waktu yang akan datang yaitu 1371M, 1374M, 1375M, 1376M, dan
1377 M Chan-Pi kembali mengirimkan utusan ke Cina
KESIMPULAN
Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
bahwa keramik di Jambi berbentuk asal piring, mangkuk, cepuk, vas atau
buli-buli, ini menandakan pada masa itu masyarakat Candi Kedaton yang sezaman
dengan dinasti Song, yang memproduksi keramik, sudah memanfaatkan wadah-wadah
tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Hubungan Jambi dengan Cina pada masa
itu telah terjalin dengan baik, pada masa dinasti Song (10M - 13M) Cina telah
menjalin hubungan dagang dengan Jambi, yang mungkin sekali pada masa itu Jambi
telah mengekspor berbagai produknya ke Cina dan ditukar dengan keramik.
Kualitas keramik nomor dua yang cirinya
terdapat pada pecahan keramik di MJB/KDT/S39/2013 juga menunjukkan bahwa
penggunanya pada masa itu adalah orang-orang yang bukan dari kasta sosial
terlalu tinggi. Kemungkinan besar penggunanya adalah agamawan yang pada masa
itu beraktivitas di sekitar Candi Kedaton.
Oleh: Dewi Sinta A’isyah Debeturu
1106023000
Catatan
Akhir
∗ Mahasiswi Program S1
Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
¹ Edward Haley, the pottery, Oxford: Oxford Press, 2006, hlm. 92
² Bambang
Budi Utomo, Buddhism in Nusantara,
Jambi: Buddhist Education Center, 2011, hlm.
38
“Mālayu is one of old time Nusantara
Kingdom that existed for quite long period compared to other from same period,
which was 7th-15th century CE. It was first mentioned in
the history of T’ang Dynasty (7th-10th century CE) that
there was a delegate from Mo-lo-yeu come to China in years 644-645 CE.” (Utomo,
2011: 38)
³ Widiati,
Analisis keramik Cina masa Song abad
X-XIII dari situs dasar laut di perairan pulau Buaya, Riau, dan perbandingannya
dengan temuan keramik serupa dari beberapa situs daratan di daerah Jambi, Depok: Tesis FIB UI, 2003 hlm. 154
“barang qingbai berkualitas baik biasanya bertanah liat porselin putih,
seperti barang-barang qingbai halus
yang diproduksi di Jiangxi. Tipe keramik yang lebih biasa dibuat dari tanah
liat putih dengan sedikit warna keabuan, berpasir, bergelembung, dan teksturnya
agak kasar. Tipe lainnya memiliki warna yang agak kusam (buff). Semua barang Guangdong dibuat dengan roda putar. Pada bagian
luar mangkuk atau piring tampak alur bekas putaran roda putar. Jejak putaran
roda putar ini mudah dilihat…” (Widiati, 2003: 154)
“Dalam masa ini seorang konseptor
intelektual sangat berperan dalam industri keramik untuk menentukan keterpaduan
yang sempurna dan harmonis antara warna glasir dengan bentuk yang mereka
ciptakan. Sejarah Cina menyebutkan bahwa upaya menciptakan citarasa yang
sedemikian dalam keramik tidak dijumpai dalam dinasti sesudahnya. Kemurnian dan
kehalusan barang—barang Song telah dihargai tinggi dalam kepustakaan Cina,
karena itu sering diungkapkan sebagai “jade”, “perak”, “salju”, atau “es”.”
(Widiati, 2003: 151)
“Keramik-keramik
dari situs-situs di jambi pada umumnya ditemukan dalam keadaan fragmentaris,
diantaranya berukuran relatif kecil. Biasanya bentuk pecahan itu hanya terdiri
dari satu bagian pecahan, seperti bagian tepian, badan, leher, karinasi, cucuk,
dasar atau pegangan. Kadang kala benda itu ditemukan dalam bentuk gabungan
beberapa bagian pecahan seperti tepian dan badan, atau badan dan lingkaran kaki
dsb. Namun sangat jarang keramik ditemukan dalam keadaan utuh di situs-situs
daratan seperti Jambi.” (Widiati, 2003: 97)
“…… tidak ada satu pun yang menunjukkan
sebagai keramik yang bukan berupa wadah. Hal itu mungkin erat kaitannya dengan
masalah kegunaan. Wadah-wadah keramik tersebut mungkin lebih banyak dikenal dan
digunakan oleh masyarakat luas untuk berbagai keperluan hidup mereka, daripada
keramik yang bukan wadah.” (Widiati, 2003: 126)
“sekitar tahun 672 Masehi I-tsing,
seorang pendeta Buddha dari Cina, dalam perjalanannya dari Kanton menuju India,
singgah di She-li-fo-she selama enam bulan untuk belajar sabdavidya atau tata bahasa Sansekerta. Menurut I-tsing ada sekitar
1.000 orang pendeta She-li-fo-she yang menguasai pengatahuan agama sama halnya
di Madhyadesa (India). Dari She-li-fo-she I-tsing berlayar ke Mo-lo-yue dengan
menggunakan kapal raja. Ia tinggal di Mo-lo-yeu selama dua bulan. Selanjutnya
ia berlayar ke Kedah (Chie-cha) selama lima belas hari. Pada bulan ke-12 ia
meninggalkan Kedah menuju Nālanda, ia berlayar selama dua bulan. Kemudian pada
musim dingin ia berlayar ke Mo-lo-yeu yang sekarang telah menjadi Fo-she-to,
dan tinggal di sini sampai pertengahan musim panas, lalu ia berlayar selama
satu bulan menuju Kanton. Dari keterangan dapat disimpulkan bahwa sekitar tahun
685 Kerajaan Śr
wijaya telah mengembangkan
kekuasaannya, dan salah satu Negara yang ditaklukannya adalah Melayu.” (Soejono,
2008: 102-103)
DAFTAR PUSTAKA
Haley, Edward. 2006. the
pottery. Oxford: Oxford Press
Noor, Junaidi T. 2011. Mencari
jejak Sangkala Mengirik Pernik-pernik Sejarah Jambi. Jambi: Pusat Kajian
Sejarah dan Kebudayaan Jambi
Soejono, R. P. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka
Widiati. 2003. Analisis keramik Cina masa Song abad
X-XIII dari situs dasar laut di perairan pulau Buaya, Riau, dan perbandingannya
dengan temuan keramik serupa dari beberapa situs daratan di daerah Jambi. Depok: Tesis FIB UI
Utomo, Bambang
Budi. 2011. Buddhism in Nusantara.
Jambi: Buddhist Education Center
Langganan:
Postingan (Atom)