Januari, 2000
Pagi
itu Fatimah Klavert membangunkan anak angkatnya yang masih tertidur pulas di
kamar yang dulunya adalah milik A’isyah, anak semata wayangnya yang tewas saat
tragedi berdarah di Ambon.
“Terimakasih
Ibu telah bersedia mengizinkan saya menginap di sini beberapa hari…”
Fatimah
duduk di pinggir ranjang dan membelai rambut coklat Angel yang lembut.
“Nak,
terimakasih telah berhasil melunturkan dendam yang tadinya kusangka telah larut
dalam darahku. Terimakasih telah mengajarkan bahwa kita tidak berbeda…”
Lelehan
air mata yang beberapa hari ini mengendap tumpah ke pipi Fatimah. Beberapa hari
ini Fatimah dan Angel berada dalam satu rumah dan satu lingkungan. Semua
prasangka yang mereka lontarkan satu sama lain meluruh dengan hal-hal yang
sebetulnya tidak pernah ada perbedaan kecuali masalah interpretasi Ketuhanan.
Tok
tok tok…
Seseorang
mengetuk pintu rumah Fatimah dengan cukup keras.
“Assalamua’laikum, bu Fatimah…”
Fatimah
melangkahkan kakinya menuju pintu depan. Dengan cepat ia mengenali suaranya.
Adwina, seorang psikolog dari KOMNAS HAM yang selama ini menanganinya.
“Waa’laikumsalam, Mbak…”
Mereka
saling memeluk.
“Bagaimana
kabar ibu dan Angel? Sudah lebih baik?”
“Iya
mbak, terimakasih atas bantuannya selama ini. Semalam Angel sudah berkemas, saya
rasa ia sudah siap pulang”.
Angel
berjalan ke ruang tamu dan menemukkan kedua wanita itu sedang berbincang. Ia
duduk di samping Adwina. Angel memainkan jemarinya. Matanya menatap lurus pada
ujung kaki yang sedang beradu ibu jari.
“Mbak
Win, terimakasih untuk semuanya… mediasi, semuanya. Setelah beberapa hari di
sini saya menyadari bahwa kami sama. Kami satu. Leluhur kami satu. Kami makan
sagu, kami minum dari air yang sumbernya sama meskipun beda kampung, dan bahkan
kami sama-sama hafal lagu Mitha Talahatu. Harusnya agama tidak membuat kami
saling menuduh satu sama lain… terimakasih mbak”.
Pelukan
yang panjang dan dalam dihadiahkan Angel kepada Adwina.
“Sama-sama
sayang, ini hari apa ya?”
“Senin,
mbak”, jawab Angel.
“Kemarin
kamu nggak ke gereja?”
“Kemarin
aku ke gereja, tapi bukan di Kudamati. Saya ke kampung lain. Saya takut warga kampung
masih meledak-ledak. Ibu Fatimah mengantar saya sembari pergi ke pasar dekat
situ, ia mengawasi dari jauh”.
“Oh,
ya? Kalau Ibu Fatimah sholat, kamu di mana?”
“Ibu
Fatimah bilang saya tidak boleh ada di
depan orang sholat, jadi ya… saya menunggu di mana saja, asal tidak di
depannya. Paling saya hanya membantu mengambilkan air untuk wudhu…”.
Senyum
puas terkembang di wajah Adwina. Ia menatap dalam-dalam kedua pasiennya itu,
“Jadi,
apakah kalian berbeda? Apakah kalian masih membenci cara hidup agama lain?”
Fatimah
membetulkan kain di atas rambutnya.
“Kami
sama, budaya kami sama. Semua yang kami lakukan sama. Hanya agama yang
membedakan kami. Tapi ajaran agama kami sama, sama-sama menyebarkan cinta kasih
di muka bumi… kami satu.”
**
Desember, 1999
Pagi itu langit yang tadinya
abu-abu sedikit demi sedikit mulai memancarkan kemurnian. Asap yang tadinya
mengepul di seluruh kota, tiba-tiba lenyap. Semoga hari ini semuanya terungkap,
semoga logika memenangkan kompetisi dalam jalur kebenaran. Gelembung kosong
pecah di udara.
Seorang
wanita berdiri di depan mikrofon yang diletakkan di atas one pod. Di belakang mikrofon duduk empat orang yang sedang
mengamatinya dari balik meja. Kertas bertumpuk-tumpuk di atas meja. Ada dua shaf
manusia yang juga sedang memerhatikan wanita itu, satu shaf di kanan, satu shaf
di kiri. Jumlah mereka sekitar sepuluh orang tiap shaf.
“Aku
Angel Leihitu, 25 tahun, belum menikah. Ehhh…”
Wanita
berkulit coklat terang itu menggigit bibirnya seraya memainkan kemeja biru muda
pastelnya.
“Aku…
saat itu keadaan sedang kacau. Rumahku dibakar orang, sekitar… ehhh…”
Tetes-tetes
bening mulai turun samar-samar. Kemudian semakin jelas.
“Tak
apa Angel, katakanlah… kita berkumpul di sini kan memang untuk mendengarkanmu,
supaya lukamu cepat sembuh, agar tak ada lagi dendam dan permusuhan. Ayolah
sayang, kami yakin kamu kuat!”
Seorang
wanita berusia sekitar awal 40-an tahun bangun dari kursinya dan menggamit
lengan serta membelai rambut Angel yang mulai dibasahi keringat.
“Oke,
kita akan teruskan kalau kamu sudah siap. Bagaimana?”
Wanita
25 tahun itu pun mengangguk ringan sembari mengelap pipinya yang basah.
“Iya,
baik. Waktu itu Ayahku sedang bersimpuh di depan salib dan berdoa. Sementara
aku dari kamar hanya melihat mereka samar-samar masuk ke dalam rumah dan
menyeret Ayah keluar. Aku berlari mengejar Ayahku yang akhirnya berhasil dibawa
dengan sebuah mobil kijang, lalu dua orang dari mereka berhasil menahanku. Hal
yang aku ingat adalah mereka menggunakan penutup kepala dan surban merah putih
serta terus meneriakkan kata-kata dalam bahasa Arab…”.
Angel
menutup muka dengan tangannya yang telah basah.
“Ya!
Mereka seperti kalian!”
Ia
mengangkat tangan dan menunjuk orang-orang yang duduk di depannya. Matanya
merah, dan bibirnya terus bergetar. Air mata terus mengalir hingga membasahi
kemejanya yang tipis.
“Mereka
persis seperti kalian! Mereka muslim, dan beringas! Bejat seperti kalian!
Kalian bawa Ayahku! Kembalikan Ayahku! Kembalikan Ia! Kembalikan semuanya…
kembalikan keperawananku yang kalian ambil! Kalian teroris!”
“Angel
cukup, tenangkan dirimu…”
Adwina
kembali angkat bicara. Ia memeluk Angel sebentar dan mengelap keringatnya
dengan tisu.
“Dua
orang dengan surban menarikku ke atas ranjang. Satu memakai baju biru, dan satu
lagi menggunakan kemeja coklat. Mereka mengikatku ke tempat tidur, aku berusaha
kabur berkali-kali, tapi sia-sia. Si biru melucuti pakaianku bagian atas: baju,
kaus dalam, dan bra. Sedangkan si coklat membuka celana dan celana dalamku.
Mereka meniduriku bergantian. Ketika aku kembali mencoba menendang wajah mereka
dengan susah payah, bedebah-bedebah itu menodongku dengan revolver yang
masing-masing ditaruh di saku belakang baju mereka… lalu aku hanya melihat
gumpalan asap dari arah belakang rumahku”.
Angel
berhenti bicara. Gumpalan besar dalam dadanya masih banyak yang tersisa dan
sebentar lagi akan meledak. Wanita 40-an tahun kembali berdiri dan mengajak
Angel duduk di kursi sebelahnya. Kemudian Ia melangkahkan kakinya menuju
mikrofon.
“Baiklah
hadirin sekalian, telah kita saksikan kesaksian dari kubu warga nasrani dari kampung
Kudamati, sekarang kita dengarkan kesaksian salah satu korban dari warga muslim
dari kampung Batu Merah, Ibu Fatimah dipersilakan!”
Ia
mempersilakan seseorang dari shaf kanan.
Seorang
Ibu berusia 50-an tahun dengan baju biru panjang yang menutupi seluruh tubuhnya
hingga hampir terlihat tanpa lekuk. Kain hitam yang digunakannya di atas kepala
menjuntai hingga persis di bawah dada. Wajahnya coklat pucat dengan mata yang
merah dan bibir yang terus bergetar. Tasbih hijau yang dimainkannya rasanya
sudah tak kuat membendung jutaan bahan peledak dalam dadanya. Jutaan bahan
peledak yang kini asapnya mulai merembes dan terasa perih… terasa perih hingga
air matanya terus meleleh.
“Nama
saya Fatimah Klavert, 52 tahun, janda…”
Fatimah
menggigit bibirnya yang semakin pucat.
“Waktu
itu tanggal 9 Januari 1999, segerombolan masa yang saya tidak tahu dari mana
datangnya terus meneriakkan bahwa masjid di kota Ambon telah dibakar semuanya.
Saya mengatakan pada suami saya untuk tetap diam di rumah… tapi suami saya
tetap pergi mengecek keberadaan anak kami yang bekerja sebagai guru mengaji di
Masjid Raya Ambon. Saat itu kami sudah berkali-kali menelepon ketua DKM masjid
tapi tak ada jawaban. Baru kira-kira dua meter dari rumah, sekelompok orang
berbadan kekar dan menggunakan kalung salib menembaknya persis di bagian dada
sebelah kiri.”
Fatimah
berhenti bicara. Rahang dan giginya bergemeletak, kemudian bibirnya kembali
bergetar. Matanya merah dan dengan sekali tarikan nafas is berkata:
“Mereka
menembaki suamiku! Mereka tanpa ampun menembaki suamiku mashaAllah… astagfirullahaladziim… ya Allah suamiku mati di situ!
Tak ada satu orang pun yang berani ke luar rumah membantu kami, mashaAllah… suamiku kubaringkan ke
pangkuanku, lalu aku hanya melihat kilatan
matanya yang meredup dan hilang.”
Adwina
bangkit dan menyerahkan sekotak tisu ke
pada Fatimah.
“Terimakasih…”
Kata
Fatimah.
“Lalu
anakku, dua hari setelah kejadian itu aku memberanikan diri pergi ke Masjid
Raya Ambon untuk mencari anakku. Sampai sana kedaan hening… karena semua orang
sedang menyolati beberapa jenazah. Aku hanya bisa menangis di depan papan
daftar nama korban, seolah tak percaya salah satu dari jenazah itu adalah anak
perempuan kesayanganku. Anak perempuan paling shalehah, Ya Allah padahal tahun
ini ia harusnya lulus kuliah, astagfirullahaladziim…”
Fatimah
terus mengucapkan astagfirullah sembari memutar tasbihnya.
“Baik,
saya rasa cukup. Kepada bapak dan ibu perwakilan dari KOMNAS HAM dan LSM Ambon
Bersatu dipersilakan…”
Seorang
bapak yang duduk persis di sebelah wanita itu mengambil mikrofon. Lengan
kemejanya berwarna merah marun digulung hingga siku. Rambutnya yang panjang
sebahu digelung.
“Oke,
saya Andri dari KOMNAS HAM. Pertama-tama saya ingin menghaturkan keprihatinan
dan belasungkawa yang mendalam atas peristiwa ini terutama kepada ibu Fatimah
dan saudari Angel. Begini, KOMNAS HAM sebagai lembaga yang independen meskipun
dibiayai oleh pemerintah, bertugas menguraikan benang kusut dalam tragedi
kemanusiaan ini yang tentunya telah melukai hak asasi manusia. Jadi, kami di
sini mencari bukti-bukti pelanggaran hak asasi manusia kemudian menyerahkannya
kepada pihak berwajib agar dapat diproses dengan semestinya. Mbak Angel dan Ibu
Fatimah, apakah kalian yakin bahwa yang menyerang rumah kalian pada saat itu
adalah tetangga beda kampung, yang… katakanlah memang beda agama?”
Andri
mengatakan semuanya dengan cepat dan hati-hati. Keringat mulai meluluh dari
dahinya.
Fatimah
angkat bicara.
“Saya
tidak mengenali wajah mereka, Pak. Tapi yang saya bisa lihat mereka menggunakan
kalung salib di lehernya.”
“Kenapa
Ibu tidak mengenali wajah mereka? Padahal mereka tetangga kampung Ibu, harusnya
Ibu pernah melihat mereka satu dua kali, mungkin kalau belanja ke pasar atau
pergi ke kampungnya. Ibu pernah ke kampung mereka?”
Dengan
air muka yang tenang Fatimah menjawab,
“Sering
Pak, setiap beberapa hari saya mengambil kelapa di kebun. Kebetulan kebun saya
persis di muka kampung mereka, saya juga sering bertemu warga kampung mereka
saat ambil kelapa. Kebetulan beberapa kawan saya yang juga petani kelapa dari kampung
Kudamati.”
“Nah,
kalau begitu apakah Ibu yakin tersangka pembunuh suami Ibu dari kampung
Kudamati?”
“Eeh,
saya tidak tau pak, tapi yang jelas mereka memakai kalung salib.”
“Baik,
ibu Fatimah terimakasih. Mbak Angel silakan…”
“Saat
itu mereka pakai surban, saya tidak tahu wajahnya. Mereka hanya meneriakkan
kata-kata dalam bahasa Arab. Dengan demikian, mereka pasti muslim… selain itu,
beberapa polisi juga mengatakan arah datang mereka dari Kampung Bata Merah di
seberang kebun kelapa”.
Andri
menaikkan sebelah alisnya. Isi kepalanya berputar begitu cepat, sebentar lagi
muntahannya akan keluar. Semua informasi berputar mengelilingi otaknya.
Informasi-informasi itu bergelut membentuk topan badai dalam benaknya, black hole telah tercipta, ledakan besar
sebentar lagi menghamburkan lava pijar dan kawah baru akan terbentuk.
Terbentuk seperti borok dengan bau
busuk.
“Polisi?
Pada saat kejadian ada polisi?”
“Ya…
tapi mereka hanya memandang dari kejauhan dan membiarkan keparat-keparat busuk
itu menyeret ayahku. Dan… membiarkan aku diperkosa. Setelah bajingan-bajingan
itu pergi, polisi yang mendengar teriakanku dari dalam rumah kemudian
membukakan ikatanku. Mereka bilang orang-orang itu dari kampung Bata Merah.”
“Ibu
Fatimah dan Angel, adakah ciri-ciri orang-orang itu yang masih kalian ingat?”
Angel
memutar bola matanya. Kulit coklat terangnya yang cantik berkilauan ditimpa air
mata.
“Karena
mereka menggunakan penutup wajah, yang kuingat hanya tangan salah satu orang
yang menarik Ayahku dan memerkosaku. Ia sempat beberapa kali memutar
pergelangan tangannya. Tersangka yang menggunakan kemeja coklat, di bagian
bawah pergelangan tangan kirinya ada tato bintang, dan di belakang telapak
tangannya ada…”
Belum
selesai Angel menguraikan ciri tersangka yang dia ingat, Fatimah menyeruak
tanpa mikrofon.
“Ada
tato huruf A!”
Angel
mengernyitkan matanya, mencoba menohok ke dalam mata Fatimah.
“Hei!
Bagaimana Ibu bisa tahu?”
Angel
membalik tatapannya kepada Andri.
“Dengar
sendiri! Ibu ini tahu! Pasti mereka adalah kerabatmu kan? Muslim bajingan!”
Suara
gaduh membahana seisi ruangan. Seluruh orang yang hadir kecuali yang duduk di
belakang meja melontarkan makian-makian agama.
Andri
menarik nafas panjang. Fatimah melompat mengambil mikrofonnya yang jatuh.
“Bukan! Orang itu juga yang
menembak suami saya!”
**
Februari, 2000
“Tidak
ada masjid yang dibakar, tidak ada gereja yang dibakar. Semua bukti mengatakan
bahwa konflik horizontal ini sama sekali bukan disebabkan oleh agama. Bahwa
provokasi yang dilakukan beberapa oknum memang terjadi, tujuannya adalah
memecah belah warga Maluku dan sekitarnya dengan membawa isu agama. 1.132
korban tewas, 312 luka parah, dan ratusan ribu orang memilih meninggalkan
tempat tinggalnya dengan ketakutan… kami menuntut pihak yang berwajib mengusut
tuntas peristiwa Kerusuhan Ambon 1999!”
Suasana
persidangan siang hari itu sangat panas dan sesak. Segerombolan manusia kulit
hitam dan wartawan berkumpul, mereka persis sekumpulan semut yang jika ditiup
sedikit, maka akan langsung berhamburan semuanya. Rupanya semut-semut itu
sedang marah, sedikit saja disenggol, maka sekujur tubuhmu akan bengkak
digigitinya. Sementara itu ribuan personel militer disiagakan untuk mengamankan
situasi, bak sekumpulan belalang yang akan merampok makanan semut. Mereka kuat,
kuat dan tanpa ampun. Satu saja kata provokasi terlontar maka satu gedung bisa
ambruk dilalap kemarahan.
“USUT
TUNTAS KASUS INI! HIDUP RAKYAT AMBON! HIDUP RAKYAT MALUKU!”
Seorang
mahasiswa beralmamater merah meneriakkan orasi dalam ruang sidang.
“HADIRIN
HARAP TENANG!”
Hakim
berteriak menenangkan situasi. Nada kesal lebih dominan dalam penekanan
kata-katanya.
“Saudara
Andri dipersilakan membacakan kembali kesaksiannya…”
“Terimakasih
yang mulia. Kami menuntut pemulihan kondisi kota Ambon dan seluruh wilayah
Maluku! Dan untuk melengkapi data dan fakta lapangan serta kesaksian
masyarakat, kami telah menyiapkan ini...”
Ia
memberikan sebundal kertas yang tebalnya mencapai sekitar-tiga-puluh-centi meter
kepada hakim dan jaksa. Andri kembali ke tempat duduknya semula. Terdakwa
mengambil alih kursi pesakitan. Matanya berputar menghadap atap.
Di atas kursi pesakitan, terdakwa
berbaju abu-abu melihat bintang-bintang dari pundaknya terbang ke langit-langit
persidangan.
Yang ada hanya siang dan malam,
senja hanyalah peralihan.
Tulisan ini memenangkan juara I Olimpiade Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia tahun 2014 dan telah diterbitkan.
Tulisan ini memenangkan juara I Olimpiade Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia tahun 2014 dan telah diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar