Rose berlari sekuat tenaga
menghindari sesosok lelaki mengerikan yang dengan sangat sigap hampir-hampir
menangkapnya dengan sekali hentakan. Diujung jalan. Rose mengenali bangunan
putih abu-abu di depannya, dengan sisa-sisa tenaga ia mencengkeram gagang pintu
dari besi ringan yang berkilau, paling cemerlang diantara warna-warna lain di bagian
depan rumah itu: kusam dan kelabu. Rose menarik-narik dan menggoyangkan ke
kanan ke kiri gagang bundar yang ada dalam cengkeramannya, sulit terbuka. Rose
kemudian menyandarkan badannya di pintu abu-abu yang separuhnya rusak karena
perubahan masa. Sadar akan kesia-siaan yang dia lakukan, Rose kemudian
berteriak dengan susah payah,
“HALOOO!”
Sunyi. Lalu suara lelaki
yang sangat dikenali merambat melalui sela-sela antara pintu dan lantai.
“iya, siapa disana?”
“matt, kau di dalam?”
Tidak ada jawaban.
Kemudian dengan suara parau
dan napas terengah-engah Rose kembali berteriak memanggil lelaki itu.
“aku Rose.”
“Rose, ini aku. Masuklah!”
Separuh percaya apa yang di
dengar oleh telinganya, Rose kembali menggungcang-guncangkan gagang pintu
bundar keperakan itu.
“Matt, buka pintu!”
“Rose ini aku…”
Semua semakin menggantung
dan abu-abu. Perempuan malang dalam pengejaran lelaki buas itu diam. Kalut.
Risau. Rose menyeka keringatnya dengan saputangan putih pemberian lelaki tegap
berkumis yang disangkanya ada beberapa meter di belakang tulang rusuknya. Ia
menangis. Bahkan menangis tanpa air mata, pelariannya dari kejaran lelaki buas
berjam-jam dalam hutan, sungai, semak belukar menjelma jadi bayangan menakutkan
dalam pikirannya dan menguras habis air matanya. Kini ia mencoba memusatkan
pikirannya, ke arah belakang badannya, bangunan, yang menjadi tempat singgahnya
selama ini. Tempat singgahnya selama ini.
“aku tidak bisa membuka
pintunya, tolol!”
“bukalah Rose!”
Rose kemudian bingung.
Dengan segera ia menyadari sesuatu.
“apa kau benar-benar di
dalam matt?”
Senyap.
Rose berteriak dengan
seluruh tenaganya yang tersisa
“MATT! BAJINGAN! BUKA
PINTU!”
“bukalah pintunya Rose….”
Nadanya menggantung. Rose
kembali bingung.
“apa kau benar-benar di
dalam rumahku? Kau bedebah Matt! Bajingan dari segala raja bajingan!”
“hahaha masuklah Rose…..”
“bagaimana aku masuk jika
kau tak benar-benar berada disana!”
Kemudian langkah kaki sang
pemburu liar itu kembali terdengar merangkak sedikit demi sedikit mendekat.
Wajahnya yang legam, badannya yang tegap, kumis tipisnya yang menakutkan. Dan.
Pisau besar dengan suara tawa yang entah berasal dari situ atau bibirnya yang
hitam, membayangi Rose yang semakin ketakutan. Rose gemetaran. Seluruh tubuhnya
dingin dan membiru. Lalu dengan semua kemampuannya ditariknya gagang pintu
abu-abu itu. Ia mengerang.
“AAARGH!”
Berhasil. Pintu terbuka.
Rose masuk. Ruangan putih bersih terpampang di depan wajahnya. Semuanya putih.
Kosong. Betul-betul kosong. Rose sendirian dalam ruangan.
Suara langkah yang
ditakutinya kemudian kembali menggema dalam telinganya. Rose berjongkok
ketakutan. Tangannya memegangi kedua telinganya. Sekelebat kenangan masa
kecilnya yang berat, aneh, merisaukan, mimpi-mimpi buruk, saat bersama Matt,
impian masa depan, sekolah menengahnya, jadwal kuliahnya, secara acak muncul di
depan matanya. Sunyi. Kunang-kunang putih dalam sulaman setan.
Seseorang membalikan badan Rose dan
menghujamkan benda berkilat ke dadanya yang naik-turun tak beraturan. Kemudian
pergi tanpa jejak.
Seorang lelaki lain masuk
ke dalam ruangan memegang sebotol bir dan rokok yang menggelantung di mulutnya.
Jalannya sempoyongan dan senyumnya yang menggantung di udara. Suara tawa
cekikikannya memecah kesenyapan kemudian.
“hahaha Rose, sudahlah aku
hanya bercanda. Tadi aku bersembunyi diatas atap, biasanya kau bisa menebakku
dengan cepat! Kurasa intelejensimu sedikit berkurang sejak aku depresi dan lupa
menghubungimu di tengah belantara. Ayolah… Jangan berjongkok seperti kodok
bodoh begitu! Bangunlah dan peluklah aku! Apa kau tidak merindukanku di hutan
sendirian berbulan-bulan?”
Rose tidak bisa menjawab.
Lelaki tadi kemudian
mendekat perlahan dan dengan hati-hati membalikkan badan wanita yang sangat
dicintainya itu. Dipegangnya tangan Rose dan diguncang-guncangkan badannya
mengharapkan suatu gerakan yang tidak mungkin. Tidak lagi mungkin.
Kemudian semuanya menjadi
sangat terlambat. Dan menyakitkan.
Hanya ada air bening yang menari
di pipi putih yang sedikit demi sedikit merah kemudian biru. Kunang-kunang
dengan sinarnya yang terang betul-betul dirajut setan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar